Menghapal puji-pujian? Semasa SMA Firman suka menghadiri acara Marhabanan. Kawan-kawan di kampungnya dulu juga sering mengajak Firman ikut tahlilan. Di intens berinteraksi dengan para ustad dan ulama. Bukan hanya membaca kalimat tahmid, tasdid, maupun tahlil saja yang bisa dilakukan, Firman masih bisa menghapal ayat kursi, asmaul husna, dan surat al baqarah..
***
Mulanya, Firman berusaha khusnuzdon, berprasangka baik. Apa yang dilakukan para tetangganya itu dianggap bagian ekspresi keberagamaan. Yang bisa lahir dari sikap kebersamaan dan gotong royong.
Hanya, setelah sekian lama, Firman tak kuasa menahan gejolak batinnya. "Apa benar sih syiar agama harus dilakukan seperti itu?" protes dia dalam hati.
Malam itu, pikiran Firman tak tenang. Kesumpekan telah menggiring batinnya penuh amarah. Beberapa kali ia mengintip jendela, melihat kesibukan di masjid. Namun ia tak bisa melihat, siapa yang masih di dalam musala dan membaca Alquran. Hanya pintu depan musala yang terbuka separo yang korden hijau yang menutupi di baliknya.
Sebelumnya, Firman penuh mencurahkan kegalauan hatinya ini. Dia berdiskusi dengan beberapa orang yang dianggap mengerti seluk beluk agama. Jawabannya bervariasi. Ada yang menganggap biasa. Ada yang meminta menerima saja. Ada pula yang melarang karena dianggap bid'ah, tidak termasuk yang diajarkan Rasulullah. Yang lain, itu sebaiknya dihindari lantaran membuat orang lain menderita.
Semua jawaban itu tak cukup membuat Firman puas. "Saya ingin ketemu mereka yang ada di musala itu, bertemu langsung" ucap Firman. Nanik, yang mendengar kehendak suaminya itu menyela, "Mau apa, sih?
"Saya mau mengajak mereka berdialog dengan mereka.".
"Apa itu penting, Mas?"
"Ya, penting sekali." Firman kali ini mengangguk-anggukan kepalanya, pasti.
"Asal tahu saja, yang mereka lakukan sudah kelewatan. Sudah melebihi batas."