Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pintarnya Listrik dan Bodohnya Pelanggan Semacam Saya Ini (#1)

22 Juli 2015   11:18 Diperbarui: 4 April 2017   16:55 9568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketiga, 1 Februari 2015 saya menulis catatan “Pulsa Listrik Pintar” di media sosial (Facebook) dan saya teruskan kepadan seorang kawan yang bekerja secara struktural di PLN, meskipun di luar Kalimantan Timur. Baiklah, memang bukan wilayahnya bertugas. Dan, bisa jadi, tulisan saya terlalu emosional dan ugal-ugalan. Tetapi, paling tidak, kawan saya bisa memberi masukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan PLN terhadap pelanggan yang bersifat umum-nasional. Apalagi, katanya, posisi strukturalnya di bagian Hubungan Masyarakat (Humas), dan pernah ‘meredam’ (dengan sejata utama berupa nasi bungkus) aksi demo di wilayahnya.

Keempat, saya menunggu pesan singkat semacam itu lagi sebagai pengingat kepada saya sebagai seorang pelanggan listrik pintar-nya PLN. 20 April, 20 Mei, dan 20 Juni 2015 sama sekali tidak ada peringatan lanjutan apabila memang pesan singkat resmi dari PLN. Ya, seperti cuplikan pesan singkat itu, “MOHON SAUDARA/I UNTUK SEGERA MENYELESAIKAN DGN CARA MEMBAYAR SETIAP BULAN PALING LAMBAT TGL 20 DILOKET-LOKET PEMBAYARAN”.

Kelima, sejak masuknya pesan singkat tersebut, sama sekali tidak ada ‘sanksi’, baik berupa denda maupun sampai pada tindakan pemblokiran seperti yang justru saya alami pada 20 Juli 2015. Artinya, meskipun ada pemberitahuan tetapi tidak disertai ‘ancaman’ pemblokiran, minimal sampai 20 Juni, secara langsung saya benar-benar merasa wajar kalau pesan singkat itu sekadar “angin lalu”.

 

Pemblokiran Sepihak

Dari kronologis ini-itu hingga saya mendatangi kantor cabang PLN Rayon X, kepada satpam itu saya sampaikan hal-hal yang berdampak pada pemblokiran jaringan listrik pintar di “Rukan” saya. Saya menganggap bahwa pemblokiran dilakukan secara sepihak. Artinya, dilakukan semena-mena oleh PLN tanpa adanya pemberitahuan melalui surat perjanjian pada pemasangan awal jaringan, dan tidak pula ada pemberitahuan berupa brosur atau selebaran di kantor PLN tersebut.

Ya, seperti cuplikan pesan singkat itu, “MOHON SAUDARA/I UNTUK SEGERA MENYELESAIKAN DGN CARA MEMBAYAR SETIAP BULAN PALING LAMBAT TGL 20 DILOKET-LOKET PEMBAYARAN”. Tidak jelas, TGL 20 bulan apa, dan sampai 20 bulan apa tahun berapa. Tidak jelas pula ‘sanksi’-nya apabila tidak membayar sampai pada tgl 20 bulan apa dan tahun berapa. Tapi yang paling jelas, nomor berlangganan saya diblokir pada 20 Juli 2015, dan saya tidak bisa melakukan pengisian ulang.

Ternyata, tanggapan satpam tadi, saya bukanlah orang (pelanggan) pertama yang mengalami pemblokiran. Sebelum saya, ada lebih lima orang yang mengalami pemblokiran tanpa pernah ada sosialisasi pada jauh bulan sebelumnya. Katanya lagi, pelanggan yang komplain pun sempat emosi besar sembari menggebrak meja karena merasa “dizolimi” oleh PLN.

Satpam tadi pun menyayangkan ketiadaan sosialisasi, baik di kantor cabang PLN itu dalam bentuk selebaran, media massa resmi (harian lokal) maupun di kelurahan-kelurahan. Akibatnya, sebagian pelanggan melakukan komplain dan ‘terpaksa’ dihadapi juga oleh satpam, yang mujurnya, tidak disertai tindakan anarkis.

Saya pun menambahkan penyayangan satpam tadi. Pertama, persoalan komplain bukanlah urusan keamanan, melainkan pelayanan pada konsumen (customer service). Itu kalah berkaitan dengan komplain secara langsung. Kalau satpam dibebani pula oleh urusan komplain, apakah memang sesuai dengan rincian tugas (job description) mereka. Kalau tidak sesuai dengan jobdesc tetapi ‘wajib’ mereka lakukan, sewajibnya pula mereka mendapat tambahan gaji serta pengurangan gaji petugas customer service sebagai suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lho iya dong. Saya seharusnya bertemu dengan petugas customer service dan mendapatkan ‘pencerahan’ mengenai pemblokiran. Itu tanggung jawab petugas customer sevice, bukannya satpam. Tapi, ‘kan, sedang libur bersama? Nah, kalau di kalender sudah tertera tanda “libur bersama”, tentunya, sebelum-sebelumnya sudah jelas perihal mengenai sosialisasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun