“Ya, pokoknya Anda harus nguasai itung-itungan dulu,” serobot saya dengan nada datar dan mengganti sebutan namanya. Nggak usah pakai “mas-masan” lagi, pikir saya.
Dadanya bergerak. Mulutnya menganga. Tapi kata-katanya tersangkut di leher.
“Oh ya, Anda dulu kuliah di jurusan apa? Sarjana apa?”
“Komunikasi. Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.”
“Oooo… cocok sekali Anda bekerja di LSM. Tapi di sini Anda salah jurusan. Coba dulu Anda kuliah di jurusan Teknik Sipil, khususnya Struktur, kita bisa berdiskusi di sini. Saling belajar.”
“Emangnya Abang dulu kuliah jurusan apa?”
“Seni Tari di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.”
“Lho?”
“Hehehehe… Logikanya dipakai dong, Bung,” kata saya sambil tangan kanan menunjuk-nunjukkan pelipis saya sendiri. Mandor Suryadi tersenyum simpul.
“Sialan.”