Kata-kata sudah bukan lagi menjadi bagian penting dalam komunikasi antara aku dan kamu. Muluku sudah bertaut dengan mulutmu. Lidahku sudah bergulat seru dengan lidahmu. Aku dan kamu kembali hanyut dalam lautan aksi-reaksi itu.
Pertautan bagian depan tubuh pun sudah terjadi secara spontan di bangku pondok. Aku merengkuh pinggangmu. Kamu semakin kuat merengkuh leherku. Aku tidak mampu berbuat apa-apa, terlebih kekenyalan menjadi kenyataan berikutnya.
Gemuruh dadaku pasti bisa kamu rasa, berlomba dengan gemuruh ombak di pasir pantai dan di tubuh batuan granit di dekat pondok. Laut yang memantul birunya langit hanya menjadi penonton pada pentas asmara antara aku dan kamu.
Tapi aku kembali mengecup keningmu dengan perlahan dan sepenuh sentuhan rasa yang kupunya. Kembali menyesap rasa yang sempat menyelinap ketika pertemuan pertama di Kedai Kopi Paste dulu. Di sini, di Pantai Rambak ini, aku bisa menikmati rasa itu.
Dari kening, turun ke mata, dan kecupanku mendarat agak lama di pipimu. Kedua bidang pipimu adalah pendaratan kecupanku yang paling merasukiku seakan aku hendak menempelkan pipimu di hidungku sampai kelak. Biarlah orang-orang tertawa jika melihat hidungku tertempel oleh pipimu dan kubawa ke mana-mana.
Gila, ya? Biarlah aku tergila-gila padamu sejak sekarang! Aku berharap kamu maklum saja terhadap kegilaanku padamu.
“Aku benar-benar jatuh cinta padamu,” bisikku sembari menekan hidungku lebih dalam di pipimu. Ada nikmat dan ngilu karena tulang hidungku berjumpa tulang pipimu. Biarlah karena aku memang sedang tergila-gila padamu.
“Sejak kapan?”
“Sejak sekarang.”
“Kenapa sejak sekarang?”
“Karena kamu nyata, bisa kucium.”