Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pintarnya Listrik dan Bodohnya Pelanggan Semacam Saya Ini (#1)

22 Juli 2015   11:18 Diperbarui: 4 April 2017   16:55 9568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada Senin, 20 Juli 2015, atau 4 Syawal 1436 H alias lebaran hari ke-4, saya bermaksud membeli pulsa listrik di sebuah kios penjual pulsa listrik. Sejak sisa pulsa masih 19 ribuan, alarm pada meteran listrik prabayar “Rukan” sudah berbunyi. Tandanya, mohon diisi ulang sebelum pulsa habis-bis. Sampai di kios itu saya menyerahkan kartu pengisisan pulsa listrik. Tapi berita yang terima dari si penjual pulsa adalah nomor rekening kepelangganan saya ditutup (blokir).

Baiklah. Barangkali pulsa di “Rukan” benar-benar sudah habis karena angka terakhirnya 9 ribuan dan belum saya sempat saya isi. Saya segera berangkat ke “Rukan”, memeriksa, apakah pulsa memang sudah 0 (nol). Saya khawatir, pemblokiran terjadi lantaran pulsa habis-bis. Begitu sampai saya langsung menuju meteran listrik. Ternyata masih berangka 5 ribuan.

Di Kantor Cabang PLN

Kemudian saya bergegas ke kantor cabang PLN terdekat (wilayah “Rukan”) yang berjarak sekitar 2 km dari “Rukan”. Tapi, 20 Juli masih masa libur bersama sampai 21 Juli dalam rangka Idul Fitri 1 Syawal 1436 H seperti yang tertera pada kalender. Apakah kantor cabang PLN buka? Saya nekat saja mendatanginya. Judi, spekulasi. Kalau tutup, ya, saya maklum saja.

Sesampai di kantor cabang PLN itu saya melihat tulisan “TUTUP” pada pintu masuk utama. Kebetulan seorang satpam (security) keluar, dan saya menanyakan perihal “TUTUP” (ini bodohnya saya, sudah tertera “TUTUP” tapi masih bertanya pula!). Satpam tersebut menyarankan saya datang hari Rabu, 22 Juli. Di samping itu ia sempat menanyakan perihal apa keperluan saya. Ya, saya katakan saja perihal pemblokiran itu. Selesai.

Saya kembali ke tempat parkir. Satpam itu kembali ke dalam kantor. Ketika saya menghidupkan kendaraan, satpam itu keluar lagi, dan memanggil saya. Saya diajaknya masuk, barangkali ada yang bisa dibantu, menyangkut hal pemblokiran.

Saya pun masuk. Suasana lebaran terlihat di meja ruang lobby. Kaleng-kaleng kue, botol-botol plastik minuman ringan, dan beberapa bungkus rokok. Pahamlah, meskipun libur bersama, tugas keamanan tetap aktif, dan para petugas mendapat ‘pendampingan khusus’ seperti yang terlihat di meja.

Di situ ada petugas satpam lainnya. Dia meminta kartu berlangganan saya untuk disampaikan kepada bagian yang berwenang. Juga saya menuliskan nama dan alamat meteran listrik saya (“Rukan”). Saya keluarkan, berikan kartu itu, dan menuliskan nama serta alamat saya. Lalu dia bergegas ke ruang sebelah, di sisi gedung utama. Saya pun ngobrol sebentar dengan satpam tadi (satpam pertama) sambil menunggu ‘hasil’ yang akan disampaikan oleh dia (satpam kedua).

Berselang sekitar 5 menit, dia kembali menemui saya. Katanya, nomor berlangganan saya ditutup karena ada empat tagihan yang belum saya bayar sebagai sebuah bukti pendaftaran. Berarti saya memiliki empat utang dong? Dia menanyakan saya, apakah saya pernah menerima pesan singkat (SMS) berupa penagihan itu. Saya teringat pada pesan singkat itu.

 

Pesan Singkat

Pada Rabu, 11 Maret 2015, saya menerima pesan singkat dari nomor 0858XXXXXXXX. Isinya sebagai berikut :

“ PELANGGAN YTH AN XXXXXXXXXXXX IDPEL 232XXXXXXXXX, DIKARENAKAN ADANYA KENAIKAN BIAYA PENYAMBUNGAN LISTRIK PLN YANG MENGAKIBATKAN ADANYA KURANG TAGIH MAKA KAMI MOHON SAUDARA/I UNTUK SEGERA MENYELESAIKAN DGN CARA MEMBAYAR SETIAP BULAN PALING LAMBAT TGL 20 DILOKET-LOKET PEMBAYARAN NO REGISTER 232XXXXXXXXX, 232XXXXXXXXX, 232XXXXXXXXX, 232XXXXXXXXX SEJUMLAH RP 60.750,- /REGISTER. INFO LEBIH LANJUT HUB CALL CENTER PLN 0542-XXX/KANTOR PLN RAYON XXX XXXXX XX XXX TERIMA KASIH.”

