Nastiti menangis lagi. Bayi berusia enam setengah bulan itu kembali terusik tidurnya. Lantunan suara dari bacaan Alquran, berikut puji-pujian kebesaran Ilahi yang bergumuruh keras dari loud speaker musala Al Amien, membuat dirinya terkaget-kaget.
SiangÂ
itu, di musala sedang berlangsung acara kirim doa. Pesertanya kebanyakan warga setempat. Ritual keagamaan itu dilaksanakan turun-temurun. Sudah menjadi tradisi dan watak khas di kampung tersebut. Rasanya, ada yang nggak pas bila segala peristiwa, seperti kelahiran, kematian, atau memperingati Hari Besar Islam, tanpa dibarengi ritual dengan digelar suasana yang gempita.
Bahkan, kampung itu punya panitia khusus untuk menangani acara-acara ritual seperti ini. Mereka yang masuk kepanitiaan dipilih oleh pengurus takmir musala. Yang utama, harus hapal Alquran. Atau setidaknya, punya latar belakang pendidikan agama mumpuni. Entah dari pondok pesantren atau perguruan tinggi Islam. Yang terlibat kepanitiaan diberi honor. Baik dari takmir sendiri atau tang perseorangan yang meminta bantuan kirim doa.
Biasanya, dalam acara itu, para tetangga yang tak terlibat dalam kepanitiaan, juga ikut berpartisipasi. Walau hanya sekadar memgirim tumpeng, buah-buahan, bubur, kolak, dan jajan pasar. Yang tak ketinggalan, panitia selalu menyuguhkan menumu minuman khas: kopi jahe gula merah.
Acara puji-pujian itu dilakukan sejak pagi. Tepatnya, sesudah subuh. Kapan tepat selesainya tidak pasti. Bisa bada Isya, bisa juga sampai dinihari. Dari delapan orang itu Ada enam orang secara bergiliran membaca lantunan kalam Ilahi. Jedanya, hanya pada saat memasuki masuk salat lima waktu. Kemudian dilanjutkan lagi sampai tuntas. Terkadang, kegiatan itu sampai berakhir dini hari.
Di setiap ada kegiatan itu, Firman, ayah Nastiti, selalu sibuk. Bukan mempersiapkan makanan atau minuman seperti tetatngga lainnya. Tapi karena Nastiti. Ya, anak semata wayangnya itu acap kali terkaget-kaget mendengar suara yang keras dari musala itu.
Jika melihatnya anaknya tersungguk-sungguk, Firman bergegas membopongnya. Menenangkan dengan mengelus-elus punggungnya. Bila tangis tak kunjung reda, Nanik, istrinya, giliran menjemputnya. Ditetekinya, dibelai rambut tipis Nastiti sampai dia merasa tenang. Sampai matanya terpejam lagi.
Kesibukan seperti ini sudah dilakoni keluarga Firman sejak dua bulan lalu. Sejak mereka menempati rumah kontrakan baru. Rumah itu tak kelewat mewah  Luasnya hanya tujuh puluh dua meter persegi. Lokasinya di pojok gang, persis bersebelahan dengan musala tersebut.
Tiap mendapati Nastiti menangis, hati Firman sedih. Tangis buah hatinya amat menyayat hati. Keterjagananya lantaran terkaget-kaget dari suara keras di musala itu membuat jantung Nastiti berdebar keras. Tak jarang, Nastiti megap-megap menahan ketakutan.
Bagi Firman, ia tak pernah mengeluh soal acara itu. Firman sendiri sejak
sekolah dasar sudah mendapat pengetahuan agama. Baik formal maupun informal. Dia bisa membaca tartil Alquran, meski belum mampu mengartikan dan memahaminya.