Delegasi luar negeri berikutnya yang datang ke Indonesia adalah Mufti Agung Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini (1948). Saat Indonesia belum merdeka ia telah menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia ketika sedang berada di Jerman. Dukungan itu ia sampaikan melalui siaran radio Berlin (6 September 1944). Selain Mufti Agung Al-Husaini, seorang pengusaha Palestina bernama Muhammad Ali Taher bahkan bersimpati dengan cara menyumbangkan seluruh tabungannya di Arabia Bank untuk mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Selain ke negara Asia, upaya lain menembus blokade ekonomi Belanda adalah misi diplomatik ke negara Amerika Latin (1948). Misi yang bertujuan mengembangkan hubungan perdagangan dengan negara-negara Amerika Latin ini dipimpin oleh Menteri Kemakmuran, Dr. A.K. Gani. Pada tahun yang sama, Indonesia berhasil menandatangani kontrak dagang dengan pengusaha asal Amerika Serikat dan membina hubungan dengan Bank Dunia.
Dukungan Australia, Amerika Serikat dan VatikanÂ
Dukungan yang paling terkenal dari Australia adalah Black Armada atau Armada Hitam. Istilah ini merujuk pada peristiwa pemboikotan kapal-kapal Belanda (dagang dan militer) di pelabuhan-pelabuhan Australia. Pemboikotan ini telah berlangsung sejak September 1945. Tidak kurang dari 400 kapal Belanda yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Australia selama kampanye Black Armada ini tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke Indonesia.
Dukungan Australia berikutnya diperlihatkan setelah Belanda melakukan agresi militer pertama (21 Juli 1947). Hanya berselang 10 hari kemudian, Australia bersama India mengajukan masalah Indonesia agar dibahas dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Hasilnya PBB mengeluarkan resolusi penghentian tembak-menembak pada 1 Agustus 1947 disusul perundingan Indonesia-Belanda pada 14 Agustus 1947. Kuatnya dukungan Australia juga dibuktikan dengan kesediaan negara ini menjadi wakil Indonesia dalam Komisi Tiga Negara (KTN). Meski demikian, Australia baru secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia kelak setelah Konferensi Meja Bundar, tepatnya 27 Desember 1949.
Sehubungan dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda, maka secara jujur kita harus mengakui dukungan Amerika Serikat yang memberikan tekanan kepada Belanda untuk segera meninggalkan Indonesia. Amerika Serikat memang bukan hanya berperan menjadi penengah dalam perundingan-perundingan di KTN dan UNCI tetapi juga berperan memberikan tekanan kepada Belanda untuk menerima poin-poin dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Hal ini sebagaimana diungkap oleh sejarawan Amerika Serikat dari Ohio State University, Prof. Robert J. McMahon.Â
Ia mengatakan dukungan kemerdekaan Amerika terhadap Indonesia baru terwujud pada rentang 1948-1949 dan mencapai puncaknya pada Konferensi Meja Bundar. Menurutnya sebab dukungan Amerika itu di antaranya disebabkan karena kuatnya perlawanan gerilya terhadap Belanda serta kebijakan politik Presiden AS, Harry S. Truman kala itu. Presiden Truman mengancam akan menghentikan bantuan ekonomi bagi Belanda jika negara itu tidak segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Belanda memang termasuk negara yang menerima bantuan Marshall Plan untuk memulihkan ekonominya pasca Perang Dunia II.
Dukungan yang paling terkenal dari Australia adalah Black Armada atau Armada Hitam. Istilah ini merujuk pada peristiwa pemboikotan kapal-kapal Belanda (dagang dan militer) di pelabuhan-pelabuhan Australia. Pemboikotan ini telah berlangsung sejak September 1945. Tidak kurang dari 400 kapal Belanda yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Australia selama kampanye Black Armada ini tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke Indonesia.
Dukungan Australia berikutnya diperlihatkan setelah Belanda melakukan agresi militer pertama (21 Juli 1947). Hanya berselang 10 hari kemudian, Australia bersama India mengajukan masalah Indonesia agar dibahas dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Hasilnya PBB mengeluarkan resolusi penghentian tembak-menembak pada 1 Agustus 1947 disusul perundingan Indonesia-Belanda pada 14 Agustus 1947. Kuatnya dukungan Australia juga dibuktikan dengan kesediaan negara ini menjadi wakil Indonesia dalam Komisi Tiga Negara (KTN). Meski demikian, Australia baru secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia kelak setelah Konferensi Meja Bundar, tepatnya 27 Desember 1949.