Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Ini Perjuangan Tetes Darah Penghabisan KPK 2015-2019?

19 September 2019   08:40 Diperbarui: 19 September 2019   09:03 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fee memang selalu menjadi alat transaksi dalam setiap kebijakan birokrasi di Indonesia selama puluhan tahun. Indonesia yang sudah berisi kalangan intelektual pun seakan "kalah" melawan persekongkolan transaksional itu.

Bagi pihak pemberi dan penerima, fee telah "dihalalkan" dan "disepakati" sebagai rezeki. Apakah fee cenderung merugikan bangsa-negara, mereka tidak peduli. Apakah kerusakan selalu diawali oleh kerakusan, mereka pun tidak peduli.

Ketika sengketa-petaka fee menjadikan menpora sebagai tersangka pun bukan lantas mendapat sambut sorak-sorai. Adiknya Imam, yakni Syamsul Arifin, menyebut tindakan KPK sebagai bentuk kezaliman, dan mengusulkan penerapan hukum rimba kepada Presiden Jokowi.

"Bahkan, kalau negara seperti ini, saya akan mengusulkan kepada Presiden bahwa pejabat-pejabat tertentu nantinya harus pakai hukum rimba saja," kata Syamsul yang juga anggota DPRD Jatim dari Fraksi PKB di Surabaya, Rabu (18/9/2019).

"Artinya apa, bisa saja kalau modelnya seperti itu, kakak saya tidak bersalah, saya kepung itu rumah Menpora, berapa puluh bus yang diinginkan, senggol bacok, gitu aja. Karena sama-sama sudah tidak memperlihatkan keindahan hukum. Kalau semuanya berdasarkan koridor hukum, akan kami hargai, bahwa dia penegak hukum. Tapi kalau tidak, berarti negara ini, KPK ini penegakannya sudah ndak bener."

Ya, bagi sebagian orang, KPK periode 2015-2019 sedang mengalami "perlemahan" atau "dikepung" oleh sebagian lembaga tinggi negara pasca-pengesahan UU KPK, 17/9. Barangkali, bagi sebagian orang juga, penetapan status "tersangka" merupakan perlawanan hingga tetes darah penghabisan (last blood) sampai akhir masa jabatan pada akhir tahun ini.

Apakah memang KPK sedang melakukan perlawanan sampai tetes darah penghabisan seperti biasa aksi Rambo hingga Rambo : Last Blood?

Aneka dugaan, prediksi, prakiraan, atau ramalan bisa segera tampil mengemuka dari siapa atau pihak manapun. Ada kemungkinan-kemungkinan, tetapi terserah sajalah, asalkan semua menjadi aduhai pada waktunya.

*******

Kupang, 18-19 September 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun