Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Melukis Rumah di Surga

29 Agustus 2019   14:25 Diperbarui: 4 September 2019   12:40 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nastiti menangis lagi. Bayi berusia enam setengah bulan itu kembali terusik tidurnya. Lantunan suara dari bacaan Alquran, berikut puji-pujian kebesaran Ilahi yang bergumuruh keras dari loud speaker musala Al Amien, membuat dirinya terkaget-kaget.
Siang 

itu, di musala sedang berlangsung acara kirim doa. Pesertanya kebanyakan warga setempat. Ritual keagamaan itu dilaksanakan turun-temurun. Sudah menjadi tradisi dan watak khas di kampung tersebut. Rasanya, ada yang nggak pas bila segala peristiwa, seperti kelahiran, kematian, atau memperingati Hari Besar Islam, tanpa dibarengi ritual dengan digelar suasana yang gempita.

Bahkan, kampung itu punya panitia khusus untuk menangani acara-acara ritual seperti ini. Mereka yang masuk kepanitiaan dipilih oleh pengurus takmir musala. Yang utama, harus hapal Alquran. Atau setidaknya, punya latar belakang pendidikan agama mumpuni. Entah dari pondok pesantren atau perguruan tinggi Islam. Yang terlibat kepanitiaan diberi honor. Baik dari takmir sendiri atau tang perseorangan yang meminta bantuan kirim doa.

Biasanya, dalam acara itu, para tetangga yang tak terlibat dalam kepanitiaan, juga ikut berpartisipasi. Walau hanya sekadar memgirim tumpeng, buah-buahan, bubur, kolak, dan jajan pasar. Yang tak ketinggalan, panitia selalu menyuguhkan menumu minuman khas: kopi jahe gula merah.

Acara puji-pujian itu dilakukan sejak pagi. Tepatnya, sesudah subuh. Kapan tepat selesainya tidak pasti. Bisa bada Isya, bisa juga sampai dinihari. Dari delapan orang itu Ada enam orang secara bergiliran membaca lantunan kalam Ilahi. Jedanya, hanya pada saat memasuki masuk salat lima waktu. Kemudian dilanjutkan lagi sampai tuntas. Terkadang, kegiatan itu sampai berakhir dini hari.

Di setiap ada kegiatan itu, Firman, ayah Nastiti, selalu sibuk. Bukan mempersiapkan makanan atau minuman seperti tetatngga lainnya. Tapi karena Nastiti. Ya, anak semata wayangnya itu acap kali terkaget-kaget mendengar suara yang keras dari musala itu.

Jika melihatnya anaknya tersungguk-sungguk, Firman bergegas membopongnya. Menenangkan dengan mengelus-elus punggungnya. Bila tangis tak kunjung reda, Nanik, istrinya, giliran menjemputnya. Ditetekinya, dibelai rambut tipis Nastiti sampai dia merasa tenang. Sampai matanya terpejam lagi.

Kesibukan seperti ini sudah dilakoni keluarga Firman sejak dua bulan lalu. Sejak mereka menempati rumah kontrakan baru. Rumah itu tak kelewat mewah  Luasnya hanya tujuh puluh dua meter persegi. Lokasinya di pojok gang, persis bersebelahan dengan musala tersebut.

Tiap mendapati Nastiti menangis, hati Firman sedih. Tangis buah hatinya amat menyayat hati. Keterjagananya lantaran terkaget-kaget dari suara keras di musala itu membuat jantung Nastiti berdebar keras. Tak jarang, Nastiti megap-megap menahan ketakutan.

Bagi Firman, ia tak pernah mengeluh soal acara itu. Firman sendiri sejak
sekolah dasar sudah mendapat pengetahuan agama. Baik formal maupun informal. Dia bisa membaca tartil Alquran, meski belum mampu mengartikan dan memahaminya.

Menghapal puji-pujian? Semasa SMA Firman suka menghadiri acara Marhabanan. Kawan-kawan di kampungnya dulu juga sering mengajak Firman ikut tahlilan. Di intens berinteraksi dengan para ustad dan ulama. Bukan hanya membaca kalimat tahmid, tasdid, maupun tahlil saja yang bisa dilakukan, Firman masih bisa menghapal ayat kursi, asmaul husna, dan surat al baqarah..

***

Mulanya, Firman berusaha khusnuzdon, berprasangka baik. Apa yang dilakukan para tetangganya itu dianggap bagian ekspresi keberagamaan. Yang bisa lahir dari sikap kebersamaan dan gotong royong.

Hanya, setelah sekian lama, Firman tak kuasa menahan gejolak batinnya. "Apa benar sih syiar agama harus dilakukan seperti itu?" protes dia dalam hati.

Malam itu, pikiran Firman tak tenang. Kesumpekan telah menggiring batinnya penuh amarah. Beberapa kali ia mengintip jendela, melihat kesibukan di masjid. Namun ia tak bisa melihat, siapa yang masih di dalam musala dan membaca Alquran. Hanya pintu depan musala yang terbuka separo yang korden hijau yang menutupi di baliknya.

Sebelumnya, Firman penuh mencurahkan kegalauan hatinya ini. Dia berdiskusi dengan beberapa orang yang dianggap mengerti seluk beluk agama. Jawabannya bervariasi. Ada yang menganggap biasa. Ada yang meminta menerima saja. Ada pula yang melarang karena dianggap bid'ah, tidak termasuk yang diajarkan Rasulullah. Yang lain, itu sebaiknya dihindari lantaran membuat orang lain menderita.

Semua jawaban itu tak cukup membuat Firman puas. "Saya ingin ketemu mereka yang ada di musala itu, bertemu langsung" ucap Firman. Nanik, yang mendengar kehendak suaminya itu menyela, "Mau apa, sih?

"Saya mau mengajak mereka berdialog dengan mereka.".

"Apa itu penting, Mas?"

"Ya, penting sekali." Firman kali ini mengangguk-anggukan kepalanya, pasti.

"Asal tahu saja, yang mereka lakukan sudah kelewatan. Sudah melebihi batas."

Suara Firman sedikit lebih meninggi.

"Lha kamu mau memarahi mereka apa? Terus nyetop agar mereka tidak usah ngaji lagi?" tanya Nanik yang mulai curiga.

Gitu ya, kamu mau jadi pengadil, Nanik kembali menyergap.

"Biar mereka paham. Mensyiarkan agama bukan seperti itu. Sangat menyakitkan."

"Jangan cari perkara Mas. Sudahlah, wong hanya begitu saja kok kamu bersungut-sungut, sih." "Lagian kamu kok jadi mudah sewot. Yang saya tahu kamu kan orangnya toleran banget."

"Ini bukan soal toleran atau tidak, Dik. Ini soal gangguan, Dik. Bising!"

"Lha kamu mau apa? Ngobrak mereka supaya bubar? Bisa-bisa kamu digeruduk orang sekampung, ngaco ah?"

Firman mencoba menjelaskan. Dia bilang, urusan sikap keberagamaan itu memang kebebasan. Urusan yang paling hakiki. Setiap insan punya hak mengekspresikannya.

"Tapi kalau menganggu kepentingan umum, itu sudah kebablasan," Firman kembali menyela.

"Apa itu menyelesaikan masalah? Kita ini orang baru di sini. Harusnya lebih bisa menghargai lah. Lha, kalau tiba-tiba kamu bersikap serampangan gitu, bisa-bisa kamu diangap lancang, ngelunjak.

Ndak, pokoknya aku ndak setuju," cetus Nanik, lalu ngeloyor ke dapur meninggalkan suaminya yang masih diselubungi amarah.

***

Firman tercenung. Ia berpikir keras, bagaimana caranya menyampaikan keluhannya itu. Perkara ini diakui tidak mudah diselesaikan. Pergolakan batinnya makin membawa. Makin tak terkendali. Hingga, dirinya serasa berada di tepian antara menegakkan dakwah dan mengambil hikmah.

Jarum jam menunjukkan pukul 22.45. Mata Firman masih menyala-nyala. Dihampirinya buku-buku yang disimpan rapi di almari. Sedikitnya, enam buku ia comot. Paling banyak buku-buku agama. 

Sambil merebahkan diri ke kursi malas, ia mulai membacanya. Tidak semua buku ia baca tuntas. Terbacalah sebuah pelajaran tentang doa. Bahwa doa yang mustajabah, selain terikat dengan ruang dan waktu, juga punya energi besar bila dilakukan dengan banyak orang. Tak salah bila banyak orang menyakini, lebih afdol berdoa ke Mekkah saat ibadah haji. Kenapa? Ada energi yang besar yang insya Allah membuat keinginan-keinginan kita dikabulkan oleh Allah.

Soal doa itu, Firman lalu teringat kawan baiknya, Basuki. Ia adalah mantan jurnalis di sebuah perusahaan media terbesar dan ternama. Yang membuat Firman tergelitik, Basuki lalu memutuskan berhenti sebagai jurnalis. Garanya-garanya ia ingin membuktikan kebenaran Alquran. Wuihh..

"Semua ayat di Al Qur'an itu benar, Dik, tapi banyak yang tidak tahu cara yang tepat menggunakannya," terang Basuki, lalu mengisap rokok filternya dalam-dalam, suatu ketika.

Penjelasan itu tentu saja tak membuat Firman kaget. Bukan barang baru yang menakjubkan. Sejak kecil, Firman merasa kalau berdoa adalah ikhtiar penting yang harus dilakukan manusia. Makanya, Firman hanya menyimak saja penuturan Basuki.

"Teori gelombang dan energi itu adalah keniscayaan. Begitu pun dalam doa. Semakin banyak orang berdoa, makin besar energi yang dihasilkan. Dan lagi, kalau orang banyak berdoa itu ibaratnya seperti melukis rumah di surga," Basuki menutur bak seorang ulama.

"Lantas, bagaimana dengan doa untuk kepentingan lain?" Firman mulai tertarik berdiskusi.

"Maksudmu?"

"Ya, kalau berdoa untuk mengabulkan keinginan tertentu. Sekarang kan banyak, orang berdoa untuk memberi dukungan orang lain. Untuk mendukung tokoh atau petinggi tertentu yang berhasrat merebut kekuasaan. Jadi presiden, bupati, wali kota, anggota dewan, atau kepala desa?"

"Kalau itu lain. Itu doa untuk kepentingan politik. Jawab Basuki

"Apa itu bisa dibenarkan? Firman terus mengejar.

"Saya tak mau menghakimi. Saya tidak ingin berdebat soal itu," elak Basuki seraya meremas-remas rokoknya ke dalam asbak.

Satu lagi, kita bisa menyaksikan lah, banyak orang berdoa juga minta sedekah. Di perempatan jalan, keliling pakai mobil? cetus Firman lagi.

Basuki hanya terdiam lalu menganggukkan kepalanya.

Pertemuan dengan Basuki itu melumat pikiran Firman. Ia masih bingung. Energi besar bisa lahir dari doa yang dilakukan bersama. Atau, energi dihasilkan dari berdoa dengan suara gemuruh? Perlahan, energi tubuh Firman mulai redup. Ia rasakan, kerisauan yang menderanya telah membawanya makin tak berdaya.

Suara lantunan Alquran dari loud speaker musala masih nyaring terdengar. Lamat-lamat, mata Firman jadi berat. Ia lalu tertidur ditemani buku-bukunya yang sebagian tercecer di lantai. Dalam benaknya, ia berharap, semoga bisa melukis rumah di surga. (agus wahyudi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun