Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Bawah Bayang-bayang Film Jadul *

15 Mei 2016   01:28 Diperbarui: 15 Mei 2016   16:41 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Koleksi Pribadi

Setelah melunasi sewa pondok itu aku kembali menuju kamu sembari berpikir, jangan-jangan anak tadi sudah menyaksikan percumbuan antara aku dan kamu sejak awal. Ah, dasar hantu cilik, suka bergentayangan mengintip orang dewasa sedang berasyik-masyuk.

Tapi apalah hantu cilik dibanding keberadaan kamu yang sedang duduk di pondok itu. Kamu bukanlah hantu melainkan bidadari yang mendadak turun dari langit Sungailiat–kalau kusebut “langit Jakarta”, kenapa bidadari repot naik angkutan umum semacam pesawat terbang atau kapal.

Ya, kamu memang bidadari sampai-sampai angin pun merampas kesempatan di depan mataku dengan seenaknya membelai rambut sebahumu. Kalau angin bisa kuhajar, pasti kuhajar sekarang juga. Tapi, itulah, risiko menjadi bidadari. Jangankan manusia sangat mendambakannya hingga nekat melakukan bom bunuh diri, angin pun memunyai keinginan yang sama dengan manusia. Lengah sedikit, angin langsung merampas kesempatan.

“Kenapa?” Singkat-padat pertanyaanmu ketika jarak aku dan kamu terpaut 2 meter saja.

“Tidak apa-apa. Aku lupa bayar sewa pondok.”

“Seperti sewa kamar saja.”

“Ha-ha-ha-ha! Sesekali sewa pondok.”

“Sudah biasa sewa kamar, ya?”

“Biasa banget. Sejak SMA aku sudah menyewa kamar.”

“Ha-ha-ha-ha-ha! Itu ngekos namanya, dodol!”

Aku tidak perlu menanggapi kata “ngekos”, yang bisa bercabang ke arah lainnya. Tidak penting sama sekali. Yang penting dan terpenting, ada kamu di depanku, dan tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar aku dan kamu pada saat ini. Ada bidadari yang langsung mendatangiku, dan sudah terjadi aksi-reaksi melumat pikiran yang tidak perlu.  

Kata-kata sudah bukan lagi menjadi bagian penting dalam komunikasi antara aku dan kamu. Muluku sudah bertaut dengan mulutmu. Lidahku sudah bergulat seru dengan lidahmu. Aku dan kamu kembali hanyut dalam lautan aksi-reaksi itu.

Pertautan bagian depan tubuh pun sudah terjadi secara spontan di bangku pondok. Aku merengkuh pinggangmu. Kamu semakin kuat merengkuh leherku. Aku tidak mampu berbuat apa-apa, terlebih kekenyalan menjadi kenyataan berikutnya.

Gemuruh dadaku pasti bisa kamu rasa, berlomba dengan gemuruh ombak di pasir pantai dan di tubuh batuan granit di dekat pondok. Laut yang memantul birunya langit hanya menjadi penonton pada pentas asmara antara aku dan kamu.

Tapi aku kembali mengecup keningmu dengan perlahan dan sepenuh sentuhan rasa yang kupunya. Kembali menyesap rasa yang sempat menyelinap ketika pertemuan pertama di Kedai Kopi Paste dulu. Di sini, di Pantai Rambak ini, aku bisa menikmati rasa itu.

Dari kening, turun ke mata, dan kecupanku mendarat agak lama di pipimu. Kedua bidang pipimu adalah pendaratan kecupanku yang paling merasukiku seakan aku hendak menempelkan pipimu di hidungku sampai kelak. Biarlah orang-orang tertawa jika melihat hidungku tertempel oleh pipimu dan kubawa ke mana-mana.

Gila, ya? Biarlah aku tergila-gila padamu sejak sekarang! Aku berharap kamu maklum saja terhadap kegilaanku padamu.

“Aku benar-benar jatuh cinta padamu,” bisikku sembari menekan hidungku lebih dalam di pipimu. Ada nikmat dan ngilu karena tulang hidungku berjumpa tulang pipimu. Biarlah karena aku memang sedang tergila-gila padamu.

“Sejak kapan?”

“Sejak sekarang.”

“Kenapa sejak sekarang?”

“Karena kamu nyata, bisa kucium.”

Perlahan-lahan kamu menarik leherku ke bawah. Kukira hendak berebahan di hamparan papan pondok. Kukira aksi-reaksi akan semakin hanyut, menyatu hangatnya rasa dan hasrat dengan papan pondok.

Oh, bukan. Tarikanmu tidak ke situ melainkan menyamping, ke arah pasir di bawah aku dan kamu. Tapi sebenarnya aku masih ingin menikmati pipimu dengan segenap rasa yang kupunya. Apa daya. Aku harus berkompromi dalam hal ini; mauku dan maumu akan hanyut ke mana dalam arus lautan kebersamaan.

Aku ikuti saja ketika tubuhmu bergerak perlahan, turun, dan lututmu mulai menekuk. Tanganmu dan tanganku belum berpindah; seakan enggan terpisahkan meski sejenak; seakan hendak aku dan kamu patri bersama.

Kalau sudah begini, seketika aku mengalami masa puber pertama dengan cinta pertama bersama badai cinta setaraf angin tornado melanda dinding dadaku. Sesuatu yang tidak pernah kualami, meski masa puber pertamaku memang berada di Pulau Timah ini. Entahlah dengan masa puber pertamamu–aku tidak sudi mengetahuinya karena bisa mendadak cemburu yang percuma.

Dari pipimu kuingin beralih ke daerah sekitarnya. Bukan lagi hidung menjadi juru bicara melainkan sudah diambil alih oleh bibirku. Perlahan tapi pasti tambatan rasa itu dibawa oleh kedua bibirku menuju kedua bibir ranummu.

Bergemuruhlah dadaku melampaui gemuruh ombak mencumbu pasir Pantai Rambak. Gemuruhnya seolah sebuah tabung gas 12 kg meledak menghantam batu-batu granit raksasa di dekat kita. Memang terlalu berlebihan, tetapi biarlah karena aku memang mengalami sebuah ledakan rasa yang luar biasa.

Entah berapa menit pertautan bibir dan lain-lain seperti sebuah pergulatan paling seru dalam arena supermungil di antara aku dan kamu. Ingatanku mengenai tempat mendadak lenyap. Aku tidak peduli, apakah di ruang publik ataukah dalam sela granit-granit raksasa. Semua ingatan tidak lagi berarti, kecuali luapan rasa tengah berlabuh pada dermaga terlezat seperti yang sekian tahun kudamba.

Suasana kembali berubah ketika gerakanmu mengajakku bergulingan, meski separuh ingatan masih melayang entah ke cakrawala mana. Mungkin beginilah asmara yang menyala-nyala, menghanguskan sebagian ingatan yang tidak perlu diingat.

Aku dan kamu bergulingan di pasir putih pantai. Aku dan kamu berubah posisi. Bolak-balik dalam radius sekian meter saja. Sementara ombak dan pasir pantai seakan tidak sudi mengalah. Percumbuan mereka pun tetap seru dan bergemuruh.

Tapi segera kuhentikan karena aku khawatir pasir-pasir memasuki kaus dan celanamu. Tapi kamu tetap ingin berguling-gulingan sembari memeluk aku.

“Biarlah pasir-pasir itu masuk karena sebentar lagi aku ingin mandi air lautmu setelah larut dalam pelukanmu agar seluruhnya menyatu.”

Aku tidak bisa mencegahmu dengan kata-kata karena kamu segera meringkus bibirku dengan bibirmu. Mungkin kata-kata sedang tidak diperlukan pada situasi semacam ini. Mungkin sebagian anggota tubuh sudah lebih dari cukup menjadi juru bicara antara aku dan kamu.

Kepiting putih berkaki panjang berlarian, menjauhi pergulingan aku dan kamu yang telah diikuti dengan saling menjepit kedua kaki. Ombak berdebur-debur . Angin sepoi menerpa-nerpa.

Tiba-tiba kamu menghentikan pergulingan dengan posisi kamu di atas. Kamu menoleh ke arah laut. Aku menatapmu tapi kamu bergeming pada pandanganmu.

“Ada apa?”

“Aku teringat film lawas.”

Pandanganmu beralih ke arahku. Kedua tanganmu masih menahan tubuh mungilmu. Tetapi kutangkap sebuah kecemasan bergelenyar dari bola matamu.

“Film?”

Kamu mengangguk tanpa memoles tatapan dengan sedikit senyuman. Aku mulai sibuk mencari kalimat yang mendadak hilang dari pikiranmu. Biarlah, aku mencoba menanyakannya langsung padamu.

“Film apa?”

“Ratu Pantai Selatan.”

“Oh!”

Tadinya sempat kukira film pendek tentang tsunami di Aceh dan di pesisir daerah lainnya, yang datang tiba-tiba lantas melumat apa-siapa di hadapannya. Tentu saja kamu pernah menonton tsunami yang brutal melanda sebagian pesisir Aceh dan pesisir-pesisir negara di dekatnya melalui video-video di internet.

“Kamu pernah nonton film yang sebagian berlokasi syuting di Pelabuhan Ratu itu?”

Kamu menggeleng sejenak lalu memutar tubuh, dan rebah di sebelah kananku. Seketika angin pesisir menerpa wajahku, melarikan wangi tubuhmu ke entah mana.

Aku mengubah posisi menjadi miring menghadapmu yang telentang dengan kedua tangan di sisi. Kugenggam jemari kirimu, kutarik perlahan ke bibirku. Wangi kulitmu mengusap penciumanku.

“Kamu pernah nonton film itu?” Aku kembali menanyakan itu karena kedua bola matamu tampak sedang menyaksikan sesuatu di langit biru. Entah apa itu.

“Bagian awal karena pernah ditayangkan televisi.”

“Selanjutnya?”

“Mending nonton film lainnya, yang nggak horor. Tapi aku cuma tahu awalnya. Bintangnya Suzanna, Ratu Film Horor Indonesia, ‘kan?”

Benar sekali. Aku pun pernah menontonnya sebentar, khususnya pada bagian awal, ketika sepasang muda-mudi tengah didera asmara, bergulingan di hamparan pantai. Tiba-tiba sebuah ombak besar melahap tubuh keduanya. Oh!

Oh! Seperti keadaan aku dan kamu saat ini? Oh, pantas saja kamu berubah sikap mendadak begitu. Pantas saja ada kecemasan yang tiba-tiba hinggap di kedua bola matamu. Ternyata… Ah.

*******

Kebun Karya dan Beranda Khayal Balikpapan, 2016

*) Kelanjutan dari “Ombak Asmara Pantai Rambak - #2”, 4 Februari 2016. Maaf jika terlalu lama sambungannya, dan sayang sekali apabila tidak saya teruskan sampai tamat kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun