Sehubungan dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda, maka secara jujur kita harus mengakui dukungan Amerika Serikat yang memberikan tekanan kepada Belanda untuk segera meninggalkan Indonesia. Amerika Serikat memang bukan hanya berperan menjadi penengah dalam perundingan-perundingan di KTN dan UNCI tetapi juga berperan memberikan tekanan kepada Belanda untuk menerima poin-poin dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Hal ini sebagaimana diungkap oleh sejarawan Amerika Serikat dari Ohio State University, Prof. Robert J. McMahon.
Ia mengatakan dukungan kemerdekaan Amerika terhadap Indonesia baru terwujud pada rentang 1948-1949 dan mencapai puncaknya pada Konferensi Meja Bundar. Menurutnya sebab dukungan Amerika itu di antaranya disebabkan karena kuatnya perlawanan gerilya terhadap Belanda serta kebijakan politik Presiden AS, Harry S. Truman kala itu. Presiden Truman mengancam akan menghentikan bantuan ekonomi bagi Belanda jika negara itu tidak segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Belanda memang termasuk negara yang menerima bantuan Marshall Plan untuk memulihkan ekonominya pasca Perang Dunia II.
Adapun Vatikan dapat dikatakan menjadi negara pertama di Eropa yang mengakui kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 6 Juli 1947. Setelah itu, dibentuk Apostolic Delegate atau Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta. Tokoh Indonesia yang berada di belakang pengakuan Vatikan ini adalah Mgr. Albertus Soegijopranoto. Uskup Agung pribumi pertama di Indonesia inilah yang melakukan diplomasi dengan Vatikan agar negara kota yang telah terbentuk sejak 1929 ini mengakui kemerdekaan Indonesia. Hasilnya, Paus Pius XII bukan hanya menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia tetapi juga menyerukan seluruh umat Katolik di dunia agar mendukung kemerdekaan Indonesia.
Dukungan India dan Birma
Setelah Australia dan Vatikan, menyusul India yang benar-benar sangat berterima kasih dan membalas diplomasi beras Indonesia (Agustus 1946). Selain bantuan obat-obatan, pakaian dan mesin (kendaraan), dukungan berarti kembali diberikan oleh India pasca Agresi Belanda II (Desember 1948). India dengan dukungan Birma menyelenggarakan Konferensi Inter Asia di New Delhi (Januari 1949). Selain dihadiri negara-negara pemrakarsa, konferensi yang dipimpin langsung oleh PM Jawaharlal Nehru juga dihadiri oleh delegasi negara-negara Asia lainnya seperti Australia dan Selandia Baru. Semua delegasi yang hadir sepakat mengutuk agresi Belanda di Indonesia. Dengan konferensi itu, India ikut berjasa membentuk opini internasional pentingnya pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Tidak sampai di situ, India bahkan mendesak PBB untuk membicarakan penyelesaian masalah Indonesia sembari mengingatkan bahwa jika dibiarkan berlarut-larut hal ini akan membahayakan perdamaian di Asia khususnya dan dunia secara umum. Perlu diketahui bahwa PM Jawaharlal Nehru telah menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia sejak 2 September 1946. Sebuah kisah heroik abadi dalam sejarah saat Moh. Hatta diutus oleh Sukarno untuk misi diplomasi rahasia menemui PM Jawaharlal Nehru. Demi mengelabui Belanda, ia menyamar sebagai kopilot dengan nama Abdullah. Kedua tokoh ini berhasil bereuni setelah sebelumnya pernah bersama dalam konferensi League of Oppressed Nationalities di Brussel di Belgia (1927).
Bagaimana dengan Birma (sekarang Myanmar)? Selain memprakarsai konferensi bersama India, Birma juga memberikan dukungan dengan mengizinkan pesawat Indonesian Airways Dakota RI-001 Seulawah beroperasi. Pesawat Seulawah ini merupakan hadiah dari rakyat Aceh untuk Presiden Sukarno. Tidak sampai di situ, pasca Agresi Belanda II, Birma juga memberikan bantuan peralatan radio yang memungkinkan Indonesia membangun jaringan komunikasi radio antara pusat pemerintahan di Jawa-pemerintahan darurat (PDRI) di Sumatra-perwakilan RI di Rangoon-utusan RI di PBB (New York).
Dukungan Internasional Pasca Pengakuan Kedaulatan
Kuatnya desakan dunia internasional membuat posisi Belanda terpojok, akibatnya mereka bersedia menandatangani Konferensi Meja Bundar (1949). Setelah Belanda secara resmi mengakui kedaulatan dan menyerahkan kekuasaan kepada Indonesia (27 September 1949), Amerika Serikat menjadi negara pertama yang membuka perwakilan diplomatiknya di Jakarta. Langkah AS diikuti oleh Inggris, Belanda dan Cina.
Australia juga baru secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pasca pengakuan kedaulatan tepatnya 27 Desember 1949, meski telah mendukung kemerdekaan Indonesia jauh sebelumnya. Seperti sudah disinggung peristiwa Black Armada yang sukses menghalangi kapal-kapal Belanda ke Indonesia, Australia juga menjadi wakil Indonesia dalam KTN. Menyusul Australia, PBB tidak ketinggalan mengakui eksistensi Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. Hanya berselang setahun pasca pengakuan kedaulatan, PBB menerima Indonesia sebagai anggota ke-60 (28 September 1950).