Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Debu-debu Bangunan

1 Februari 2016   20:58 Diperbarui: 1 Februari 2016   21:20 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sorry, sorry, sorry!” sergah saya dengan nada agak tinggi. “Aku kira Anda betul-betul dari LSM seperti dua orang yang kemari dua minggu lalu. Lagaknya, ya, macam Anda ini. Datang-datang minta diperlihatkan gambar proyek. Soal struktur saja nggak ngerti.”

Dia masih cengar-cengir. Mandor Suryadi ikut cengar-cengir.

“Lain kali hati-hati. Suhu di sini bisa mencapai 40 derajat celsius menjelang tengah hari. Kalau Anda nggak pandai-pandai bawa diri, jangan salahkan kawan-kawan kuli yang akan menjadikan diri Anda sebagai campuran bahan untuk pondasi pagar di ujung sana! Atau dikubur hidup-hidup di lubang bekas galian tambang rakyat di semak belukar itu. Daerah ini masih dikepung hutan belantara. Anda hilang, kawan-kawan koran Anda nggak tahu!”

“Sorry, Bang, sorry.” Dia berusaha tersenyum tetapi tidak mampu mengubah warna kulit wajahnya yang agak memutih.

“Jangan nipu lagi ya! Aku kenal bos koran Anda. Juga beberapa redakturnya. Aku bisa saja menghubungi bos Anda sekarang juga. Aku akan bilang bahwa anak buahnya di wilayah ini berbuat begini-begitu yang buntut-buntutnya minta duit. Aku bisa tulis surat pembaca dan kusebarkan ke koran-koran lokal. Tamatlah karier kewartawanan Anda!”

Badannya sedikit tersentak lagi ke belakang. Matanya melurus ke arah saya. Mungkin dia berusaha mengamati dan mengingat-ingat sesuatu. Mungkin dia merasa kami pernah bertemu di kantornya. Atau pernah melihat wajah saya muncul di korannya. Tapi mana mungkin. Saya tidak suka diri saya difoto oleh wartawan mana saja. Saya pun tidak pernah tampil di acara-acara besar. Entahlah. Yang jelas, matanya berusaha membedahku.

“Abang ini siapa ya sebenarnya?”

“Nah! Nah! Nah! Ini dia!” jawab saya sambil mengacungkan telunjuk lalu menggoyang-goyangkannya, dan kepala saya mengangguk-angguk. “Ternyata Anda tidak mengenal siapa aku. Gawat Anda ini! Padahal tulisan-tulisanku tentang bangunan dan pembangunan daerah selalu dimuat di koran Anda. Bahkan kantor pusat koran Anda di Pangkalpinang itu, siapa arsiteknya. Rumah bos Anda yang megah di dekat bandara Depati Amir juga. Rumah perempuan simpanannya yang di kawasan wisata Pasir Padi juga.”

“Wah! Wah! Wah! Abang ini ternyata tahu banyak luar-dalam bos kami. Padahal aku sendiri tidak tahu apa-apa. Hebat nian bos kami nyimpan rahasia.”

“Tentu saja, Dul. Anak buahnya hanya mau tahu beres. Apa-apa terjamin.”

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun