Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Atletik Pilihan

Kisah Henny Maspaitella Ringkus Tiga Pencopet

3 September 2019   10:29 Diperbarui: 4 September 2019   12:46 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Henny Maspaitella.foto:medcom.id 

Enam pelari berebut terdepan menapaki tribun Gelora 10 Nopember Tambaksari, Surabaya Teriakan keras mereka terdengar penuh bersemangat. Pagi itu, suasana latihan terasa menyenangkan. Semua saling melempar sindiran, akrab. Yang kalah cepat memberi acungan jempol kepada yang terdepan.

Di pinggir tribun, dekat pagar pembatas penonton VIP, seorang perempuan berdiri dengan peluit dan stopwatch di tangan. Sesekali ia berteriak, menyeru agar para pelari meningkatkan kecepatan. Dia takzim mengamati atlet-atlet binaannya.

Perempuan itu, Lourina Henriette Maspaitella, karib disapa Henny Maspaitella. Bukan kebetulan Henny Maspaitella berada di lapangan. Dalam sepekan bisa 4 hingga 5 hari Henny mendampingi atlet binaannya. Selain di Gelora 10 Nopember Tambaksari, dia juga melatih atletnya di lapangan KONI Jatim, Universitas Negeri Surabaya, dan Gelora Delta Sidoarjo.

Latihan, bagi Henny, merupakan rutinitas hidup. Tiap hari, dia bisa melakukan dua sesi latihan, pagi dan sore hari. Setiap sesi berlangsung dua jam. "Kita tidak mungkin menorehkan prestasi bagus tanpa latihan memadai. Apalagi di atletik. Sulit kalau prestasinya hanya sedang-sedang saja. Kalau dihitung, berapa banyak atlet atletik sekarang? Apa mereka juga dikenal masyarakat? " ujar Henny. 

Di setiap latihan, Henny menerapkan disiplin tinggi. Dia tak suka lihat anak buahnya berleha-leha. Cengeng, ngaleman. Terlebih, ada anak buahnya yang tidak menghargai waktu. "Bagi saya, bukan waktu yang mengatur kita, tapi kita yang atur waktu," cetus 

Henny biasa bersikap otoriter dalam latihan. Ia bisa marah kalau ada atletnya ceroboh. Makanya, sesi demi sesi dalam latihan, ia selalu memusatkan perhatikan. Matanya tak pernah berhenti bergerak, mengamati anak-anak didiknya berlatih. Kalau ada dianggap tak pas, Henny langsung berteriak. Suaranya  melengking bisa meluncur begitu saja. "Otoriter bagi saya perlu. Sejauh hal itu dilakukan demi peningkatan prestasi,"  ucap Henny.

Soal latihan, jelas Henny, ada beberapa hal yang harus dilakukan . Di antaranya persiapan umum untuk membentuk fisik, persiapan khusus yang sudah pada mengatur berat badan, kelenturan otot, dan persiapan kompetisi yang terfokus pada teknik. Kata dia, periodisasi ini sangat penting. Sebab, dengan begitu, atlet akan bisa membentuk kekuatan sekaligus karakternya.

Di kalangan pelatih olahraga, Henny tergolong modern. Dia selalu memanfaatkan teknologi untuk memantau perkembangan atlet binaannya. Dalam latihan, Henny biasanya membawa stylus pen dari sebuah perangkat personal digital assistant. Alat itu selalu dalam jepitan tangannya. Dengan gesit, ia memasukkan data capaian anak-anak asuhannya.

Kata dia, perkembangan teknologi informasi demikian cepat harus diikuti . "Sekarang ini mau tahu apa saja kan gampang. Tinggal masuk ke (jaringan) internet, terus klik. Namun, masih banyak juga yang harus berpegangan pada pengalaman ," jlentrehnya.

Di luar latihan, sosok Henny bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia selalu menjadi sahabat yang baik anak didik saya. Henny terbiasa menjadi ibu dari anak-anak asuhnya. Bukan hanya terkait prestasi, perhatiannya bisa sampai pada hal-hal yang sangat pribadi.  "Sejujurnya, saya sangat senang mengamati karakter manusia," tutur wanita yang gemar membaca buku-buku psikologi dan biografi ini. 

Selama bertahun-tahun menjadi pelatih, Henny acapkali menjadi teman curhat orang-orang sekitarnya. Baik atlet maupun pelatih. Ada yang positif, ada yang berkecenderungan negatif. Baginya hal itu sangat lumrah. Karena pada dasarnya, emosi manusia tidak stabil. Apalagi bila sedang marah dan kecewa. Mereka pasti butuh pelampiasan.

"Kalau sudah begitu, saya berusaha keras untuk menjadi teman yang baik. Yang mau mendengar keluh kesah mereka," tutur Henny, lalu tersenyum.

***

Awal mula Henny Maspaitella jatuh cinta pada atletik boleh dibilang tak disengaja. Dulu, ia sempat ikut berbagai macam olah raga, seperti voli, basket, dan sofbol. "Adik saya Loudry (Loudry Maspaitella) dulunya ikut sepak bola. Karena sering lihat latihan atletik berat, sampai muntah-muntah, dia akhirnya memilih voli," ungkap Henny. Loudry Maspaitella adalah atlet voli nasional dua dekade. Loudry sempat menjadi pelatih, namun karena tenaganya masih dibutuhkan, ia ditarik kembali untuk memperkuat tim nasional Indonesia.

Kehadiran Henny sebagai olahragawan berprestasi bukan tiba-tiba. Darah atlet mengalir dari kedua orang tuanya. Ayah Henny, Leonard Maspaitella, adalah atlet lompat jangkit nasional. Ibunya, Paulina Sarah Lessil, adalah atlet voli nasional.

Kala itu, Paulina Sarah selalu membujuk Henny menekuni atletik. Katanya, kalau berprestasi di atletik itu lebih enak. "Ya, karena kalau juara kan bisa perorangan, bukan orang banyak," kenang Henny. 

Sejak keci, Henny mengaku suka berlari. Lari cepat. Yang juga mendukung, rumahnya Jalan Kawung, dekat lapangan bola. Tiap hari, Henny memanfaatkannya untuk latihan dan bermain. "Tak hanya di lapangan, di dalam rumah pun saya tak bisa jalan. Mau ke depan dari belakang rumah, saya selalu lari," ungkapnya, lantas tertawa riang.

Umur 11 tahun, Henny mulai aktif berlatih di Lapangan Thor (Gelora Pantjasila). Dia ikut klub AC'75. Pendirinya Yan Sondakh dan Bram Soselisa. AC'75 merupakan satu-satunya klub atletik di Surabaya.

Henny kemudian terpilih ikut Porseni SD, 1975. Saat itu, ia ikut tim SD Santa Angela, Jalan Kepanjen, Surabaya. Dalam seleksi, Henny berhasil mengalahkan teman-teman satu sekolah. Prestasi gemilang pun berhasil diraih. Medali emas direnggut dari nomor lari 100 meter. Penampilan Henny membius banyak orang yang menyaksikan lomba di Porseni SD tersebut.  

Setelah juara Porseni SD, Henny makin ketagihan berlatih lari. Obsesinya menjadi juara di atletik digantung setinggi langit. Untuk mewujudkannya, ia menyeriusi latihannya. Saban hari, ia selalu menyempatkan latihan. Minimal dua jam.

Selain itu, Henny mengatur pola makan. Lewat bimbingan pelatihnya, bakat Henny mulai terpoles. Kelenturan tubuhnya mulai terbentuk. Peningkatan kecepatan larinya makin pesat.

Merangkak dengan pasti. Di ajang nasional, Henny kembali menunjukkan keunggulannya. Dia melejit sebagai sprinter  nasional yang sangat ditakuti. Di setiap event nasional nama Henny pun mulai diperhitungkan. 

Deretan prestasi berhasil ia renggut. Henny Maspaitella adalah pemegang rekor lari 100 meter sejak 1985. Henny mencetak rekornas 100 meter di tahun 1985, catatan waktunya 11,62 detik. Baru pada tahun 1999, rekor Henny dipecahkan Irene Truitje Yoseph dengan waktu 11,56 detik.

Pengalaman internasional mulai dirambah. Yang membanggakan, Henny mendapat medali emas nomor lari 200 meter SEA Games X Jakarta. Saat itu usianya baru 14 tahun. Dan sejak itu Henny jadi langganan memperkuat tim nasional pada kejuaraan multi maupun single event internasional.

Apakah prestasinya itu suatu kebetulan? "Tidak," ucap Henny. "Kalau kebetulan, di nomor 100 meter saat itu saya meraih perunggu. Jadi, itu bukan suatu kebetulan," sambung wanita yang pernah berlatih di Jerman selama enam bulan ini.

Yang sangat mengejutkan, Henny berhasil mempecundangi ratu atletik Filipina, Lydia de Vega, yang sempat merajai dunia atletik pada beberapa SEA Games. Di tahun 1979, Henny merebut emas nomor 100 meter dengan waktu 12,31 detik, jauh di atas Lydia dengan waktu 12,46 detik. Di kejuaraan Asia Terbuka, 1981, ia menjuarai lari 100 dan 200 meter. 

Dari torehan prestasi tersebut, nama Henny makin melejit. Ia berhasil mencatatkan diri sebagai satu-satunya pelari Indonesia yang berhasil meraih emas SEA Games.

Tapi, sukses besar tersebut tidak ingin membuat Henny terlena. Apalagi besar kepala. "Orang tua saya menanamkan betul prinsip untuk menjadi manusia rendah hati. Boleh saja saya juara di lapangan, disanjung-sanjung. Tapi, kalau di rumah saya harus tahu diri. Saya tetap seorang anak yang harus ngepel, nyuci," tutur istri I Wayan Budi Astra, seorang atlet atletik nasional yang menikahinya tahun 1985.                    

***

Ada pengalaman seru yang sampai sekarang tak bisa dilupakan Henny Maspaitella. Suatu hari, ia pernah menangkap pencopet. Tiga pencopet sekaligus!

Ceritanya tahun 1998. Saat itu, Henny masih menjadi karyawati di Bank Dagang Negara di Jakarta. Pagi-pagi ia berangkat kerja naik bus tingkat. Namanya angkutan umum. Penumpangnya pasti berdesak-desakan. Henny memilih berdiri di dekat sopir. Dekat tangga bus. Kala itu, perasaan Henny tak enak. Beberapa orang memperhatikan dirinya. Selang beberapa saat, ada tiga atau empat orang yang sengaja memepet dirinya. Henny mulanya tak curiga orang-orang itu akan berbuat jahat.

Tiba-tiba, tubuh Henny ditubruk seseorang. Posturnya agak pendek dari dirinya, namun badannya lebih gemuk. Henny tersadar. Ia lalu melihat resleting tasnya terbuka. Ternyata, dompet di tasnya sudah digondol pencopet. Henny panik. Pandangannya langsung tertuju pada tiga orang tersebut. Apalagi kemudian ketiga orang yang dicurigai pencopet itu, bergegas turun dari bus. 

Tahu barangnya dicuri, Henny berontak. Namun hati kecilnya dalam dilema. Apakah harus mengejar atau berteriak minta tolong. "Apa yang harus dilakukan untuk melawan ketiga pencopet itu?" batinnya berdesir.

Dalam kepanikan, Henny melihat beberapa polisi sedang bertugas. Dia pun bergegas turun. Henny mengejar tiga pencopet tersebut sembari berteriak, copet..copet...

Aksi kejar-kerajan tak terhindarkan. "Saya lari sekencang-kencangnya saat itu dengan jatung berdebar-debar," kenangnya.

Tuhan masih melindungi Henny yang saat itu masih menjadi sprinter nasional. Dia berhasil mendekati tiga orang pencopet. Sejurus kemudian, ketiga pencopet berhasil diringkus oleh Henny, polisi, dan juga orang-orang yang kebetulan berada di lokasi kejadian. Beberapa orang sempat melontarkan bogem mentah ke arah tubuh para pencopet.

Para penjahat itu langsung dibawa ke Markas Polda Metro Jaya, yang kebetulan tak jauh dari tempat kejadian perkara (TKP). Saat digelandang ke markas, seorang polisi memegang seorang pencopet, sementara Henny memegang dua pencopet. "Saya nekat saja. Saya pegang sininya," kata Henny yang menunjuk ke arah bagian kerahnya.

Saat di markas itu, banyak polisi heran sekaligus kagum. Sebab, ada seorang wanita yang berani menangkap dua pencopet sekaligus. "Mungkin dikira saya intel, ya. Apalagi potongan rambut saya waktu itu pendek, gitu," ucap Henny, lalu tersenyum.

Henny bersyukur. Dompet yang diambil pencopet berhasil kembali. Usai diperiksa di Markas Polda Metro Jaya, Henny bergegas pulang. Namun saat pulang, ia berpapasan dengan sejumlah wartawan. Banyak di antara wartawan itu yang ia mengenalnya. "Saya bilang nggak ada apa-apa," kelit dia ketika dimintai keterangan wartawan.

Kejadian itu akhirnya jadi berita besar. Sebelum meninggalkan pelataran Polda Metro Jaya, Henny tak bisa berkutik ketika puluhan wartawan mencegatnya. Namun sebelum memberi penjelasan, ia minta syarat agar namanya tidak ditulis lengkap. Cukup inisial LHM (Lourina Henriette Maspaitella).

Esok hari, suasana di pelatnas geger. Koran-koran ibu kota memberitakan kejadian itu cukup besar. Ada atlet nasional yang berhasil menangkap copet. Bahkan, ada koran yang menyebut sprinter nasional berhasil meringkus copet. Atlet-atlet di pelatnas mencecar Henny, apa benar yang dimaksud koran-koran itu dengan inisia LHM adalah dirinya? Henny tak menjawab selain menggelengkan kepalanya.

Setelah peristiwa itu, dua bulan Henny tak berani naik bus. "Tiap hari saya naik taksi. Saya takut kalau-kalau gerombolan mereka mencari saya," kenang Henny, terkekeh.

***

Di atletik, kita memang agak sulit mencari bakat sehebat Henny Maspaitella, Emma Tahapary, Gurnam Singh, Purnomo, atau Mardi Lestari. Bahkan, kurun waktu terakhir, prestasi atlet-atlet atletik Indonesia cenderung menurun. Masih kalah dibandingkan Filipina Thailand, dan Vietnam. Cuma, kita masih bangga punya Mohammad Zohri, yang menjuarai Grand Prix Asia Atletik, Maret 2019 lalu. Zohri juga lolos ke Olimpiade Tokyo 2020  

Pemecahan rekor Henny di nomor 100 meter, yang berhasil dipecahkan Irene Truitje Yoseph pada 1999 dengan waktu 11,56 detik, butuh waktu empat tahun. Soal lamanya rentang waktu pemecahan rekor atletik ini, Henny menilai hal itu terkait pembinaan. "Kalau pembinaan tetap seperti ini, saya pikir untuk memecahkan rekornas saja kita susah. Padahal, di dunia rekor itu hampir tiap tahun ada yang pecah," jelas pemilik tinggi badan 171 sentimeter dan berat 60 kilogram ini. 

Henny mengakui, kaderisasi di atletik ini agak tersendat. Makanya, butuh terobosan. Dia tak setuju format PON diubah menjadi lebih lama atau lebih cepat dari empat tahunan. Formatnya tetap empat tahunan, tapi kualifikasinya diperketat.

Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), kata Henny, selama ini terlalu mengonsentrasikan diri pada atlet yang ada di pelatnas. "Dulu, kalau saya diminta ikut pelatnas, pelatih langsung minta kepada ayah. Ayah saya tahu, apakah saya punya prospek atau tidak. Sekarang, mestinya pola seperti itu bisa dilanjutkan," sarannya.

Tentang iming-iming hadiah uang, Henny menilai, harus dilihat dari aspek positifnya. Bonus jangan semata dilihat dari aspek pencarian uang, tapi bagaimana itu bisa memacu prestasi atlet lebih baik lagi.

"Tidak semua atlet kita berasal dari keluarga mapan. Banyak atlet saya dari daerah yang berpotensi. Saya bilang, ini kesempatan mencari peluang. Entah bagaiman cara, pokoknya harus bisa berprestasi. Setelah berprestasi mereka pun bisa dapat bonus dan beasiswa," papar mantan karyawati Bank Dagang Negara yang memilih pensiun dini pada 1999 ini.

Tahun 2000, Henny mulai terjun di dunia kepelatihan. Dia ditawari memegang kendali di pelatnas. Henny menganggap amanah ini tidak ringan. Sebelumnya, ia sempat ikut penataran untuk mengambil sertifikat level 1, dan pada tahun 2002 ikut level 2.

Henny mengaku selalu mengucap syukur dengan apa yang telah diperolehnya sekarang. Dalam falsafah hidupnya, ia selalu bilang: belajarlah dengan apa yang ada. Jangan mudah menyerah dan berputus asa. Keputusasaan akan mendekatkan pada malapetaka.  

Lewat pengembaraan di dunia olahraga, Henny telah menjadi aset nasional yang namanya pantas dikenang. Meski begitu, ia tak ingin tinggi hati dan selalu menghargai orang lain.  "Bagi saya, seseorang yang berhasil mencapai prestasi dengan kemampuan dan usaha, dia pasti gampang menghargai orang lain," ucapnya serius.( agus wahyudi)  

Lourina Henriette Maspaitella. Nama Panggilan : Henny Maspaitella. Keluarga : I Wayan Budi Astra (suami); Lourenzo Andreas Astra (anak); Louise Sarah Paulina Astra (anak). Pendidikan : SD Santa Angela; SMP Stella Marris; SMAN 2 Surabaya; STIE Perbanas Jakarta. Karier : Pegawai Bank Dagang Negara . Prestasi : Pemegang rekor nasional Lari 100 Meter (1985-1999); Medali emas momor lari 200 Meter SEA Games X, 1983 Medali emas nomor lari 100 meter SEA Games IX, 1979; Pelatih Pelatnas Atletik, 2000; Pelatih Jatim Program Puslatda PON XVII/2008.

Kisah Henny Maspaitella Ringkus Dua Pencopet

Enam pelari berebut terdepan menapaki tribun Gelora 10 Nopember Tambaksari, Surabaya Teriakan keras mereka terdengar penuh bersemangat. Pagi itu, suasana latihan terasa menyenangkan. Semua saling melempar sindiran, akrab. Yang kalah cepat memberi acungan jempol kepada yang terdepan.

Di pinggir tribun, dekat pagar pembatas penonton VIP, seorang wanita berdiri dengan peluit dan stopwatch di tangan. Sesekali ia berteriak, menyeru agar para pelari meningkatkan kecepatan. Dia takzim mengamati atlet-atlet binaannya.

Wanita itu, Lourina Henriette Maspaitella atau karib disapa Henny Maspaitella. Bukan kebetulan jika Henny Maspaitella berada di lapangan. Dalam seminggu, bisa empat hingga lima hari Henny mendampingi atlet binaannya. Selain di Gelora 10 Nopember Tambaksari, dia juga kerap melatih atletnya di lapangan KONI Jatim, Universitas Negeri Surabaya, dan Gelora Delta Sidoarjo.

Latihan, bagi Henny, merupakan rutinitas hidup. Tiap hari, dia bisa melakukan dua sesi latihan, pagi dan sore hari. Setiap sesi, rata-rata berlangsung dua jam. "Kita tidak mungkin menorehkan prestasi bagus tanpa latihan yang memadai. Apalagi di atletik, sulit kalau prestasinya hanya sedang-sedang saja. Kalau dihitung, berapa banyak atlet atletik sekarang, tapi apa mereka juga dikenal masyarakat? " ujar Henny. 

Di setiap latihan, Henny tergolong sangat disiplin. Dia tak mau melihat anak buahnya berleha-leha. Apalagi, ada anak buahnya yang tidak menghargai waktu. "Bagi saya, bukan waktu yang mengatur kita, tapi kita yang mengatur waktu," cetus Henny.

Tak heran, kadang Henny bisa bersikap otoriter dalam latihan. Ia bisa marah kalau ada atletnya yang ceroboh. Makanya, sesi demi sesi dalam latihan, ia selalu memusatkan perhatikan. Matanya tak pernah berhenti bergerak, mengamati anak-anak didiknya berlatih. Kalau ada dianggap tak pas, Henny langsung berteriak. Suara yang melengking bisa meluncur begitu saja. "Otoriter bagi saya perlu. Sejauh hal itu dilakukan demi peningkatan prestasi,"  ucap Henny.

Soal latihan, jelas Henny, ada beberapa hal yang harus dilakukan guna memersiapkan atlet. Di antaranya persiapan umum untuk membentuk fisik, persiapan khusus yang sudah pada mengatur berat badan, kelenturan otot, dan persiapan kompetisi yang terfokus pada teknik. Kata dia, periodisasi ini sangat penting. Sebab, dengan begitu atlet akan bisa membentuk kekuatan sekaligus karakternya.

Di kalangan pelatih olahraga, Henny tergolong modern. Dia selalu memanfaatkan teknologi untuk memantau perkembangan atlet binaannya. Dalam latihan, Henny terbiasa membawa stylus pen dari sebuah perangkat personal digital assistant. Alat itu acap berada dalam jepitan tangannya. Dengan gesit, ia memasukkan data capaian anak-anak asuhannya.

Menurut mantan pelatih tim putri Jatim di program Puslatda PON XVII/2008 itu, perkembangan teknologi informasi demikian cepat harus harus diikuti dan dipelajari. "Sekarang ini mau tahu apa saja kan gampang. Tinggal masuk ke (jaringan) internet terus klik. Namun, masih banyak juga yang tetap berpegangan pada pengalamannya waktu dulu ketika menjadi atlet," jlentrehnya.

Namun begitu, di luar latihan, sosok Henny yang keras dan disiplin, bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia selalu menjadi sahabat yang baik anak didik saya.

Henny terbiasa menjadi ibu dari anak-anak asuhnya. Bukan hanya terkait prestasi, perhatiannya bisa sampai pada hal-hal yang sangat pribadi.  "Sejujurnya, saya sangat senang mengamati karakter manusia," tutur wanita yang gemar membaca buku-buku psikologi dan biografi ini. 

Bagi Henny, selama bertahun-tahun menjadi pelatih, ia acapkali menjadi teman curhat dari orang-orang sekitarnya, baik atlet maupun sesama pelatih. Ada yang positif, ada yang berkecenderungan negatif. Baginya hal itu sangat lumrah. Karena pada dasarnya, emosi manusia tidak stabil. Apalagi bila sedang marah dan kecewa. Karena itu, mereka butuh pelampiasan.

"Kalau sudah begitu, saya berusaha keras untuk menjadi teman yang baik, yang mau mendengar keluh kesah mereka," tutur Henny, lalu tersenyum.

***

Awal mula Henny Maspaitella jatuh cinta pada atletik boleh dibilang tidak disengaja. Dulunya, ia sempat ikut berbagai macam olah raga, seperti voli, basket, dan sofbol. "Adik saya Loudry (Loudry Maspaitella) dulunya ikut sepak bola. Karena sering lihat latihan atletik berat, sampai muntah-muntah, dia akhirnya memilih voli," ungkap Henny. Loudry Maspaitella adalah atlet voli nasional dua dekade. Loudry sempat menjadi pelatih, namun karena tenaganya masih dibutuhkan, ia ditarik kembali untuk memperkuat tim nasional Indonesia.

Kehadiran Henny sebagai olahragawan berprestasi bukan tiba-tiba.

Darah sebagai atlet mengalir dari kedua orang tuanya. Ayah Henny, Leonard Maspaitella adalah atlet lompat jangkit nasional. Ibunya, Paulina Sarah Lessil adalah atlet voli nasional.

Kala itu, Paulina Sarah selalu membujuk Henny untuk menekuni atletik. Katanya, kalau berprestasi di atletik itu lebih enak. "Ya, karena kalau juara kan bisa perorangan, bukan orang banyak," kenang Henny. 

Sejak keci, Henny mengaku suka berlari. Lari cepat. Yang juga mendukung, rumahnya Jl Kawung, dekat lapangan bola. Tiap hari Henny memanfaatkan untuk latihan dan bermain. "Tak hanya di lapangan, di dalam rumah pun saya tak bisa jalan. Mau ke depan dari belakang rumah, saya selalu lari," ungkapnya, lantas tertawa riang.

Umur 11 tahun, Henny mulai aktif berlatih di Lapangan Thor (Gelora Pantjasila). Dia ikut klub AC'75, pendirinya Yan Sondakh dan Bram Soselisa. AC'75 tersebut merupakan klub atletik satu-satunya di Surabaya.

Henny kemudian terpilih ikut Porseni SD, 1975. Saat itu, ia ikut tim SD Santa Angela, Jl Kepanjen Surabaya. Dalam seleksi, Henny berhasil mengalahkan teman-teman satu sekolah. Prestasi gemilang pun berhasil diraih. Medali emas direnggut dari nomor lari 100 meter. Penampilan Henny membius banyak orang yang menyaksikan lomba di Porseni SD tersebut.  

Setelah juara Porseni SD, Henny makin ketagihan berlatih lari. Obsesinya menjadi juara di atletik digantung setinggi langit. Untuk mewujudkannya, ia menyeriusi latihannya. Saban hari, ia selalu menyempatkan latihan, minimal dua jam.

Selain itu, Henny mengatur pola makan. Lewat bimbingan pelatihnya, bakat Henny mulai terpoles. Kelenturan tubuhnya mulai terbentuk. Peningkatan kecepatan larinya makin pesat.

Merangkak dengan pasti. Di ajang nasional, Henny kembali menunjukkan keunggulannya. Dia melejit sebagai sprinter  nasional yang sangat ditakuti. Di setiap event nasional nama Henny mulai diperhitungkan. 

Deretan prestasi berhasil ia renggut. Henny Maspaitella adalah pemegang rekor lari 100 meter sejak 1985. Henny mencetak rekornas 100 meter di tahun 1985, catatan waktunya 11,62 detik. Baru pada tahun 1999, rekor Henny dipecahkan Irene Truitje Yoseph dengan waktu 11,56 detik.

Pengalaman internasional mulai dirambah. Yang membanggakan, Henny mendapat medali emas nomor lari 200 meter SEA Games X Jakarta. Saat itu usianya baru 14 tahun. Dan sejak itu Henny jadi langganan memperkuat tim nasional pada kejuaraan multi maupun single event internasional.

Apakah prestasinya itu suatu kebetulan? "Tidak," ucap Henny. "Kalau kebetulan, di nomor 100 meter saat itu saya meraih perunggu. Jadi, itu bukan suatu kebetulan," sambung wanita yang pernah berlatih di Jerman selama enam bulan ini.

Yang sangat mengejutkan, Henny berhasil mempecundangi ratu atletik Filipina, Lydia de Vega, yang sempat merajai dunia atletik pada beberapa SEA Games. Di tahun 1979, Henny merebut emas nomor 100 meter dengan waktu 12,31 detik, jauh di atas Lydia dengan waktu 12,46 detik. Di kejuaraan Asia Terbuka, 1981, ia menjuarai lari 100 dan 200 meter. 

Dari torehan prestasi tersebut, nama Henny makin melejit. Ia berhasil mencatatkan diri sebagai satu-satunya pelari Indonesia yang berhasil meraih emas SEA Games.

Tapi, sukses besar tersebut tidak ingin membuat Henny terlena. Apalagi menjadi besar kepala. "Orang tua saya menanamkan betul prinsip untuk menjadi manusia rendah hati. Boleh saja saya juara di lapangan, disanjung-sanjung. Tapi, kalau di rumah saya harus tahu diri. Saya tetap seorang anak yang harus ngepel, nyuci," tutur istri I Wayan Budi Astra, seorang atlet atletik nasional yang menikahinya tahun 1985.                    

***

Ada pengalaman seru yang sampai sekarang tak bisa dilupakan Henny Maspaitella. Suatu hari, ia pernah menangkap pencopet. Tiga pencopet sekaligus!

Ceritanya di tahun 1998. Saat itu, Henny masih menjadi karyawati di Bank Dagang Negara di Jakarta. Pagi-pagi ia berangkat kerja naik bus tingkat. Namanya angkutan umum, penumpangnya pasti berdesak-desakan.

Henny memilih berdiri di dekat sopir, dekat tangga bus. Kala itu, perasaan Henny tak enak. Beberapa orang memperhatikan dirinya. Selang beberapa saat, ada tiga atau empat orang yang sengaja memepet dirinya. Henny mulanya tak curiga orang-orang itu akan berbuat jahat.

Tiba-tiba, tubuh Henny ditubruk seseorang. Posturnya agak pendek dari dirinya, namun badannya lebih gemuk. Henny tersadar. Ia lalu melihat resleting tasnya terbuka. Ternyata, dompet di tasnya sudah digondol pencopet. Henny panik. Pandangannya langsung tertuju pada tiga orang tersebut. Apalagi kemudian ketiga orang yang dicurigai pencopet itu, bergegas turun dari bus. 

Tahu barangnya dicuri, Henny berontak. Namun hati kecilnya dalam dilema. Apakah harus mengejar atau berteriak minta tolong. "Apa yang harus dilakukan untuk melawan ketiga pencopet itu?" batinnya berdesir.

Dalam kepanikan, Henny melihat beberapa polisi sedang bertugas. Dia pun bergegas turun. Henny mengejar tiga pencopet tersebut sembari berteriak, copet..copet...

Aksi kejar-kerajan tak terhindarkan. "Saya lari sekencang-kencangnya sat itu dengan jatung berdebar-debar," kenangnya.

Tuhan masih melindungi Henny. Henny yang saat itu masih menjadi sprinter nasional, berhasil mendekati tiga orang pencopet. Sejurus kemudian, ketiga pencopet berhasil diringkus oleh Henny, polisi, dan juga orang-orang yang kebetulan berada di lokasi kejadian. Beberapa orang sempat melontarkan bogem mentah ke arah tubuh para pencopet.

Para penjahat itu langsung dibawa ke Markas Polda Metro Jaya, yang kebetulan tak jauh dari tempat kejadian. Saat digelandang ke markas, seorang polisi memegang seorang pencopet, sementara Henny memegang dua pencopet. "Saya nekat saja. Saya pegang sininya," kata Henny yang menunjuk ke arah bagian kerahnya.

Saat di markas itu, banyak polisi heran sekaligus kagum. Sebab, ada seorang wanita yang berani menangkap dua pencopet sekaligus. "Mungkin dikira saya intel, ya. Apalagi potongan rambut saya waktu itu pendek, gitu," ucap Henny, lalu tersenyum.

Sebetulnya, Henny ingin segera mengakhirinya. Karena dompet yang diambil pencopet berhasil kembali. Makanya, ketika diperiksa di Markas Polda Metro Jaya, Henny bergegas pulang.

Namun saat pulang, ia berpapasan dengan sejumlah wartawan. Banyak di antara wartawan itu yang ia mengenalnya. "Saya bilang nggak ada apa-apa," kelit Henny ketika dimintai keterangan wartawan.

Namun kejadian itu akhirnya tercium juga wartawan. Berita besar tentunya. Sebelum meninggalkan pelataran mapolda, Henny tak bisa berkutik ketika diwawancarai wartawan. Namun sebelumnya, ia minta syarat agar namanya tidak ditulis lengkap. Cukup inisial LHM (Lourina Henriette Maspaitella).

Esok hari, suasana di pelatnas geger. Koran-koran ibu kota memberitakan kejadian itu cukup besar. Ada atlet nasional yang berhasil menangkap copet. Bahkan, ada koran yang menyebut sprinter nasional berhasil meringkus copet. Atlet-atlet di pelatnas mencecar Henny, apa benar yang dimaksud koran-koran itu dengan inisia LHM adalah dirinya? Henny tak menjawab selain menggelengkan kepalanya.

Setelah peristiwa itu, dua bulan Henny tak berani naik bus. "Tiap hari saya naik taksi. Saya takut kalau-kalau gerombolan mereka mencari saya," kenang Henny, lantas terkekeh.

***

Di atletik, kita memang agak sulit mencari bakat sehebat Henny Maspaitella, Emma Tahapary, Gurnam Singh, Purnomo, atau Mardi Lestari. Bahkan, kurun waktu terakhir, prestasi atlet-atlet atletik Indonesia cenderung menurun. Masih kalah dibandingkan Filipina Thailand, dan Vietnam.

Bahkan, untuk pemecahan rekor Henny di nomor 100 meter, yang berhasil dipecahkan Irene Truitje Yoseph pada 1999 dengan waktu 11,56 detik, butuh waktu empat tahun.

Soal lamanya rentang waktu pemecahan rekor atletik ini, Henny menilai hal itu terkait pembinaan. "Kalau pembinaan tetap seperti ini, saya pikir untuk memecahkan rekornas saja kita susah. Padahal, di dunia rekor itu hampir tiap tahun ada yang pecah," jelas pemilik tinggi badan 171 sentimeter dan berat 60 kilogram ini. 

Henny mengakui, kaderisasi di atletik ini agak tersendat. Makanya, butuh terobosan. Dia tak setuju format PON diubah menjadi lebih lama atau lebih cepat dari empat tahunan. Formatnya tetap empat tahunan, tapi kualifikasinya diperketat.

Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), kata Henny, selama ini terlalu mengonsentrasikan diri pada atlet yang ada di pelatnas. "Dulu, kalau saya diminta ikut pelatnas, pelatih langsung minta kepada ayah. Ayah saya tahu, apakah saya punya prospek atau tidak. Sekarang, mestinya pola seperti itu bisa dilanjutkan," sarannya.

Tentang iming-iming hadiah uang, Henny menilai, harus dilihat dari aspek positifnya. Bonus jangan semata dilihat dari aspek pencarian uang, tapi bagaimana itu bisa memacu prestasi atlet lebih baik lagi.

"Tidak semua atlet kita berasal dari keluarga mapan. Banyak atlet saya dari daerah yang berpotensi. Saya bilang, ini kesempatan mencari peluang. Entah bagaiman cara, pokoknya harus bisa berprestasi. Setelah berprestasi mereka pun bisa dapat bonus dan beasiswa," papar mantan karyawati Bank Dagang Negara yang memilih pensiun dini pada 1999 ini.

Tahun 2000, Henny mulai terjun di dunia kepelatihan. Dia ditawari memegang kendali di pelatnas. Henny menganggap amanah ini tidak ringan. Sebelumnya, ia sempat ikut penataran untuk mengambil sertifikat level 1, dan pada tahun 2002 ikut level 2.

Henny mengaku selalu mengucap syukur dengan apa yang telah diperolehnya sekarang. Dalam falsafah hidupnya, ia selalu bilang: belajarlah dengan apa yang ada. Jangan mudah menyerah dan berputus asa. Keputusasaan akan mendekatkan pada malapetaka.  

Lewat pengembaraan di dunia olahraga, Henny telah menjadi aset nasional yang namanya pantas dikenang. Meski begitu, ia tak ingin tinggi hati dan selalu menghargaai orang lain.  "Bagi saya, seseorang yang berhasil mencapai prestasi dengan kemampuan dan usaha, dia pasti gampang menghargai orang lain," ucapnya serius.(*)  

Lourina Henriette Maspaitella. Nama Panggilan : Henny Maspaitella. Keluarga : I Wayan Budi Astra (suami); Lourenzo Andreas Astra (anak); Louise Sarah Paulina Astra (anak). Pendidikan : SD Santa Angela; SMP Stella Marris; SMAN 2 Surabaya; STIE Perbanas Jakarta. Karier : Pegawai Bank Dagang Negara . Prestasi : Pemegang rekor nasional Lari 100 Meter (1985-1999); Medali emas momor lari 200 Meter SEA Games X, 1983 Medali emas nomor lari 100 meter SEA Games IX, 1979; Pelatih Pelatnas Atletik, 2000; Pelatih Jatim Program Puslatda PON XVII/2008.

Kisah Henny Maspaitella Ringkus Dua Pencopet

Enam pelari berebut terdepan menapaki tribun Gelora 10 Nopember Tambaksari, Surabaya Teriakan keras mereka terdengar penuh bersemangat. Pagi itu, suasana latihan terasa menyenangkan. Semua saling melempar sindiran, akrab. Yang kalah cepat memberi acungan jempol kepada yang terdepan.

Di pinggir tribun, dekat pagar pembatas penonton VIP, seorang wanita berdiri dengan peluit dan stopwatch di tangan. Sesekali ia berteriak, menyeru agar para pelari meningkatkan kecepatan. Dia takzim mengamati atlet-atlet binaannya.

Wanita itu, Lourina Henriette Maspaitella atau karib disapa Henny Maspaitella. Bukan kebetulan jika Henny Maspaitella berada di lapangan. Dalam seminggu, bisa empat hingga lima hari Henny mendampingi atlet binaannya. Selain di Gelora 10 Nopember Tambaksari, dia juga kerap melatih atletnya di lapangan KONI Jatim, Universitas Negeri Surabaya, dan Gelora Delta Sidoarjo.

Latihan, bagi Henny, merupakan rutinitas hidup. Tiap hari, dia bisa melakukan dua sesi latihan, pagi dan sore hari. Setiap sesi, rata-rata berlangsung dua jam. "Kita tidak mungkin menorehkan prestasi bagus tanpa latihan yang memadai. Apalagi di atletik, sulit kalau prestasinya hanya sedang-sedang saja. Kalau dihitung, berapa banyak atlet atletik sekarang, tapi apa mereka juga dikenal masyarakat? " ujar Henny. 

Di setiap latihan, Henny tergolong sangat disiplin. Dia tak mau melihat anak buahnya berleha-leha. Apalagi, ada anak buahnya yang tidak menghargai waktu. "Bagi saya, bukan waktu yang mengatur kita, tapi kita yang mengatur waktu," cetus Henny.

Tak heran, kadang Henny bisa bersikap otoriter dalam latihan. Ia bisa marah kalau ada atletnya yang ceroboh. Makanya, sesi demi sesi dalam latihan, ia selalu memusatkan perhatikan. Matanya tak pernah berhenti bergerak, mengamati anak-anak didiknya berlatih. Kalau ada dianggap tak pas, Henny langsung berteriak. Suara yang melengking bisa meluncur begitu saja. "Otoriter bagi saya perlu. Sejauh hal itu dilakukan demi peningkatan prestasi,"  ucap Henny.

Soal latihan, jelas Henny, ada beberapa hal yang harus dilakukan guna memersiapkan atlet. Di antaranya persiapan umum untuk membentuk fisik, persiapan khusus yang sudah pada mengatur berat badan, kelenturan otot, dan persiapan kompetisi yang terfokus pada teknik. Kata dia, periodisasi ini sangat penting. Sebab, dengan begitu atlet akan bisa membentuk kekuatan sekaligus karakternya.

Di kalangan pelatih olahraga, Henny tergolong modern. Dia selalu memanfaatkan teknologi untuk memantau perkembangan atlet binaannya. Dalam latihan, Henny terbiasa membawa stylus pen dari sebuah perangkat personal digital assistant. Alat itu acap berada dalam jepitan tangannya. Dengan gesit, ia memasukkan data capaian anak-anak asuhannya.

Menurut mantan pelatih tim putri Jatim di program Puslatda PON XVII/2008 itu, perkembangan teknologi informasi demikian cepat harus harus diikuti dan dipelajari. "Sekarang ini mau tahu apa saja kan gampang. Tinggal masuk ke (jaringan) internet terus klik. Namun, masih banyak juga yang tetap berpegangan pada pengalamannya waktu dulu ketika menjadi atlet," jlentrehnya.

Namun begitu, di luar latihan, sosok Henny yang keras dan disiplin, bisa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia selalu menjadi sahabat yang baik anak didik saya.

Henny terbiasa menjadi ibu dari anak-anak asuhnya. Bukan hanya terkait prestasi, perhatiannya bisa sampai pada hal-hal yang sangat pribadi.  "Sejujurnya, saya sangat senang mengamati karakter manusia," tutur wanita yang gemar membaca buku-buku psikologi dan biografi ini. 

Bagi Henny, selama bertahun-tahun menjadi pelatih, ia acapkali menjadi teman curhat dari orang-orang sekitarnya, baik atlet maupun sesama pelatih. Ada yang positif, ada yang berkecenderungan negatif. Baginya hal itu sangat lumrah. Karena pada dasarnya, emosi manusia tidak stabil. Apalagi bila sedang marah dan kecewa. Karena itu, mereka butuh pelampiasan.

"Kalau sudah begitu, saya berusaha keras untuk menjadi teman yang baik, yang mau mendengar keluh kesah mereka," tutur Henny, lalu tersenyum.

***

Awal mula Henny Maspaitella jatuh cinta pada atletik boleh dibilang tidak disengaja. Dulunya, ia sempat ikut berbagai macam olah raga, seperti voli, basket, dan sofbol. "Adik saya Loudry (Loudry Maspaitella) dulunya ikut sepak bola. Karena sering lihat latihan atletik berat, sampai muntah-muntah, dia akhirnya memilih voli," ungkap Henny. Loudry Maspaitella adalah atlet voli nasional dua dekade. Loudry sempat menjadi pelatih, namun karena tenaganya masih dibutuhkan, ia ditarik kembali untuk memperkuat tim nasional Indonesia.

Kehadiran Henny sebagai olahragawan berprestasi bukan tiba-tiba.

Darah sebagai atlet mengalir dari kedua orang tuanya. Ayah Henny, Leonard Maspaitella adalah atlet lompat jangkit nasional. Ibunya, Paulina Sarah Lessil adalah atlet voli nasional.

Kala itu, Paulina Sarah selalu membujuk Henny untuk menekuni atletik. Katanya, kalau berprestasi di atletik itu lebih enak. "Ya, karena kalau juara kan bisa perorangan, bukan orang banyak," kenang Henny. 

Sejak keci, Henny mengaku suka berlari. Lari cepat. Yang juga mendukung, rumahnya Jl Kawung, dekat lapangan bola. Tiap hari Henny memanfaatkan untuk latihan dan bermain. "Tak hanya di lapangan, di dalam rumah pun saya tak bisa jalan. Mau ke depan dari belakang rumah, saya selalu lari," ungkapnya, lantas tertawa riang.

Umur 11 tahun, Henny mulai aktif berlatih di Lapangan Thor (Gelora Pantjasila). Dia ikut klub AC'75, pendirinya Yan Sondakh dan Bram Soselisa. AC'75 tersebut merupakan klub atletik satu-satunya di Surabaya.

Henny kemudian terpilih ikut Porseni SD, 1975. Saat itu, ia ikut tim SD Santa Angela, Jl Kepanjen Surabaya. Dalam seleksi, Henny berhasil mengalahkan teman-teman satu sekolah. Prestasi gemilang pun berhasil diraih. Medali emas direnggut dari nomor lari 100 meter. Penampilan Henny membius banyak orang yang menyaksikan lomba di Porseni SD tersebut.  

Setelah juara Porseni SD, Henny makin ketagihan berlatih lari. Obsesinya menjadi juara di atletik digantung setinggi langit. Untuk mewujudkannya, ia menyeriusi latihannya. Saban hari, ia selalu menyempatkan latihan, minimal dua jam.

Selain itu, Henny mengatur pola makan. Lewat bimbingan pelatihnya, bakat Henny mulai terpoles. Kelenturan tubuhnya mulai terbentuk. Peningkatan kecepatan larinya makin pesat.

Merangkak dengan pasti. Di ajang nasional, Henny kembali menunjukkan keunggulannya. Dia melejit sebagai sprinter  nasional yang sangat ditakuti. Di setiap event nasional nama Henny mulai diperhitungkan. 

Deretan prestasi berhasil ia renggut. Henny Maspaitella adalah pemegang rekor lari 100 meter sejak 1985. Henny mencetak rekornas 100 meter di tahun 1985, catatan waktunya 11,62 detik. Baru pada tahun 1999, rekor Henny dipecahkan Irene Truitje Yoseph dengan waktu 11,56 detik.

Pengalaman internasional mulai dirambah. Yang membanggakan, Henny mendapat medali emas nomor lari 200 meter SEA Games X Jakarta. Saat itu usianya baru 14 tahun. Dan sejak itu Henny jadi langganan memperkuat tim nasional pada kejuaraan multi maupun single event internasional.

Apakah prestasinya itu suatu kebetulan? "Tidak," ucap Henny. "Kalau kebetulan, di nomor 100 meter saat itu saya meraih perunggu. Jadi, itu bukan suatu kebetulan," sambung wanita yang pernah berlatih di Jerman selama enam bulan ini.

Yang sangat mengejutkan, Henny berhasil mempecundangi ratu atletik Filipina, Lydia de Vega, yang sempat merajai dunia atletik pada beberapa SEA Games. Di tahun 1979, Henny merebut emas nomor 100 meter dengan waktu 12,31 detik, jauh di atas Lydia dengan waktu 12,46 detik. Di kejuaraan Asia Terbuka, 1981, ia menjuarai lari 100 dan 200 meter. 

Dari torehan prestasi tersebut, nama Henny makin melejit. Ia berhasil mencatatkan diri sebagai satu-satunya pelari Indonesia yang berhasil meraih emas SEA Games.

Tapi, sukses besar tersebut tidak ingin membuat Henny terlena. Apalagi menjadi besar kepala. "Orang tua saya menanamkan betul prinsip untuk menjadi manusia rendah hati. Boleh saja saya juara di lapangan, disanjung-sanjung. Tapi, kalau di rumah saya harus tahu diri. Saya tetap seorang anak yang harus ngepel, nyuci," tutur istri I Wayan Budi Astra, seorang atlet atletik nasional yang menikahinya tahun 1985.                    

***

Ada pengalaman seru yang sampai sekarang tak bisa dilupakan Henny Maspaitella. Suatu hari, ia pernah menangkap pencopet. Tiga pencopet sekaligus!

Ceritanya di tahun 1998. Saat itu, Henny masih menjadi karyawati di Bank Dagang Negara di Jakarta. Pagi-pagi ia berangkat kerja naik bus tingkat. Namanya angkutan umum, penumpangnya pasti berdesak-desakan.

Henny memilih berdiri di dekat sopir, dekat tangga bus. Kala itu, perasaan Henny tak enak. Beberapa orang memperhatikan dirinya. Selang beberapa saat, ada tiga atau empat orang yang sengaja memepet dirinya. Henny mulanya tak curiga orang-orang itu akan berbuat jahat.

Tiba-tiba, tubuh Henny ditubruk seseorang. Posturnya agak pendek dari dirinya, namun badannya lebih gemuk. Henny tersadar. Ia lalu melihat resleting tasnya terbuka. Ternyata, dompet di tasnya sudah digondol pencopet. Henny panik. Pandangannya langsung tertuju pada tiga orang tersebut. Apalagi kemudian ketiga orang yang dicurigai pencopet itu, bergegas turun dari bus. 

Tahu barangnya dicuri, Henny berontak. Namun hati kecilnya dalam dilema. Apakah harus mengejar atau berteriak minta tolong. "Apa yang harus dilakukan untuk melawan ketiga pencopet itu?" batinnya berdesir.

Dalam kepanikan, Henny melihat beberapa polisi sedang bertugas. Dia pun bergegas turun. Henny mengejar tiga pencopet tersebut sembari berteriak, copet..copet...

Aksi kejar-kerajan tak terhindarkan. "Saya lari sekencang-kencangnya sat itu dengan jatung berdebar-debar," kenangnya.

Tuhan masih melindungi Henny. Henny yang saat itu masih menjadi sprinter nasional, berhasil mendekati tiga orang pencopet. Sejurus kemudian, ketiga pencopet berhasil diringkus oleh Henny, polisi, dan juga orang-orang yang kebetulan berada di lokasi kejadian. Beberapa orang sempat melontarkan bogem mentah ke arah tubuh para pencopet.

Para penjahat itu langsung dibawa ke Markas Polda Metro Jaya, yang kebetulan tak jauh dari tempat kejadian. Saat digelandang ke markas, seorang polisi memegang seorang pencopet, sementara Henny memegang dua pencopet. "Saya nekat saja. Saya pegang sininya," kata Henny yang menunjuk ke arah bagian kerahnya.

Saat di markas itu, banyak polisi heran sekaligus kagum. Sebab, ada seorang wanita yang berani menangkap dua pencopet sekaligus. "Mungkin dikira saya intel, ya. Apalagi potongan rambut saya waktu itu pendek, gitu," ucap Henny, lalu tersenyum.

Sebetulnya, Henny ingin segera mengakhirinya. Karena dompet yang diambil pencopet berhasil kembali. Makanya, ketika diperiksa di Markas Polda Metro Jaya, Henny bergegas pulang.

Namun saat pulang, ia berpapasan dengan sejumlah wartawan. Banyak di antara wartawan itu yang ia mengenalnya. "Saya bilang nggak ada apa-apa," kelit Henny ketika dimintai keterangan wartawan.

Namun kejadian itu akhirnya tercium juga wartawan. Berita besar tentunya. Sebelum meninggalkan pelataran mapolda, Henny tak bisa berkutik ketika diwawancarai wartawan. Namun sebelumnya, ia minta syarat agar namanya tidak ditulis lengkap. Cukup inisial LHM (Lourina Henriette Maspaitella).

Esok hari, suasana di pelatnas geger. Koran-koran ibu kota memberitakan kejadian itu cukup besar. Ada atlet nasional yang berhasil menangkap copet. Bahkan, ada koran yang menyebut sprinter nasional berhasil meringkus copet. Atlet-atlet di pelatnas mencecar Henny, apa benar yang dimaksud koran-koran itu dengan inisia LHM adalah dirinya? Henny tak menjawab selain menggelengkan kepalanya.

Setelah peristiwa itu, dua bulan Henny tak berani naik bus. "Tiap hari saya naik taksi. Saya takut kalau-kalau gerombolan mereka mencari saya," kenang Henny, lantas terkekeh.

***

Di atletik, kita memang agak sulit mencari bakat sehebat Henny Maspaitella, Emma Tahapary, Gurnam Singh, Purnomo, atau Mardi Lestari. Bahkan, kurun waktu terakhir, prestasi atlet-atlet atletik Indonesia cenderung menurun. Masih kalah dibandingkan Filipina Thailand, dan Vietnam.

Bahkan, untuk pemecahan rekor Henny di nomor 100 meter, yang berhasil dipecahkan Irene Truitje Yoseph pada 1999 dengan waktu 11,56 detik, butuh waktu empat tahun.

Soal lamanya rentang waktu pemecahan rekor atletik ini, Henny menilai hal itu terkait pembinaan. "Kalau pembinaan tetap seperti ini, saya pikir untuk memecahkan rekornas saja kita susah. Padahal, di dunia rekor itu hampir tiap tahun ada yang pecah," jelas pemilik tinggi badan 171 sentimeter dan berat 60 kilogram ini. 

Henny mengakui, kaderisasi di atletik ini agak tersendat. Makanya, butuh terobosan. Dia tak setuju format PON diubah menjadi lebih lama atau lebih cepat dari empat tahunan. Formatnya tetap empat tahunan, tapi kualifikasinya diperketat.

Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), kata Henny, selama ini terlalu mengonsentrasikan diri pada atlet yang ada di pelatnas. "Dulu, kalau saya diminta ikut pelatnas, pelatih langsung minta kepada ayah. Ayah saya tahu, apakah saya punya prospek atau tidak. Sekarang, mestinya pola seperti itu bisa dilanjutkan," sarannya.

Tentang iming-iming hadiah uang, Henny menilai, harus dilihat dari aspek positifnya. Bonus jangan semata dilihat dari aspek pencarian uang, tapi bagaimana itu bisa memacu prestasi atlet lebih baik lagi.

"Tidak semua atlet kita berasal dari keluarga mapan. Banyak atlet saya dari daerah yang berpotensi. Saya bilang, ini kesempatan mencari peluang. Entah bagaiman cara, pokoknya harus bisa berprestasi. Setelah berprestasi mereka pun bisa dapat bonus dan beasiswa," papar mantan karyawati Bank Dagang Negara yang memilih pensiun dini pada 1999 ini.

Tahun 2000, Henny mulai terjun di dunia kepelatihan. Dia ditawari memegang kendali di pelatnas. Henny menganggap amanah ini tidak ringan. Sebelumnya, ia sempat ikut penataran untuk mengambil sertifikat level 1, dan pada tahun 2002 ikut level 2.

Henny mengaku selalu mengucap syukur dengan apa yang telah diperolehnya sekarang. Dalam falsafah hidupnya, ia selalu bilang: belajarlah dengan apa yang ada. Jangan mudah menyerah dan berputus asa. Keputusasaan akan mendekatkan pada malapetaka.  

Lewat pengembaraan di dunia olahraga, Henny telah menjadi aset nasional yang namanya pantas dikenang. Meski begitu, ia tak ingin tinggi hati dan selalu menghargaai orang lain.  "Bagi saya, seseorang yang berhasil mencapai prestasi dengan kemampuan dan usaha, dia pasti gampang menghargai orang lain," ucapnya serius.(*)  

Lourina Henriette Maspaitella. Nama Panggilan : Henny Maspaitella. Keluarga : I Wayan Budi Astra (suami); Lourenzo Andreas Astra (anak); Louise Sarah Paulina Astra (anak). Pendidikan : SD Santa Angela; SMP Stella Marris; SMAN 2 Surabaya; STIE Perbanas Jakarta. Karier : Pegawai Bank Dagang Negara . Prestasi : Pemegang rekor nasional Lari 100 Meter (1985-1999); Medali emas momor lari 200 Meter SEA Games X, 1983 Medali emas nomor lari 100 meter SEA Games IX, 1979; Pelatih Pelatnas Atletik, 2000; Pelatih Jatim Program Puslatda PON XVII/2008.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Atletik Selengkapnya
Lihat Atletik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun