Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menjembatani Perbedaan, Mengatasi Kesalahpahaman dalam Bahasa dan Komunikasi Gender

21 November 2024   05:30 Diperbarui: 21 November 2024   07:05 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bahasa adalah jembatan utama dalam komunikasi manusia, tetapi perbedaan gaya penggunaannya sering menjadi sumber kesalahpahaman, terutama antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung langsung dan berfokus pada solusi, sementara perempuan lebih ekspresif secara emosional dan menggunakan bahasa untuk membangun hubungan. Perbedaan ini dapat menimbulkan ketegangan, misalnya, ketika perempuan yang menyampaikan kekhawatiran dianggap "terlalu emosional" oleh laki-laki yang lebih mengutamakan logika. Artikel ini bertujuan memberikan wawasan tentang perbedaan tersebut dan menawarkan solusi praktis, seperti memahami dan mengapresiasi gaya komunikasi, untuk menciptakan hubungan yang lebih harmonis dalam konteks personal maupun profesional.

Perbedaan Gaya Bahasa dan Komunikasi Gender

Gaya Bahasa Laki-laki

Bahasa cenderung langsung dan fokus pada penyelesaian masalah: Laki-laki sering menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan praktis atau menyelesaikan masalah, sesuai dengan pendekatan instrumentalnya terhadap komunikasi. Deborah Tannen dalam You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation (1990) menyebutkan bahwa pria lebih sering memandang komunikasi sebagai sarana untuk mempertahankan status atau menunjukkan kekuatan dalam hubungan sosial.

Minim nuansa emosional: Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki cenderung menghindari eksplorasi emosional dalam bahasa, berfokus pada fakta atau argumen logis. Deborah Cameron dalam Language, Gender, and Sexuality: Current Issues and New Directions (2005) menyoroti bagaimana pria sering mengadopsi pendekatan rasional dalam berbicara, yang bisa membuatnya terlihat kurang empati dibandingkan perempuan.

Bahasa yang logis dan objektif: Gaya bahasa ini mencerminkan orientasi laki-laki terhadap efisiensi dan kejelasan. Penelitian Bucholtz & Hall dalam Theorizing Identity in Language and Sexuality Research (2004) menunjukkan bahwa pendekatan ini sering digunakan untuk menghindari potensi konflik emosional dalam percakapan.

Gaya Bahasa Perempuan

Bahasa lebih ekspresif secara emosional: Perempuan sering menggunakan bahasa untuk mengekspresikan perasaan dan membangun hubungan interpersonal. Susan Ehrlich & Miriam Meyerhoff dalam The Handbook of Language, Gender, and Sexuality (2004) menjelaskan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan ungkapan emosional sebagai cara untuk menciptakan kedekatan dan memahami orang lain.

Menggunakan bahasa untuk membangun koneksi: Bahasa sering menjadi alat perempuan untuk memperkuat hubungan sosial. Perempuan cenderung berbagi pengalaman pribadi untuk menunjukkan empati, sesuai dengan pandangan Tannen (1990) tentang komunikasi sebagai jembatan hubungan (rapport-talk).

Penggunaan tanda-tanda non-verbal: Perempuan lebih sering menggunakan elemen non-verbal seperti intonasi, ekspresi wajah, atau gerak tubuh untuk memperkuat pesannya. Cameron (2005) menunjukkan bahwa pendekatan ini membantu menciptakan dimensi emosional dalam komunikasi, yang sering diabaikan oleh laki-laki.

Konteks dan implikasi: Kesalahpahaman sering terjadi karena perbedaan tujuan komunikasi. Pria mungkin memandang perempuan "terlalu emosional," sementara perempuan menganggap pria "tidak peduli." Untuk mengatasi hal ini, penting untuk meningkatkan pemahaman tentang perbedaan gaya komunikasi ini, seperti yang diungkapkan oleh hasil penelitian Tannen (1990) dan Cameron (2005), dengan fokus pada empati dan mendengarkan aktif.

Dampak Perbedaan Bahasa dan Komunikasi Gender

Di Tempat Kerja

Perempuan dianggap terlalu emosional: Gaya bahasa perempuan yang lebih ekspresif secara emosional sering salah dimaknai sebagai kelemahan atau kurang profesional dalam lingkungan kerja yang cenderung mengutamakan logika dan efisiensi. Tannen (1990) menjelaskan bahwa cara perempuan berbicara, yang menonjolkan hubungan dan emosi, dapat membuatnya dianggap kurang kompeten dalam menyampaikan gagasan atau mengambil keputusan di tempat kerja. Eagly & Carli dalam Through the Labyrinth: The Truth About How Women Become Leaders (2007) mencatat bahwa stereotip ini sering menghambat perempuan dalam peran kepemimpinan. Di sisi lain, gaya komunikasi laki-laki yang lebih langsung dan fokus pada penyelesaian masalah dipersepsikan lebih "tepat" untuk lingkungan profesional, meskipun kurang memperhatikan aspek relasional.

Laki-Laki terlihat kurang peduli pada aspek emosional: Dalam interaksi kerja, laki-laki yang mengutamakan pendekatan logis sering dianggap kurang peduli pada hubungan interpersonal atau kesejahteraan emosional rekan kerja. Cameron (2005) menekankan bahwa fokus laki-laki pada hasil akhir tanpa memperhatikan nuansa sosial dapat menciptakan kesan dingin atau tidak peka.

Dampaknya: Perempuan mungkin merasa diabaikan atau tidak dihargai ketika pendapatnya dikesampingkan. Laki-laki mungkin dianggap kurang mendukung atau tidak kooperatif, khususnya dalam tim yang membutuhkan harmoni interpersonal.

Dalam Hubungan Pribadi

Salah paham akibat fokus berbeda antara logika dan emosi: Perbedaan fokus komunikasi laki-laki pada logika dan perempuan pada emosi sering menjadi penyebab salah paham dalam hubungan pribadi. Holmes dalam Women, Men and Politeness (1995) menunjukkan bahwa perempuan menggunakan bahasa untuk menciptakan kedekatan emosional, sementara laki-laki sering menggunakannya untuk memberikan solusi konkret. Ketika perempuan berbicara tentang masalah emosional, laki-laki mungkin salah menanggapinya dengan memberikan saran praktis alih-alih empati, yang dapat memperburuk situasi.

Perasaan salah satu pihak tidak dipahami atau diabaikan: Jika laki-laki tidak merespons secara emosional, perempuan bisa merasa diabaikan. Sebaliknya, laki-laki mungkin merasa frustrasi karena perempuan mengharapkan respons emosional daripada solusi rasional. Tannen (1990) menyebutkan bahwa hal ini adalah akar dari banyak konflik dalam hubungan heteroseksual, karena kedua belah pihak mengartikan bahasa dan tujuan komunikasi secara berbeda.

Dampaknya: Perasaan keterasingan atau tidak dimengerti sering muncul, yang dapat melemahkan hubungan jangka panjang. Jika tidak dikelola, pola ini dapat menciptakan jarak emosional yang sulit diperbaiki.

Solusi untuk menjembatani perbedaan tersebut meliputi kesadaran gender, pelatihan empati dan mendengarkan aktif. Kesadaran tentang perbedaan gaya komunikasi dapat membantu mengurangi kesalahpahaman, baik dalam konteks profesional maupun pribadi. Berkaitan dengan pelatihan empati dan mendengarkan aktif, Cameron (2005) menekankan bahwa memahami bahasa tubuh, intonasi, dan konteks emosional dapat meningkatkan kualitas interaksi antargender.

Strategi Mengatasi Kesalahpahaman dalam Bahasa dan Komunikasi

Meningkatkan Empati

Mengapresiasi gaya bahasa lawan bicara: Empati adalah dasar untuk menjembatani perbedaan komunikasi. Tannen (1990) menyatakan bahwa memahami perbedaan antara gaya komunikasi laki-laki dan perempuan dapat membantu individu mengapresiasi perspektif lawan bicara. Mengapresiasi gaya bahasa berarti menghindari prasangka bahwa satu pendekatan lebih baik daripada yang lain, baik fokus pada logika maupun emosi.

Menghindari asumsi superioritas gaya bahasa: Menghindari sikap defensif atau asumsi superioritas terhadap gaya komunikasi tertentu penting untuk membangun hubungan yang lebih baik. Cameron (2005) menunjukkan bahwa semua bentuk komunikasi memiliki nilai yang setara, tetapi pengaruh budaya dapat menciptakan stereotip yang salah. Dalam konteks ini, empati memungkinkan fleksibilitas dan adaptasi terhadap kebutuhan lawan bicara.

Mengembangkan Keterampilan Mendengar Aktif

Fokus pada pesan verbal dan non-verbal secara seimbang: Mendengar aktif melibatkan perhatian penuh terhadap pesan yang disampaikan baik secara verbal maupun melalui ekspresi non-verbal. John Stewart dalam Bridges Not Walls: A Book About Interpersonal Communication (2011) menjelaskan bahwa mendengar aktif adalah keterampilan utama dalam memperkuat hubungan antarpribadi, karena membantu pendengar memahami emosi yang mendasari pesan.

Menjawab dengan bahasa yang mengakui emosi dan logika: Tannen (1990) menyarankan bahwa respons yang ideal dalam komunikasi melibatkan pengakuan terhadap dimensi emosional dan logis dari pesan. Contohnya, ketika perempuan menyampaikan kekhawatiran, laki-laki dapat menunjukkan empati dengan terlebih dahulu mengakui perasaan sebelum memberikan solusi.

Menyesuaikan Penggunaan Bahasa

Laki-Laki menggunakan lebih banyak elemen emosional: Penelitian Holmes (1995) menunjukkan bahwa laki-laki dapat meningkatkan hubungan interpersonal dengan menambahkan elemen emosional ke dalam komunikasi. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan simpati atau bahasa tubuh yang mendukung, laki-laki dapat membantu lawan bicara perempuan merasa didengar.

Perempuan menekankan kejelasan dan struktur logis: Perempuan dapat mengurangi potensi kesalahpahaman dengan menekankan kejelasan dan struktur logis dalam menyampaikan pesan. Eagly dan Carli (2007) menyatakan bahwa komunikasi yang lebih terstruktur memungkinkan perempuan mendapatkan perhatian yang lebih besar di lingkungan kerja.

Implikasi strategi: Mengintegrasikan empati, mendengar aktif, dan penyesuaian bahasa dapat menciptakan dialog yang lebih harmonis di berbagai konteks, baik hubungan pribadi maupun profesional. Hal ini mengurangi kemungkinan konflik akibat perbedaan gaya komunikasi dan meningkatkan efektivitas interaksi.

Memahami dan menghormati perbedaan gaya bahasa antara laki-laki dan perempuan adalah langkah penting untuk menciptakan hubungan yang harmonis di berbagai aspek kehidupan. Perbedaan ini mencerminkan keberagaman cara berpikir dan dapat menjadi sumber kekayaan komunikasi jika dikelola dengan baik (Tannen, 1990). Meningkatkan empati dan keterampilan mendengar aktif merupakan kunci untuk mengatasi kesenjangan tersebut, memungkinkan dialog yang inklusif dan saling melengkapi (Cameron, 2005). Dengan pendekatan penuh kesadaran, perbedaan bahasa bukanlah penghalang, melainkan peluang untuk memperkaya pemahaman dan memperkuat kerja sama dalam konteks profesional maupun pribadi. (*)

Merauke, 21 November 2024

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun