Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Antara Pesta Demokrasi dan Perang Politik Praktis

2 Maret 2019   00:08 Diperbarui: 2 Maret 2019   23:44 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pesta demokrasi (Kompas/Handining)

Barangkali satu-satunya lagu populer yang sempat hits sekaligus menyemarakkan pemilu adalah "Cipir Kacang Panjang" yang dinyanyikan Jamal Mirdad pada 1982, dan masa Pemilu 1982. Lagu itu ciptaan A. Riyanto, dan terkumpul dalam album "Hati Lebur jadi Debu".

Cipir Kacang Panjang

Cipir kacang panjang
tukang parkir di Tana Abang
Mikir-mikir utang
badan kurus tinggal tulang

Cipir kacang panjang
burung b'libis masuk k'ranjang
Tidak punya uang 
nyaris-nyaris jualan s'lendang

Refr.
Mari kawan-kawan

membangun negara kita
Neg'ri adil makmur
memberantas penyakitnya
uang semir, korupsi, manipulasi
milik neg'ri

Cipir buah duku
asem manis buatan mbakyu
Sukseskan Pemilu
delapan dua kita bertemu

Saya masih mengingat lagu jadul berpantun itu karena, di kampung kami, Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, ada satu-dua tetangga yang sering memasangnya (menyetel) dengan cukup nyaring melalui sepasang pengeras suara (speaker) di rumah mereka. Maklumlah, saya memang asli budak kampung, suka keluyuran (sekaput; natak), dan masih teringat ada satu-dua tetangga saja yang mampu memperdengarkan lagu-lagu populer pada zaman itu.

Pemilu 1982 merupakan pemilu ke-4 yang diselenggarakan negara, dan pemilu ke-2 pada masa rezim Soeharto. Pencoblosan dilakukan pada 4 Mei 1982. Belum ada Pemilihan Presiden (Pilpres) seperti sejak 2004 karena presiden dan wakil presiden dipilih melalui parlemen.

Pemilu 1982 hanya diikuti oleh tiga partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemilu yang diikuti hanya oleh tiga partai semacam itu mulai berlaku sejak Pemilu 1977.

Tentu saja, mars "Pemilihan Umum" ciptaan Mochtar Embut sudah berkumandang di media elektronik, baik radio (RRI) maupun televisi (TVRI). Lagu "wajib" rezim ORBA itu rutin muncul sejak 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, sampai 1997.

Karya G.M. Sudarta
Karya G.M. Sudarta
Akan tetapi, tentang "Peristiwa Lapangan Banteng 1982" atau “Tragedi Minggu Berdarah 1982”, saya tidak mengerti karena saya masih kecil sehingga tidak mengetahui, apakah “kabar” yang sempat menggemparkan Ibu Kota itu sampai juga di kampung kami yang nun di seberang Laut Jawa. Peristiwanya terjadi pada masa kampanye Pemilu 1982, tepatnya 18/03, ketika Golkar berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta. "Tak banyak orang yang tahu, karena peristiwa seperti ini tak akan pernah ada beritanya, baik di televisi, koran, majalah, radio dan media massa apa pun di masanya," kata A. Haryandoko D.--seorang mantan wartawan Majalah Poultry Indonesia dan Majalah Bursa Efek. 

Pesta Demokrasi
Di samping lagu yang masih terngiang-ngiang tadi, saya pun mengingat istilah yang selalu dipakai pada setiap pemilu, yaitu "pesta demokrasi". Bahkan, menjadi semcam doktrin "Pemilu adalah pesta demokrasi".

Ya, pada masa Pemilu 1982 itulah muncul istilah "pesta demokrasi". Istilah tersebut diciptakan oleh Presiden Soeharto dalam pidato Pembukaan Rapat Gubernur/Bupati/Walikota se-Indonesia pada Senin, 23/02/1981.

"Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab, dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam," kata presiden ke-2 dari pada Indonesia itu.

Istilah "pesta demokrasi" sebagai julukan Pemilu juga sering dipakai untuk setiap pemilu selanjutnya hingga Pilpres 2019. Paling tidak, Presiden ke-7 RI Joko Widodo mengulangi julukan tersebut dalam pidato Kenegaraan Presiden dalam Rangka HUT ke-73 Proklamasi Kemerdekaan di depan Sidang DPR-DPD, Kamis, 16/08/2018.

"101 pemilihan kepala daerah serentak di tahun 2017, dan 171 pemilihan kepala daerah serentak di tahun 2018 telah berhasil kita laksanakan dengan aman dan damai. Rakyat menyambut pesta demokrasi itu dengan kegembiraan, dengan antusiasme yang tinggi, dan dengan kedewasaan politik yang semakin matang," ucap Jokowi.

Pemilu sebagai Perang
Pemilu, khususnya Pilpres, mendadak berubah julukan bahkan suasana dari pesta menjadi "perang" dimulai pada Pilpres 2014, padahal Pilpres I dan II (2004 dan 2009) sama sekali tidak ada istilah "perang" dalam "pesta demokrasi", dan Grup Slank mengaransemen ulang mars "Pemilu 1970" dengan gaya rock.

Pencetus "perang" sebagai "lawan" dari "pesta"  adalah Prof. DR. Amien Rais (AR) yang ketika itu berada di kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jejak digitalnya masih tersimpan di Kompas.Com dengan judul berita "Amien Rais: Untuk Menang, Pakai Mental di Perang Badar!" (27/05/2014).

Sebagai kaum Muslimin, Amien pun menganjurkan penggunaan mentalitas Perang Badar alih-alih Perang Uhud. "Jadi, kalau mulai maju (niatnya seperti di) Perang Uhud, insya Allah kalah. Kalau (niatnya seperti di) Perang Badar, ini siapa, menterinya siapa, itu nanti, insya Allah kita kali ini dimenangkan," ucap mantan Ketua Umum PAN itu.

Pada Pilpres 2019 genderang "perang" pun ditabuh kembali oleh Neno Warisman melalui puisi "Munajat" dalam acara Munajat 212 di Monas, Jakarta, pada Kamis, 21/02/2019. NW merupakan pendukung kubu Prabowo pada Pilpres 2019, dan sebagian syair puisinya terinspirasi dari doa dalam Perang Badar 17 Ramadan 2 H (13/03/624).

Istilah "perang" diperparah oleh kubu 01 Jokowi --Ma'ruf Amien, yaitu  "Perang Total" dan "Perang Infanteri". Istilah "Perang total" dicetuskan oleh Moeldoko. Moeldoko adalah Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) sekaligus Ketua Harian TKN dari kubu 01.

"Strategi, saat ini kita menyebutnya dengan istilah perang total. Di mana hal-hal yang kita kenali adalah menentukan center of gravity dari sebuah pertempuran itu. Kita sudah memiliki center of gravity itu, sehingga kita tahu harus bagaimana setelah mengenali center of gravity itu," ucap Moeldoko di Gedung High End, Kebon Sirih, Jakarta, Rabu, 13/02/2019.

Sementara "Perang Infantri" dicetuskan Rommahurmuziy yang merupakan Ketua Umum PPP, dimana partai itu berkoalisi dengan kubu Jokowi pada Pilpres 2019, dan sebelumnya, Pilpres 2014 berkoalisi dengan kubu Prabowo.

"Bukan untuk bersantai-santai, ini bukan perang udara lagi, jadi hari ini sampai 17 April adalah perang infanteri, perang darat yang pasukan terdepannya adalah saudara-saudara sekalian," kata Rommy dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) ke IV di Hotel Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta, Selasa, 26/02/2019.

Dari "Perang Badar" ala AR yang ditabuh ulang oleh NW, lalu "Perang Total" ala Moeldoko, "Perang Infantri" ala Rommy, sampai ke "perang" selanjutnya, yaitu "Perang Politik". Istilah "perang politik" ini dicetuskan oleh AR di kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat, 01/03/2019. 

"Kalau sampai terbukti nanti ada kecurangan yang sistematik, kemudian masif, terukur, maka jangan pernah menyalahkan kalau kita akan melakukan aksi-aksi politik, bukan perang total ala Moeldoko, bukan, tapi kita perang politik, mengawasi demokrasi bahwa kebenaran harus ditegakkan," ujar AR.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi
Siapa yang Berpesta dan Siapa yang Berperang
"Tidak ada pesta yang tidak usai," kata pepatah usang yang berasal dari Tiongkok yang kalimatnya berbunyi "Mei you bu shan di yan xi". Kalau Pemilu, khususnya Pilpres, merupakan "pesta demokrasi", tentu saja, suasana akan usai setelah pencoblosan.

Akan tetapi, tidaklah begitu realitas dan faktanya di Indonesia. Sejak Pilpres 2014 suasana "perang" masih berlangsung dalam situasi sosial-politik Indonesia hingga Pilpres 2019. Perang yang benar-benar sengit terjadi di ranah media sosial.

Masing-masing kubu atau pendukung saling menembakkan kata tajam-berbahaya, dari "dungu", "bodoh", "goblok", atau "tolol" hingga binatang "kampret" dan "cebong" (kecebong). Ada yang awalnya berteman atau malah bersaudara, akhirnya berpisah karena terlibat atau korban "perang politik". Semua situasi panas semacam itu seolah mengabarkan "Beda pilihan berarti musuh".

Situasi semacam itu sangat bertolak belakang dengan apa yang ditampilkan oleh kedua calon presiden (capres). Pada perhelatan olah raga tingkat Asia, yaitu Asian Games, yang digelar di Indoensia pada 18 Agustus s.d. 2 September 2018, Jokowi dan Prabowo sudah menunjukkan sikap peserta pesta yang sudah usai. Paslon 01 dan 02 berjalan bersama bahkan berangkulan ketika Pesilat Indonesia Hanifan Yudani Kusumah menang dalam Cabang Pencaksilat di Asian Games 2018, Rabu, 29/08/2018.

"Kita boleh berbeda pendapat diantara kita, tapi satu, kalau menyangkut kepentingan nasional kita harus bersatu," tulis Prabowo dalam akun Instagramnya.

Usai Debat II Pilpres 2019, 17/02/2019, pun keduanya bisa berangkulan. Artinya, Capres 01/Jokowi dan capres 02/Prabowo sama sekali tidak berada dalam situasi "perang". Dan, sejak Pilpres 2014 hingga situasi kampanye Pilpres 2019, tidak satu kata "perang" pun yang dicetuskan oleh Jokowi atau Prabowo.

Lantas, siapakah yang sebenarnya sedang berpesta, dan siapa yang sebenarnya sedang berperang?

Kalau rakyat suntuk dalam "pesta demokrasi" tetapi para elite politik justru merecoki "pesta" dengan "perang", betapa berbahayanya nasib rakyat. Rakyat sama sekali tidak memahami, "perang" antarelite terjadi demi "kepentingan" apa-siapa.

Situasi "perang" itu seumpama peribahasa "Gajah melawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah". Ya, antarelite malah berperang pada saat rakyat sedang berpesta. Bagaimana seandainya dalam suatu pesta dengan pagelaran dangdut sekian hari suntuk tetapi di situ pun terjadi perang?

Ah, memang miris sekali urusan berbangsa-bernegara kalau segelintir elite politik justru berulah seakan Indonesia sedang berperang dengan sesama bangsanya sendiri. Dengan seenaknya mereka memelintir kata "pesta" menjadi "perang". Bukankah tiada "perang" tanpa suatu alasan sekaligus tujuan, 'kan?

Maka, pendidikan politik macam apakah yang sesungguhnya sedang diajarkan sekaligus dipraktikkan oleh para elite politik di Republik ini? Apakah benar-benar demi "negeri adil-makmur" ataukah "negeri hancur-lebur"?

Mendadak saya tergelitik untuk memarodikan sebagian lirik dari pada lagu "Cipir Kacang Panjang" tadi. Cipir kacang panjang / rawat koreng pakai perban / Cibir jadi perang / rakyat hanya jadi korban. 

*******
Balikpapan, 1 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun