Sekutu mendarat untuk pertama kali pasca proklamasi kemerdekaan kita. Selanjutnya pada pendaratan kedua di bulan Oktober Sekutu berhasil "mengelabui" pemerintah Indonesia dengan ikut "menyelundupkan" Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang merasa berhak "mewarisi" pemerintahan  pendudukan Jepang di Indonesia. Akibatnya menjadi sangat penting arti dukungan atau pengakuan dari negara lain baik secara de facto ataupun de jure.
Sudah lebih sebulan lalu bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-78 (1945-2023). Meski demikian bukan berarti perjuangan sudah menemui garis akhir, sebab di bulan SeptemberSemoga di akhir September ini kita masih sempat mengenang sejenak dukungan internasional atas kemerdekaan Indonesia. Sekaligus menapaktilasi perjuangan tak kenal putus asa dari para diplomat kita yang mengadakan perjalanan melintasi samudra dan benua, demi mengokohkan posisi kita dalam pergaulan internasional. Selain itu, sangat penting artinya untuk mengukuhkan posisi kita dalam upaya diplomasi menegakkan kemerdekaan dengan pihak Belanda yang tak kunjung mengakui kemerdekaan kita.
Indonesia Menghadapi Dua Kekuatan: Sekutu dan Belanda
Sejenak kita kembali ke masa-masa setelah proklamasi kemerdekaan. Hanya berselang lebih dari dua bulan setelah detik-detik proklamasi itu, pasukan Sekutu telah mendarat di Tanjung Perak, Surabaya tepatnya pada 25 Oktober 1945. Mereka datang atas nama misi Allied Force Netherlands East Indies (AFNEI), sebuah misi yang dibentuk oleh Sekutu dengan tugas utama menjaga status quo di Indonesia sebelum diserahkan ke pemerintahan yang akan terbentuk. Hal ini sehubungan dengan kekalahan Jepang oleh Sekutu dalam Perang Dunia II.
Sebelum kedatangan pasukan besar Sekutu di bawah komando Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, misi pendahuluan telah lebih dulu mendarat sebulan sebelumnya, tepatnya 29 September 1945 di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Pemerintah Indonesia menyatakan siap bekerja sama dengan catatan tidak ada pasukan Belanda dalam AFNEI.
Para pemuda dan pejuang khususnya di Surabaya sebenarnya sudah curiga di dalam AFNEI akan menyusup kekuatan Belanda. Kecurigaan ini terbukti setelah ditemukan kekuatan Belanda ikut membonceng, dalam hal ini Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Kedua kekuatan yang kemudian saling menyokong ini ingin menancapkan kekuasaannya di Indonesia, maka meletuslah perlawanan menentang duo kekuatan imperialis ini.
Bukan hanya di Surabaya, perjuangan melawan Sekutu dan Belanda yang kembali ingin menancapkan kekuasaannya Indonesia terjadi di berbagai daerah di Indonesia seperti Bandung, Ambarawa, Medan, Makassar, hingga Menado. Sekutu yang merasakan sengitnya perlawanan kemudian memutuskan menarik diri, hingga menyisakan Belanda yang mencoba mengokohkan kekuasaannya. Mereka kembali memakai strategi usang mereka devide et impera untuk melemahkan bangsa Indonesia.Â
Melalui kekuatan-kekuatan dalam negeri yang bersedia menjadi kolaborator-kolaborator pihak asing, mereka berhasil memaksakan pembentukan negara-negara boneka sambil berusaha mengecilkan posisi Indonesia di luar negeri sebagai negara yang belum pantas untuk merdeka. Mereka menyebarkan opini di luar negeri bahwa bekas Hindia Belanda ini masih membutuhkan mereka untuk mendampingi hingga negara yang baru memproklamasikan kemerdekaannya ini betul-betul bisa berdaulat.
Menghadapi strategi mereka, selain melalui kekuatan bersenjata, tentu saja dibutuhkan perjuangan diplomasi. Kedua strategi perjuangan ini saling mendukung dan kemudian terbukti saat United Nations Commission for Indonesia (UNCI) berhasil mempertemukan delegasi Indonesia dan Belanda di Den Haag dan memaksa Belanda mengakui kedaulatan kita pada 27 September 1949. Maka menjadi sangat penting untuk melakukan napak tilas terhadap misi-misi perjuangan diplomasi kita keluar negeri karena perjuangan mereka ikut menjadi fondasi yang kokoh dan sangat menentukan bagi tegaknya pilar-pilar kebangsaan kita.
Diplomasi Menembus Blokade Ekonomi Belanda
Misi diplomasi pertama Indonesia tentu diarahkan ke negeri Kincir Angin Belanda untuk berunding dengan Sekutu dan Belanda. Misi ini dikirim berselang tujuh bulan setelah kedatangan Sekutu dan Belanda di Surabaya, tepatnya pada April 1946. Empat bulan berikutnya (Agustus 1946), Indonesia mengirimkan diplomasi beras ke India yang sedang dilanda bencana kelaparan. India membalasnya dengan mengirimkan obat-obatan, pakaian dan mesin atau kendaraan yang memang sangat kita butuhkan. Diplomasi beras ini sekaligus upaya menembus blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda.
Di antara kisah kepahlawanan yang dapat disebut di sini adalah armada yang dipimpin oleh Mayor John Lie, seorang perwira muda Angkatan Laut keturunan Tionghoa. Misi yang dipimpinnya untuk menembus blokade ekonomi Belanda adalah menyelundupkan senjata, bahan pangan dan lainnya. Adapun daerah operasinya meliputi Singapura, Penang (Malaysia), Bangkok (Thailand), Rangoon (Vietnam), Manila (Filipina) hingga New Delhi (India). Tidak kurang dari 15 aksi penyelundupan berhasil dilakukannya. Itulah sebabnya ia mendapat julukan "Hantu Selat Malaka." dan kapal cepat yang menjadi andalannya "The Outlaw" disebut oleh media barat sebagai "The Black Speedboat."
Selain diplomasi beras dan misi John Lie yang luput dari radar Belanda, para diplomat di luar negeri juga berhasil merintis kantor urusan Indonesia di beberapa negara Asia yaitu Singapura, Thailand dan India. Kantor yang disebut Indonesia Office dan mulai berdiri pada 1947 ini sekaligus menjadi perwakilan resmi Republik Indonesia di negara-negara itu sebelum dikenalnya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Tahun yang sama dengan berdirinya Indonesia Office berhasil dirintis radio Voice of Free Indonesia. Siaran radio dari Yogyakarta ini bisa dikatakan bentuk misi diplomasi memanfaatkan sarana informasi dan komunikasi keluar negeri tanpa harus menginjakkan kaki di negara yang dituju.
Diplomasi dan Dukungan Dunia Arab-Timur Tengah
Diplomasi di luar negeri untuk mendapatkan dukungan atas kemerdekaan juga melibatkan mahasiswa Indonesia di luar negeri, terutama yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar. Di antara tokoh mahasiswa yang gencar melobi Mesir dan Liga Arab yang baru terbentuk (Maret 1945) adalah M. Zein Hassan. Mereka mengusulkan perlunya negara-negara Arab mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hasil lobi mereka di antaranya terlihat ketika mahasiswa Indonesia diberi kesempatan menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran terbitan Ikhwan al-Muslimun pimpinan Hassan Al-Banna.
Mesir memang menjadi anggota Liga Arab yang paling memperlihatkan dukungannya. Selain mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia pada 22 Maret 1946, Mesir juga membentuk Komite Pembela Kemerdekaan Indonesia. Selain itu juga bersedia menanggung biaya hidup rakyat Indonesia yang tinggal di sana. Meski demikian kunjungan diplomatik Mesir ke Indonesia baru dilakukan pada Maret 1947, saat Komjend Abdul Mounem berkunjung. Kunjungan ini ditindaklanjuti dengan penandatanganan Perjanjian Persahabatan, Politik dan Perdagangan Indonesia-Mesir di Kairo (10 Juni 1947). Delegasi RI saat itu dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, H. Agus Salim.
Terkait dukungan Mesir atas kemerdekaan Indonesia terselip satu kisah unik dari sosok A.R. Baswedan. Sebagai diplomat berdarah Arab dia ikut ditunjuk sebagai anggota delegasi diplomatik guna mencari dukungan dari negara-negara Arab termasuk Mesir dan Liga Arab.Â
Saat pengakuan kemerdekaan dari Mesir telah didapatkan, dia yang saat itu menjabat Menteri Muda Penerangan berperan membawa dokumen Perjanjian Persahabatan, Politik dan Perdagangan Indonesia-Mesir tersebut ke Indonesia. Ia berhasil mengelabui tentara-tentara Belanda yang menjaga bandara dan pelabuhan dengan menyelipkan dokumen itu di kaus kakinya. Hasilnya dokumen pengakuan secara de facto dan de jure itu dapat sampai ke tangan pemerintah Republik Indonesia.
Sementara A.R. Baswedan kembali ke Indonesia, H. Agus Salim melanjutkan misi diplomasinya ke Syiria (sekarang Suriah), Transyordanian, Irak, dan Lebanon. Sementara misi ke Arab Saudi dan Yaman dipimpin oleh HM. Rasjidi. Maka Selain Mesir, di antara negara-negara Arab dan Timur Tengah yang menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia adalah Syiria. Negara ini bukan hanya menyatakan dukungan pada 2 Juli 1947, tetapi Syiria juga melalui Liga Arab ikut mendesak PBB membicarakan masalah Indonesia.Â
Syiria sekaligus bertindak sebagai Ketua Sidang PBB yang membicarakan agenda perlu tidaknya masalah Indonesia dibahas di PBB. Hasilnya sidang menyetujui bahwa masalah Indonesia perlu dibahas di PBB. Menyusul Syiria adalah Irak (16 Juli 1947), Lebanon (29 Juli 1947), Afghanistan (23 September 1947), Arab Saudi (24 Nopember 1947), dan Yaman (3 Mei 1948). Di antara bentuk dukungan lain dari negara-negara Arab adalah surat kabar Arab dan kantor berita The Arabian Press Board (APB) yang ikut menjadi corong informasi pergerakan dan perjuangan kemerdekaan di Indonesia.
Delegasi luar negeri berikutnya yang datang ke Indonesia adalah Mufti Agung Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini (1948). Saat Indonesia belum merdeka ia telah menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia ketika sedang berada di Jerman. Dukungan itu ia sampaikan melalui siaran radio Berlin (6 September 1944). Selain Mufti Agung Al-Husaini, seorang pengusaha Palestina bernama Muhammad Ali Taher bahkan bersimpati dengan cara menyumbangkan seluruh tabungannya di Arabia Bank untuk mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Selain ke negara Asia, upaya lain menembus blokade ekonomi Belanda adalah misi diplomatik ke negara Amerika Latin (1948). Misi yang bertujuan mengembangkan hubungan perdagangan dengan negara-negara Amerika Latin ini dipimpin oleh Menteri Kemakmuran, Dr. A.K. Gani. Pada tahun yang sama, Indonesia berhasil menandatangani kontrak dagang dengan pengusaha asal Amerika Serikat dan membina hubungan dengan Bank Dunia.
Dukungan Australia, Amerika Serikat dan VatikanÂ
Dukungan yang paling terkenal dari Australia adalah Black Armada atau Armada Hitam. Istilah ini merujuk pada peristiwa pemboikotan kapal-kapal Belanda (dagang dan militer) di pelabuhan-pelabuhan Australia. Pemboikotan ini telah berlangsung sejak September 1945. Tidak kurang dari 400 kapal Belanda yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Australia selama kampanye Black Armada ini tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke Indonesia.
Dukungan Australia berikutnya diperlihatkan setelah Belanda melakukan agresi militer pertama (21 Juli 1947). Hanya berselang 10 hari kemudian, Australia bersama India mengajukan masalah Indonesia agar dibahas dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Hasilnya PBB mengeluarkan resolusi penghentian tembak-menembak pada 1 Agustus 1947 disusul perundingan Indonesia-Belanda pada 14 Agustus 1947. Kuatnya dukungan Australia juga dibuktikan dengan kesediaan negara ini menjadi wakil Indonesia dalam Komisi Tiga Negara (KTN). Meski demikian, Australia baru secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia kelak setelah Konferensi Meja Bundar, tepatnya 27 Desember 1949.
Sehubungan dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda, maka secara jujur kita harus mengakui dukungan Amerika Serikat yang memberikan tekanan kepada Belanda untuk segera meninggalkan Indonesia. Amerika Serikat memang bukan hanya berperan menjadi penengah dalam perundingan-perundingan di KTN dan UNCI tetapi juga berperan memberikan tekanan kepada Belanda untuk menerima poin-poin dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Hal ini sebagaimana diungkap oleh sejarawan Amerika Serikat dari Ohio State University, Prof. Robert J. McMahon.Â
Ia mengatakan dukungan kemerdekaan Amerika terhadap Indonesia baru terwujud pada rentang 1948-1949 dan mencapai puncaknya pada Konferensi Meja Bundar. Menurutnya sebab dukungan Amerika itu di antaranya disebabkan karena kuatnya perlawanan gerilya terhadap Belanda serta kebijakan politik Presiden AS, Harry S. Truman kala itu. Presiden Truman mengancam akan menghentikan bantuan ekonomi bagi Belanda jika negara itu tidak segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Belanda memang termasuk negara yang menerima bantuan Marshall Plan untuk memulihkan ekonominya pasca Perang Dunia II.
Dukungan yang paling terkenal dari Australia adalah Black Armada atau Armada Hitam. Istilah ini merujuk pada peristiwa pemboikotan kapal-kapal Belanda (dagang dan militer) di pelabuhan-pelabuhan Australia. Pemboikotan ini telah berlangsung sejak September 1945. Tidak kurang dari 400 kapal Belanda yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Australia selama kampanye Black Armada ini tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke Indonesia.
Dukungan Australia berikutnya diperlihatkan setelah Belanda melakukan agresi militer pertama (21 Juli 1947). Hanya berselang 10 hari kemudian, Australia bersama India mengajukan masalah Indonesia agar dibahas dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Hasilnya PBB mengeluarkan resolusi penghentian tembak-menembak pada 1 Agustus 1947 disusul perundingan Indonesia-Belanda pada 14 Agustus 1947. Kuatnya dukungan Australia juga dibuktikan dengan kesediaan negara ini menjadi wakil Indonesia dalam Komisi Tiga Negara (KTN). Meski demikian, Australia baru secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia kelak setelah Konferensi Meja Bundar, tepatnya 27 Desember 1949.
Sehubungan dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda, maka secara jujur kita harus mengakui dukungan Amerika Serikat yang memberikan tekanan kepada Belanda untuk segera meninggalkan Indonesia. Amerika Serikat memang bukan hanya berperan menjadi penengah dalam perundingan-perundingan di KTN dan UNCI tetapi juga berperan memberikan tekanan kepada Belanda untuk menerima poin-poin dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Hal ini sebagaimana diungkap oleh sejarawan Amerika Serikat dari Ohio State University, Prof. Robert J. McMahon.
Ia mengatakan dukungan kemerdekaan Amerika terhadap Indonesia baru terwujud pada rentang 1948-1949 dan mencapai puncaknya pada Konferensi Meja Bundar. Menurutnya sebab dukungan Amerika itu di antaranya disebabkan karena kuatnya perlawanan gerilya terhadap Belanda serta kebijakan politik Presiden AS, Harry S. Truman kala itu. Presiden Truman mengancam akan menghentikan bantuan ekonomi bagi Belanda jika negara itu tidak segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Belanda memang termasuk negara yang menerima bantuan Marshall Plan untuk memulihkan ekonominya pasca Perang Dunia II.
Adapun Vatikan dapat dikatakan menjadi negara pertama di Eropa yang mengakui kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 6 Juli 1947. Setelah itu, dibentuk Apostolic Delegate atau Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta. Tokoh Indonesia yang berada di belakang pengakuan Vatikan ini adalah Mgr. Albertus Soegijopranoto. Uskup Agung pribumi pertama di Indonesia inilah yang melakukan diplomasi dengan Vatikan agar negara kota yang telah terbentuk sejak 1929 ini mengakui kemerdekaan Indonesia. Hasilnya, Paus Pius XII bukan hanya menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia tetapi juga menyerukan seluruh umat Katolik di dunia agar mendukung kemerdekaan Indonesia.
Dukungan India dan Birma
Setelah Australia dan Vatikan, menyusul India yang benar-benar sangat berterima kasih dan membalas diplomasi beras Indonesia (Agustus 1946). Selain bantuan obat-obatan, pakaian dan mesin (kendaraan), dukungan berarti kembali diberikan oleh India pasca Agresi Belanda II (Desember 1948). India dengan dukungan Birma menyelenggarakan Konferensi Inter Asia di New Delhi (Januari 1949). Selain dihadiri negara-negara pemrakarsa, konferensi yang dipimpin langsung oleh PM Jawaharlal Nehru juga dihadiri oleh delegasi negara-negara Asia lainnya seperti Australia dan Selandia Baru. Semua delegasi yang hadir sepakat mengutuk agresi Belanda di Indonesia. Dengan konferensi itu, India ikut berjasa membentuk opini internasional pentingnya pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Tidak sampai di situ, India bahkan mendesak PBB untuk membicarakan penyelesaian masalah Indonesia sembari mengingatkan bahwa jika dibiarkan berlarut-larut hal ini akan membahayakan perdamaian di Asia khususnya dan dunia secara umum. Perlu diketahui bahwa PM Jawaharlal Nehru telah menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia sejak 2 September 1946. Sebuah kisah heroik abadi dalam sejarah saat Moh. Hatta diutus oleh Sukarno untuk misi diplomasi rahasia menemui PM Jawaharlal Nehru. Demi mengelabui Belanda, ia menyamar sebagai kopilot dengan nama Abdullah. Kedua tokoh ini berhasil bereuni setelah sebelumnya pernah bersama dalam konferensi League of Oppressed Nationalities di Brussel di Belgia (1927).
Bagaimana dengan Birma (sekarang Myanmar)? Selain memprakarsai konferensi bersama India, Birma juga memberikan dukungan dengan mengizinkan pesawat Indonesian Airways Dakota RI-001 Seulawah beroperasi. Pesawat Seulawah ini merupakan hadiah dari rakyat Aceh untuk Presiden Sukarno. Tidak sampai di situ, pasca Agresi Belanda II, Birma juga memberikan bantuan peralatan radio yang memungkinkan Indonesia membangun jaringan komunikasi radio antara pusat pemerintahan di Jawa-pemerintahan darurat (PDRI) di Sumatra-perwakilan RI di Rangoon-utusan RI di PBB (New York).
Dukungan Internasional Pasca Pengakuan Kedaulatan
Kuatnya desakan dunia internasional membuat posisi Belanda terpojok, akibatnya mereka bersedia menandatangani Konferensi Meja Bundar (1949). Setelah Belanda secara resmi mengakui kedaulatan dan menyerahkan kekuasaan kepada Indonesia (27 September 1949), Amerika Serikat menjadi negara pertama yang membuka perwakilan diplomatiknya di Jakarta. Langkah AS diikuti oleh Inggris, Belanda dan Cina.
Australia juga baru secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pasca pengakuan kedaulatan tepatnya 27 Desember 1949, meski telah mendukung kemerdekaan Indonesia jauh sebelumnya. Seperti sudah disinggung peristiwa Black Armada yang sukses menghalangi kapal-kapal Belanda ke Indonesia, Australia juga menjadi wakil Indonesia dalam KTN. Menyusul Australia, PBB tidak ketinggalan mengakui eksistensi Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Hanya berselang setahun pasca pengakuan kedaulatan, PBB menerima Indonesia sebagai anggota ke-60 (28 September 1950).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H