“Misalnya … bangunan mengalami retak-retak setelah beberapa bulan diresmikan. Padahal ini, ‘kan, bangunan milik pemerintah daerah. Dananya dari duit rakyat. Itu pasti dampak penyimpangan ketika tahap pengerjaan.”
“Kenapa retak-retak?” tanya saya lirih sambil memutar kepala dan menyodorkan telinga ke
arahnya. Sedangkan kedua tangan saya berada dalam saku depan jaket.
“Ya, jelas akibat menyimpang!”
“Mas menguasai masalah mekanika bahan dan mekanika teknik, nggak?”
“Mmmm…” Mulutnya mengatup. Mata pun meredup. Dada mundur sepuluh derajat.
“Lhooo… jangan cuma menjawab ‘mmmm’ kayak anak kecil mogok makan begitu dong. Menguasai, nggak? Kalau menguasai, ‘kan, kebetulan sekali. Barangkali saja ada kesalahan pemakaian jenis atau ukuran bahan untuk struktur bangunan dalam gambar kerja. ‘Kan, bisa saja justru gambarnya yang salah karena arsitek perencanaan memang bukan ahli struktur?”
Dia diam saja. Matanya mengarah ke mana-mana. Sikap kakinya sudah lentur bahkan bergerak-gerak tak menentu. Sikap berdiri Mandor Suryadi pun berubah. Kedua kakinya berposisi santai. Kedua tangannya bertekuk di dada. Air mukanya pun tidak tegang lagi.
“Kalau nggak menguasai, mending belajar berhitung dulu. Buka buku-buku teknik sipil, buka internet, dan mulailah menghitung struktur. Kalau sudah yakin bisa, kembalilah ke sini. Pembicaraan kita pasti bakal bermutu. Di kantor kami banyak insinyur sipil. Mau belajar di sana, silakan. Baru kelak Mas datang ke sini lagi.”
“Pokoknya…” Nadanya menanjak.