Ambisi Politik Slobodan MilosevicÂ
Slobodan Milosevic adalah Presiden Serbia yang memerintah antara 1989-1997. Milosevic memiliki ambisi yang mirip dengan apa yang diperlihatkan oleh pemimpin Jerman, Adolf Hitler. Kader Partai Komunis yang lulus Ilmu Hukum dari Universitas Beograd ini berambisi menjadikan etnis Serbia sebagai pemimpin semua negara bagian di Yugoslavia.
Ambisi politik Milosevic mulai terlihat saat ia ingin mengubah sistem rotasi dalam pemilihan presiden Yugoslavia dengan sistem pemilihan berskala nasional. Sistem pemilihan ini tentu akan menguntungkan etnis Serbia karena etnis ini mayoritas di Yugoslavia. Dengan kata lain sistem pemilihan akan menguntungkan calon dari etnis Serbia untuk memimpin Yugoslavia.
Sementara Milosevic memupuk ambisinya, Yugoslavia sedang menuju jurang perpecahan. Tanda-tanda perpecahan dimulai saat pada 25 Juni 1991, Slovenia dan Kroasia mulai mengadakan referendum yang menghasilkan kemerdekaan kedua negara bagian ini. Menyusul Macedonia pada 8 September 1991 dan Bosnia-Herzegovina pada 1 Maret 1992. Lalu provinsi otonom Kosovo yang mengikuti langkah keempat negara bagian tersebut pada Mei 1992. Tersisa Serbia, Montenegro dan provinsi otonom Vojvodina yang tetap ingin mempertahankan bentuk federasi. Diketahui Montenegro hanya mampu bertahan mendampingi Serbia selama 14 tahun dan menyatakan berpisah dari Serbia pada tahun 2006.
Slobodan Milosevic tidak mau peduli dengan gejolak kemerdekaan di negara-negara bagian. Justru pada tahun 1992 ia menggaungkan cita-cita menyatukan seluruh negara bagian bekas Yugoslavia ke dalam kekuasaan Serbia Raya. Impian Milosevic inilah yang menjadi awal pembantaian terhadap etnis Muslim di Kosovo dan Bosnia-Herzegovina. Milosevic menggunakan kekuatan tangan besinya sebagaimana penguasa Uni Soviet, Josip Stalin. Milosevic menggunakan kekuatan militernya untuk membungkam negara-negara bagian yang tidak bersedia bergabung dalam kekuasaan Serbia Raya.
Operasi militer lantas digelar oleh Tentara Republik Srpska, Serbia ke negara bagian yang menolak bergabung dengan Serbia Raya. Di antara yang paling merasakan dampak ambisi Milosevic adalah Kosovo dan etnis Muslim Albania. Kosovo pada masa Republik Sosialis Federal Yugoslavia (1946-1992) berstatus sebagai provinsi otonom, bukan negara bagian. Milosevic punya dendam sendiri terhadap etnis Muslim Albania yang pernah memboikot pemilu 1990 yang dimenangkan oleh Partai Sosialis yang dipimpinnya.
Selain Kosovo, Bosnia-Herzegovina juga paling menderita akibat impian Milosevic. Korban genosida Milosevic di bekas negara bagian Yugoslavia yang juga dihuni mayoritas Muslim ini mencapai lebih dari 150.000 korban warga sipil. Kota Srebrenica menjadi tempat pembantaian terbesar tentara Serbia terhadap warga sipil dengan jumlah korban lebih 8.000 orang.
Referendum Kemerdekaan dan Dendam Sejarah
Genosida di Bosnia atau sering juga dituliskan Bosnia-Herzegovina tidak serta-merta terjadi. Peristiwa yang mendahuluinya adalah kemerdekaan Bosnia-Herzegovina yang diawali referendum atau jajak pendapat. Referendum pada 1 Maret 1992 menghasilkan 64% warga menghendaki kemerdekaan lepas dari Yugoslavia. Meski kemerdekaan ini mendapat pengakuan dari Komisi Arbitrase Masyarakat Eropa (ME), Amerika Serikat (AS) bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Serbia tidak bergeming. Etnis Serbia tetap melakukan penyerangan terhadap etnis Muslim Bosnia sejak pertengahan tahun 1992. Inilah awal perang sipil antar etnis di Bosnia yang berlangsung hingga 1995.
Meski awalnya merupakan perang sipil tetapi militer dari negara setiap etnis yang terlibat konflik juga ikut terlibat. Militer Serbia bahkan Yugoslavia membantu etnis Serbia, militer Bosnia membantu etnis Muslim Bosnia, dan militer Kroasia membantu etnis Kroasia yang awalnya berada di pihak Muslim Bosnia lalu beralih memihak etnis Serbia.
Jadi meskipun di Bosnia-Herzegovina juga terdapat etnis Kroasia, tetapi etnis Serbia beranggapan etnis Muslim Bosnia paling bertanggung jawab atas referendum yang menghasilkan kemerdekaan Bosnia-Herzegovina. Alasan lain penyerangan etnis Serbia ini, karena referendum dan kemerdekaan Bosnia-Herzegovina tidak disetujui oleh pemerintah pusat di Beograd, Yugoslavia. Tentu ini mengherankan, karena Bosnia-Herzegovina diperlakukan tidak sama dengan Kroasia, Slovenia dan Macedonia yang juga menyatakan merdeka lepas dari Yugoslavia.