Suara Firman sedikit lebih meninggi.
"Lha kamu mau memarahi mereka apa? Terus nyetop agar mereka tidak usah ngaji lagi?" tanya Nanik yang mulai curiga.
Gitu ya, kamu mau jadi pengadil, Nanik kembali menyergap.
"Biar mereka paham. Mensyiarkan agama bukan seperti itu. Sangat menyakitkan."
"Jangan cari perkara Mas. Sudahlah, wong hanya begitu saja kok kamu bersungut-sungut, sih." "Lagian kamu kok jadi mudah sewot. Yang saya tahu kamu kan orangnya toleran banget."
"Ini bukan soal toleran atau tidak, Dik. Ini soal gangguan, Dik. Bising!"
"Lha kamu mau apa? Ngobrak mereka supaya bubar? Bisa-bisa kamu digeruduk orang sekampung, ngaco ah?"
Firman mencoba menjelaskan. Dia bilang, urusan sikap keberagamaan itu memang kebebasan. Urusan yang paling hakiki. Setiap insan punya hak mengekspresikannya.
"Tapi kalau menganggu kepentingan umum, itu sudah kebablasan," Firman kembali menyela.
"Apa itu menyelesaikan masalah? Kita ini orang baru di sini. Harusnya lebih bisa menghargai lah. Lha, kalau tiba-tiba kamu bersikap serampangan gitu, bisa-bisa kamu diangap lancang, ngelunjak.
Ndak, pokoknya aku ndak setuju," cetus Nanik, lalu ngeloyor ke dapur meninggalkan suaminya yang masih diselubungi amarah.