Ketika menerima pesan singkat itu saya terkejut dan terheran-heran. Pertama, nomor ponsel-nya tidak menampakkan berasal dari sebuah instansi (PLN) resmi. Saya pernah mendapat pesan singkat mengenai pembayaran rekening listrik dari PLN cabang Kupang dengan jelas menampilkan identitas instansinya selama 2-3 kali per bulan sampai saya kembali ke Balikpapan, meskipun saya pernah 4 bulan di sana tetapi tidak pernah memasang jaringan listrik PLN di sana.

Kedua, perihal pembayaran administrasi pada pengajuan awal sama sekali tidak ada pemberitahuan atau sedikit singgungan, baik dari kantor PLN, kantor pos (tempat saya membayar listrik prabayar), dan kontraktor pelaksana pemasangan jaringan yang dilengkapi dengan surat perjanjian mengenai pemasangan jaringan listrik PLN.    

Ketiga, dengan adanya nomor ‘asing’ yang mengatasnamakan PLN, saya justru curiga, jangan-jangan ini modus operandi sebuah sindikat penipuan seperti yang sering saya terima dari nomor lainnya dengan kabar “mama perlu pulsa”, “tante perlu biaya karena lagi sakit”, “urusan pembayaran tanah”, “nomor anda memenangkan hadiah...”, dan lain-lain.

Keempat, kalau memang resmi-serius, paling tidak, saya akan menerima surat pemberitahuan dari PLN, termasuk perihal ‘sanksi’ apabila saya tidak melakukan pembayaran sampai batas akhir yang tertera dalam surat pemberitahuan. Kalau sekadar pesan singkat dan hanya satu kali (20 Maret 2015), jangan-jangan pesan singkat itu memang serupa dengan poin ketiga di atas.

Dari keempat hal tersebut secara langsung saya mengabaikan isi pesan singkat itu. Tapi di sisi lain, saya menyimpannya karena saya berencana menuliskannya apabila terjadi “sesuatu” hal yang berada di luar perjanjian dan legalitas bermaterai yang pernah saya lakukan dengan instansi terkait. Artinya, apabila “sesuatu” itu terjadi, jangan sampai sekadar “angin lalu” tanpa ada catatan khusus yang bisa saya evaluasi dan kritisi.

 

Upaya Mencari Informasi Seputar Pesan Singkat

Meski saya abaikan dan simpan pesan singkat itu, saya tetap mencari informasi pada hari selanjutnya. Pertama, kepada tetangga sekitar “Rukan”, apakah mereka juga mendapatkan pesan singkat serupa karena mereka terlebih dulu menggunakan listrik prabayar. Wajar dong pelanggan baru bertanya kepada pelanggan lama. Ternyata para tetangga “Rukan” tidak pernah mendapat pesan singkat semacam itu.

Kedua, kepada ketua RT, yang juga menggunakan listrik prabayar, apakah ketua RT mengetahui adanya pembayaran seusai pemasangan dan penggunaan listrik prabayar. Ternyata, ketua RT saya sama sekali tidak mengetahui bahkan malah ‘mempertanyakan’ perihal adanya pembayaran semacam itu.

Ketiga, 1 Februari 2015 saya menulis catatan “Pulsa Listrik Pintar” di media sosial (Facebook) dan saya teruskan kepadan seorang kawan yang bekerja secara struktural di PLN, meskipun di luar Kalimantan Timur. Baiklah, memang bukan wilayahnya bertugas. Dan, bisa jadi, tulisan saya terlalu emosional dan ugal-ugalan. Tetapi, paling tidak, kawan saya bisa memberi masukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan PLN terhadap pelanggan yang bersifat umum-nasional. Apalagi, katanya, posisi strukturalnya di bagian Hubungan Masyarakat (Humas), dan pernah ‘meredam’ (dengan sejata utama berupa nasi bungkus) aksi demo di wilayahnya.

Keempat, saya menunggu pesan singkat semacam itu lagi sebagai pengingat kepada saya sebagai seorang pelanggan listrik pintar-nya PLN. 20 April, 20 Mei, dan 20 Juni 2015 sama sekali tidak ada peringatan lanjutan apabila memang pesan singkat resmi dari PLN. Ya, seperti cuplikan pesan singkat itu, “MOHON SAUDARA/I UNTUK SEGERA MENYELESAIKAN DGN CARA MEMBAYAR SETIAP BULAN PALING LAMBAT TGL 20 DILOKET-LOKET PEMBAYARAN”.

Kelima, sejak masuknya pesan singkat tersebut, sama sekali tidak ada ‘sanksi’, baik berupa denda maupun sampai pada tindakan pemblokiran seperti yang justru saya alami pada 20 Juli 2015. Artinya, meskipun ada pemberitahuan tetapi tidak disertai ‘ancaman’ pemblokiran, minimal sampai 20 Juni, secara langsung saya benar-benar merasa wajar kalau pesan singkat itu sekadar “angin lalu”.

 

Pemblokiran Sepihak

Dari kronologis ini-itu hingga saya mendatangi kantor cabang PLN Rayon X, kepada satpam itu saya sampaikan hal-hal yang berdampak pada pemblokiran jaringan listrik pintar di “Rukan” saya. Saya menganggap bahwa pemblokiran dilakukan secara sepihak. Artinya, dilakukan semena-mena oleh PLN tanpa adanya pemberitahuan melalui surat perjanjian pada pemasangan awal jaringan, dan tidak pula ada pemberitahuan berupa brosur atau selebaran di kantor PLN tersebut.

Ya, seperti cuplikan pesan singkat itu, “MOHON SAUDARA/I UNTUK SEGERA MENYELESAIKAN DGN CARA MEMBAYAR SETIAP BULAN PALING LAMBAT TGL 20 DILOKET-LOKET PEMBAYARAN”. Tidak jelas, TGL 20 bulan apa, dan sampai 20 bulan apa tahun berapa. Tidak jelas pula ‘sanksi’-nya apabila tidak membayar sampai pada tgl 20 bulan apa dan tahun berapa. Tapi yang paling jelas, nomor berlangganan saya diblokir pada 20 Juli 2015, dan saya tidak bisa melakukan pengisian ulang.

Ternyata, tanggapan satpam tadi, saya bukanlah orang (pelanggan) pertama yang mengalami pemblokiran. Sebelum saya, ada lebih lima orang yang mengalami pemblokiran tanpa pernah ada sosialisasi pada jauh bulan sebelumnya. Katanya lagi, pelanggan yang komplain pun sempat emosi besar sembari menggebrak meja karena merasa “dizolimi” oleh PLN.

Satpam tadi pun menyayangkan ketiadaan sosialisasi, baik di kantor cabang PLN itu dalam bentuk selebaran, media massa resmi (harian lokal) maupun di kelurahan-kelurahan. Akibatnya, sebagian pelanggan melakukan komplain dan ‘terpaksa’ dihadapi juga oleh satpam, yang mujurnya, tidak disertai tindakan anarkis.

Saya pun menambahkan penyayangan satpam tadi. Pertama, persoalan komplain bukanlah urusan keamanan, melainkan pelayanan pada konsumen (customer service). Itu kalah berkaitan dengan komplain secara langsung. Kalau satpam dibebani pula oleh urusan komplain, apakah memang sesuai dengan rincian tugas (job description) mereka. Kalau tidak sesuai dengan jobdesc tetapi ‘wajib’ mereka lakukan, sewajibnya pula mereka mendapat tambahan gaji serta pengurangan gaji petugas customer service sebagai suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lho iya dong. Saya seharusnya bertemu dengan petugas customer service dan mendapatkan ‘pencerahan’ mengenai pemblokiran. Itu tanggung jawab petugas customer sevice, bukannya satpam. Tapi, ‘kan, sedang libur bersama? Nah, kalau di kalender sudah tertera tanda “libur bersama”, tentunya, sebelum-sebelumnya sudah jelas perihal mengenai sosialisasinya.

Soal sosialisasi ini mengingatkan kembali kepada kawan saya yang bekerja di PLN. Kawan saya bukanlah seorang sarjana bidang teknik atau kejuruan, melainkan bidang sosial, apalagi, katanya, posisinya di bagian humas. Dengan latar pendidikan tinggi di bidang sosial dan posisi profesinya pun berkaitan langsung dengan masyarakat, tentunya persoalan sosialisasi bukanlah sesuatu yang baru (asing, aneh, tidak sesuai dengan posisi).

PLN alias Perusahan Listrik Negara bukanlah seperti Telkom, meskipun sesama BUMN. Maksud saya, ketika kartu pelanggan diblokir gara-gara tidak meneruskan isi ulang sekaligus sebagai bukti daftar ulang (registrasi), pelanggan bisa seenaknya beralih ke providerS seluler lainnya, misalnya As (meski masih sesama Telkom), Indosat, XL, dll., alias tidak lagi memakai kartu yang diblokir karena masih tersedia peluang pada kartu lainnya. Lha ini, PLN, ‘kan, sebuah monopoli jasa pengadaan enerji? Mengapa tidak mengoptimalkan pelayanan, apalagi kini, katanya, zaman modern? Dan seterusnya deh.

Ya, dan seterusnya deh, sampai mengaduk-aduk pikiran saya. Akan tetapi, apalah gunanya mengaduk-aduk sampai semakin membotakkan saya, jika ternyata PLN masih saja bekerja tidak optimal sekaligus kurang profesional, khususnya di bidang sosialisasi agar para pelanggan bisa lebih mudah mendapatkan informasi sebelum terjadi pemblokiran seakan-akan “jebakan betmen” itu. Apalagi, ternyata, pemblokiran disertai daftar utang (4 x Rp. 60.6750,-) yang harus saya bayar.

 

Listrik Pintar dan Pelanggan Bodoh

Saya lihat kembali sebutan “listrik pintar” itu. Ya, memang pintar (pengelola) listriknya, dan betapa bodohnya pelanggan listrik semacam saya ini. Betapa pintarnya listrik, yang tiba-tiba ‘menyengat’ saya dengan pesan singkat tanpa pernah tersampaikan sejak awal pengajuan saya disetujui.

Juga betapa pintarnya listrik ketika ‘menyengat’ saya dengan sebuah tindakan pemblokiran tanpa secara berturut-turut (20 April, 20 Mei, dan 20 Juni) melakukan tindakan pemberitahuan melalui surat resmi dari PLN sebagai sebuah keseriusan yang harus benar-benar dipahami oleh pelanggan semacam saya ini, bukannya melalui pesan singkat yang satu kali lantas selesai begitu.

Dan, betapa bodohnya saya, wong, ya, alarm sudah berbunyi tetapi pulsa tidak bisa diisi, dan tagihan siap menanti. Lho, tapi, ‘kan, alarm tidak berhubungan dengan pemblokiran karena tidak tertera pada surat perjanjian. Betapa bodohnya saya memercayai sebuah surat perjanjian, padahal berikutnya saya ‘disengat’ aksi pemblokiran beserta sejumlah tagihan yang harus saya bayar.

Kebodohan saya berikutnya, mengapa bertanya kepada tetangga dan ketua RT, yang sama sekali bukan pengelola listrik pintar. Ditambah kebodohan saya menanyakan perihal pemblokiran kepada satpam itu, lha wong jelas banget, satpam bukannya petugas customer service.

Paling bodohnya saya, walaupun memiliki kawan yang bekerja secara struktural di PLN, ‘kan si kawan bukannya pegawai PLN di Kaltim. Walaupun saya berharap adanya semacam pencerahan, berhubung saya merupakan pelanggan baru, tetap saja si kawan berada di luar daerah, bahkan, anggap saja, bukan pegawai struktural di PLN.

Dengan “pintarnya listrik” dan “bodohnya pelanggan” semacam saya ini, konsekuensinya (terhadap kebodohan saya) sudah pasti, pulsa listrik habis-bis, dan listrik di “Rukan” akan padam sampai batas waktu yang tidak saya tahu karena pada 20 Juli ini saya tidak bisa melakukan pengisian ulang. Terlebih, besok, Selasa, 21 Juli 2015, masih masa libur (cuti) bersama.

Maka, berhubung hal-hal tersebut dan hari ini masih dalam suasana Idul Fitri, saya mohon maaf lahir-batin atas kebodohan saya ini. Semoga kebodohan saya ini (arsitek alias sarjana teknik tapi masih bodoh juga!) tidak menjadi wabah menular plus berbahaya kepada semua pelanggan listrik pintar di Indonesia.

*******

Kebun Karya, 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun