Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Roh Kekerasan yang Merasuki Jiwa-jiwa selama Berabad-abad

17 Maret 2019   23:31 Diperbarui: 18 Maret 2019   16:59 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekerasan fisik hingga kematian merupakan kejadian yang tidak pernah berhenti di muka bumi. Meski sekelompok manusia dan kelompok lainnya bersepakat dalam sebuah konvensi menjadi konstitusi, kekerasan selalu mengiringi perjalanan sejarah manusia itu sendiri.

Mungkin saya terlalu jauh melamun, dan mendadak sok berfilosofi ketika membaca tragedi kemanusiaan yang terjadi di dua masjid daerah Christchurch, New Zealand (Selandia Baru) pada Jumat, 15/03/2019 yang menewaskan 49 Muslim. Alasan aksi brutal-antikemanusiaan seorang dari empat pelakunya, Brenton Tarrant, ialah "penaklukan" dan "penjajahan" yang rasial-agamawi.

Sebenarnya, bukan hanya karena tragedi itu, melainkan malah setiap tragedi kemanusiaan melalui kekerasan fisik hingga kematian atas nama ras bahkan agama, secara mendadak saya turut merasakan duka yang mendalam. Rasa kemanusiaan saya seakan sedang dipertanyakan berulang-ulang. Sampai kapan akan berhenti, meskipun hukum positif sudah diberlakukan di setiap negara? Entahlah.

Terus terang, mengenai kekerasan fisik, saya baru sampai pada taraf "ancaman" setelah keyakinan iman saya "diserang", bahkan "dikeroyok" oleh dua oknum penggiat kebudayaan di suatu daerah. Seorang di antaranya menjadikan saya sebagai target ancaman kekerasan fisik, dimana saya sendiri tidak pernah melakukan hal yang patut disandingkan atau disetarakan dengan "ancaman" itu.

Dari lubuk hati terdalam saya mengampuni oknum "pengancam" itu kendatipun saya tidak ingin bertemu dengannya lagi karena perbedaan prinsip hidup yang terlalu kontras dalam kehidupan. Apalah saya ini dibandingkan dengan gelar "budayawan"-nya.

Ya, saya selalu menyadari bahwasannya saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah orang biasa yang mendadak berpikir sampai sok berfilosofi. Mungkin beginilah risiko seorang pelamun yang sering suntuk merenungi jejak sekaligus ujung perjalanan hidup fananya yang sering diistilahkan Gereja sebagai "ziarah". Cieeee...

Akar Kekerasan versi Erich Fromm
Buku The Anatomy of Human Destructiveness atau Akar Kekerasan karya Erich Fromm (cet. II, Pustaka Pelajar, 2001), mungkin, bisa menjadi salah satu rujukan (referensi) yang berkaitan langsung dengan "akar kekerasan" secara ilmiah. Buku ini disusun dan ditulis Fromm selama enam tahun sebagai tanggapan terhadap Teori Psikoanalisis-nya Sigmund Freud.

"Saya tidak mampu menulis dengan baik mengenai kedestruktifan manusia jika saya tetap berkutat dalam lingkup keutamaan saya, psikoanalisis," ungkap Fromm dalam cuplikan kata pengantar bukunya.

Akan tetapi, saya tidak ingin membahas buku berukuran kira-kira 16 x 24 x 3,2 cm itu dalam artikel ini. Kapabelitas saya belum mampu mencapai taraf pemikir brilian itu. Saya sekadar menyinggung sedikit supaya seolah-olah saya terlihat "agak" cerdas (smart) menurut generasi kekinian. Sebab, aslinya saya ini pelamun belaka. Boleh dicatat: Pelamun belaka.

Kekerasan terhadap Alam
Dalam pandangan saya sebagai oknum Kristiani, kekerasan yang dilakukan manusia sudah terjadi sejak kisah Adam dan Hawa. Peristiwa "Buah Khuldi" atau "pelanggaran hukum ilahi" menjadi awal munculnya kekerasan itu, khususnya dari manusia terhadap makhluk lain, yaitu tumbuhan.

"Maka terbukalah mata mereka dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat" seperti yang tertulis dalam Kejadian 3:7.

Alam yang semula untuk dikelola agar menjadi pendampingan keberlangsungan hidup manusia, justru kemudian "dimanfaatkan" untuk menutupi "ketelanjangan" (rasa malu) manusia itu sendiri. Entah berapa lembar daun yang mereka petik, bahkan untuk waktu lebih dari satu hari, tetapi--tentu saja--ada getah yang keluar dari pangkal daun.

Setelah itu keduanya mengenakan pakaian berbahan kulit binatang yang diberikan oleh Yahwe (Kej. 3:21). Tidak disebutkan nama binatangnya. Yang jelas, bukan kecebong (berudu) ataupun kampret (kelelawar; codot).

Saya pun melamun mengenai pakaian dari kulit binatang itu. Apakah cuma satu stel ataukah sekian stel untuk bisa diganti pada hari lainnya selama keduanya hidup? Tidak disebutkan juga berapa jumlahnya.

Akan tetapi, menurut lamunan saya, keduanya menjadikan pakaian itu sebagai contoh untuk membuat pakaian berikutnya. Kalau awalnya binatang A, mungkin kemudian binatang B, C, D, dan seterusnya. Yang penting, bisa sesuai dengan badan, nyaman, dan berfungsi sebagaimana pakaian. Belum ada jasa penjahitan ataupun permak, apalagi istilah "tren busana". Beres, ya?

Saya merasa belum beres. Untuk menjadikan kulit binatang sebagai pakaian, tidaklah serta-merta seekor binatang menyerahkan kulitnya semacam ular. Artinya, ada pertumpahan darah binatang. Bisa saja binatang untuk korban (kurban) persembahan.

Apakah sudah ada "korban" begitu?

Sebentar. Mengenai darah binatang ini, jelas, merupakan hal kedua setelah getah pangkal daun pohon ara. Artinya, ada "kekerasan" terhadap alam. Itu menurut lamunan saya lho.  

Kekerasan atas Nama Agama
Nah, berikutnya "korban". Kisah dua anak Adam-Hawa, yaitu Kain dan Habel, merupakan kisah yang terkait dengan kata "korban" atau persembahan kepada Tuhan.

Apa, sih, inti persoalannya?

Intinya adalah persembahan kepada Yahwe. Pada Kej. 4:3-4, Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada Yahwe sebagai korban persembahan. Habel mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing-dombanya, yakni lemak-lemaknya.

Berapa kali kakak-adik ini melakukan persembahan kepada Yahwe? Apakah cukup satu kali? Tentu saja lebih dari satu kali, bukan?

Ternyata Yahwe mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu. Lho, bagaimana dengan kakaknya, Kain dan korban persembahannya?

Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan Yahwe. Lalu hati kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram (Kej. 4:5).

Kain pun memukul dan membunuh Habel (Kej. 4:8b). Di situlah kekerasan fisik hingga berujung kematian antarmanusia dimulai atas nama "agama".

Mungkin berbeda "aliran", yaitu "aliran persembahan tanah" dan "aliran persembahan kambing-domba". Namun mengapa "aliran Habel" yang diindahkan Yahwe? "Terkutuklah tanah karena engkau (Adam)," sabda Yahwe (Kej. 3:17).

Kekerasan Antarsesama Manusia
Kekerasan fisik hingga kematian telah dimulai dalam kisah Kain dan Habel. Tidak cukup "antarmanusia", ditambah  dengan antarsaudara sekandung (kakak-adik).

"Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah," sabda Yahwe pada Kain (Kej. 4:10).

"... barangsiapa yang akan bertemu dengan aku, tentulah akan membunuh aku," cuplikan perkataan Kain yang langsung "ketakutan".

Ya, "ketakutan", dimana pembunuhan sangat bisa terjadi setelah pembunuhan dilakukannya. Artinya, darah akan menuntut balas berupa darah, dimana kemudian Musa memunculkan "hukum" yang menyebut "mata ganti mata; gigi ganti gigi" dalam Kitab Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan.

Sekian abad kemudian, Yesus Kristus berkata, "... barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang." (Mat. 52:26) Dan Yesus Kristus menjadi korban kekerasan fisik hingga kematian atas nama agama. 

Kekerasan dalam Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia hingga entah kelak tidaklah terlepas dari kekerasan fisik hingga kematian. Setiap hari saya menemukan berita semacam itu, meski di tataran rakyat biasa, semisal bom bunuh diri istri terduga teroris yang melibatkan tiga anaknya di Kota Sibolga, Sumatera Utara pada Rabu, 13/03/2019.

Salah satu sejarah yang memnjejak dalam ingatan saya sejak SMP (mata pelajaran Sejarah Indonesia) adalah kisah Ken Arok, Tunggul Ametung, dan keris Mpu Gandring dalam naskah Pararaton pada 1220-an. Keris yang dipakai Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung, kemudian Kebo Ijo dihukum mati dengan keris itu, lalu keris itu pun menewaskan Ken Arok di tangan Anusapati--anaknya Tunggul Ametung, dan seterusnya.

Saya terbayang lagi sekaligus berparodi, "Barangsiapa menggunakan keris, akan binasa oleh keris."

Kekerasan Melawan Kekerasan
Saya tidak terlalu memahami, apa sesungguhnya peradaban itu. Kalau sekarang, masa kini, atau abad mutakhir disebut-sebut sebagai peradaban moderen, kekerasan tetap terjadi sebagai bukti warisan zaman puba (primitif). Ya, seperti halnya oknum budayawan yang mahir menyetir mobil tetapi masih menghidupi naluri primitif semacam itu.

Dan, meski pernah membaca buku Filsafat Hukum karya Herman Bakir, S.H., M.H. (2007) yang sebagian berkaitan antara peradaban dan hukum, naluri "destruktif"--istilah Fromm--tetap mengiringi sejarah manusia dalam perziarahan di bumi ini. Tugu HAM masih berdiri dengan kokoh di pertigaan Jalan Pahlawan dan Jalan Ikan Paus, Lahilai Bissi Kopan, Kec. Kota Lama, Kota Kupang, NTT, dimana usianya lebih tua daripada Deklarasi HAM PBB, dan dua di antaranya berisi "bebas dari rasa takut" (freedom of fear) dan "bebas beribadah" (freedom of worship).

Saya pikir, jangankan untuk bebas sesuai dengan pemahaman bersama (konvensi), lha wong untuk bernapas atau jantung berdetak saja ternyata tidaklah semudah aneka pemahaman, teori-teori, buku-buku, dan kitab suci. Ataukah roh kekerasan tidak akan pernah mati, dan akan selalu merasuki jiwa-jiwa yang memuja kekerasan itu sendiri? Atau, mungkin sebaiknya saya berhenti melamun, ya?

Oh, baiklah. Saya hentikan saja lamunan ini. Intinya, saya tidak menyepakati apa pun alasan kekerasan fisik, brutal, bar-bar hingga berujung pada kematian sesama manusia. Sekian, dan terima kasih.

*******
Balikpapan, 17/03/2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun