Kalau rakyat suntuk dalam "pesta demokrasi" tetapi para elite politik justru merecoki "pesta" dengan "perang", betapa berbahayanya nasib rakyat. Rakyat sama sekali tidak memahami, "perang" antarelite terjadi demi "kepentingan" apa-siapa.
Situasi "perang" itu seumpama peribahasa "Gajah melawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah". Ya, antarelite malah berperang pada saat rakyat sedang berpesta. Bagaimana seandainya dalam suatu pesta dengan pagelaran dangdut sekian hari suntuk tetapi di situ pun terjadi perang?
Ah, memang miris sekali urusan berbangsa-bernegara kalau segelintir elite politik justru berulah seakan Indonesia sedang berperang dengan sesama bangsanya sendiri. Dengan seenaknya mereka memelintir kata "pesta" menjadi "perang". Bukankah tiada "perang" tanpa suatu alasan sekaligus tujuan, 'kan?
Maka, pendidikan politik macam apakah yang sesungguhnya sedang diajarkan sekaligus dipraktikkan oleh para elite politik di Republik ini? Apakah benar-benar demi "negeri adil-makmur" ataukah "negeri hancur-lebur"?
Mendadak saya tergelitik untuk memarodikan sebagian lirik dari pada lagu "Cipir Kacang Panjang" tadi. Cipir kacang panjang / rawat koreng pakai perban /Â Cibir jadi perang /Â rakyat hanya jadi korban.Â
*******
Balikpapan, 1 Maret 2019