Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Debu-debu Bangunan

1 Februari 2016   20:58 Diperbarui: 1 Februari 2016   21:20 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sorry lagi, Bang. Aku mau motret proyek Abang. Sebentar saja. Dua-tiga jepretan,” sela wartawan itu, lantas tergesa-gesa melangkah ke tempat yang diperkirakannya memiliki sudut pandang yang bagus. Mungkin lumayan jadi berita, kendati gagal mendulang duit.

Mandor Suryadi menatap saya. Kedua tangannya telah dimasukkan ke saku depan celananya. Senyum khas kembali melaburi wajahnya.

“Terima kasih, Pak Oji. Untung ada Bapak. Kalau tidak, kami bakal tambah tekor. Minggu lalu harus bongkar dinding yang kurang rapi. Juga ganti kusen depan yang ukurannya lebih kecil lima centi. Bisa-bisa tadi duit bos kami melayang dua juta.”

“Ya, sama-samalah, Bos. Kita, kan, harus bekerja sama di proyek ini. Saling bantu. Tahu sama tahu. He he he he… Yang penting bagaimana lancarnyalah, Bos.”

Kemudian kami berjalan menuju tempat wartawan yang tengah sibuk mengambil obyek. Jarak antara kami dan wartawan itu sekitar 30 meter. Kami harus tetap mengawasi gerak-geriknya. Jangan sampai justru dia yang melakukan penyimpangan.

Selama perjalanan jarak pendek Mandor Suryadi mengungkapkan bahwasannya semalam bos pemborong tidak jadi datang. Kabarnya, bos pemborong sedang sakit gigi. Mungkin giginya harus dicabut lagi. Mungkin kini giginya menyisakan dua geraham belakang. Jadi, gambar kerja masih di ruang Mandor Suryadi, kesimpulan saya. Berarti sumpah pocong tadi cuma trik tradisional untuk menggertak lawan bicara. Sialan!

“Oh ya, ini untuk Bapak. Sekedar mempererat kerja sama kita,” katanya sembari merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas pecahan seratus ribu, lalu menyelipkannya di saku depan celana saya. Ini kali ke-18 saya menerima ‘bonus’ di proyek.

“Terima kasih banyak, Bos.”

“Sama-samalah, Pak Oji. Sama rata, sama rasa. Ha ha ha ha…”

“Ha-ha-ha-ha-ha…”

Saya dan Mandor Suryadi terus melangkah menuju wartawan muda yang sedang sibuk memotret. Satu-dua perkutut liar melintas di atas kepala kami. Sesekali angin kencang menerpa, menghamburkan debu-debu dari tanah telanjang di sekeliling kami. Tak pelak kami harus menutup mata dan hidung dengan telapak tangan. Risiko yang sering kami alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun