Keinginan Mendalami Pertanian
Suasana senja di Kampung Tabonji masih terasa hangat setelah pesta adat yang meriah. Josefa duduk di bawah rindangnya pohon rimbun, merenungkan keajaiban yang baru saja dia saksikan. Di kejauhan, cahaya matahari terbenam memantulkan warna emas di atas perbukitan hijau Kimaam.
Pesta Adat Dambu telah menghadirkan pertanyaan besar dalam pikiran Josefa. Dia terpesona oleh ubi-ubi besar yang tumbuh subur di tanah merah kampung halamannya. Tanaman itu tidak hanya merupakan sumber makanan, tetapi juga simbol kekuatan dan kebijaksanaan nenek moyang mereka. Bagaimana mungkin tanpa teknologi modern, penduduk kampung dapat merawat dan membesarkan ubi-ubi sebesar itu?
Di benaknya, Josefa merasa terdorong untuk menggali lebih dalam. Dia ingin memahami rahasia di balik keberhasilan tanaman tradisional tersebut. Visi baru tentang masa depannya mulai terbentuk: belajar di luar Papua, di tempat-tempat seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), untuk memperluas pengetahuan dan keterampilannya dalam pertanian modern.
Saat sedang asyik merenung, Didimus, teman sekelasnya, datang mendekat. "Apa yang kamu pikirkan, Josefa? Kamu terlihat sangat dalam pemikiran," tanya Didimus sambil duduk di sampingnya.
Josefa menoleh dan tersenyum, "Aku sedang memikirkan tentang ubi-ubi besar yang kita lihat di pesta tadi. Aku ingin tahu bagaimana mereka bisa tumbuh sebesar itu tanpa teknologi modern."
Didimus mengangguk, "Iya, aku juga terkesan. Teknik tradisional mereka memang luar biasa. Tapi, apa yang ingin kamu lakukan dengan semua pemikiran ini?"
"Aku ingin belajar lebih banyak tentang pertanian modern," jawab Josefa dengan semangat. "Aku ingin pergi ke Institut Pertanian Bogor dan mempelajari teknik-teknik baru yang bisa membantu kita di sini. Bayangkan jika kita bisa menggabungkan pengetahuan modern dengan kearifan lokal."
Didimus tersenyum lebar, "Itu ide yang bagus, Josefa. Tapi, bagaimana dengan orang tuamu? Apakah mereka akan mendukung rencana ini?"
Josefa menarik napas dalam-dalam, "Itulah yang membuatku khawatir. Orang tuaku sangat terikat dengan tradisi. Mereka mungkin tidak akan setuju jika aku harus pergi jauh untuk belajar."
Didimus menepuk bahu Josefa, "Kamu harus berbicara dengan mereka. Jelaskan niatmu dan bagaimana kamu ingin membawa perubahan positif bagi kampung kita. Aku yakin mereka akan mengerti."
Malam itu, Josefa memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya. Mereka duduk bersama di ruang keluarga, di bawah cahaya lampu minyak yang redup.
"Ibu, Ayah, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," kata Josefa dengan hati-hati.
Ayahnya menatapnya dengan penuh perhatian, "Apa itu, Nak?"
Josefa mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku ingin melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor. Aku ingin mempelajari teknik pertanian modern agar bisa membantu kampung kita lebih baik."
Ibunya terkejut, "Kenapa harus jauh-jauh ke Bogor? Bukankah kamu bisa belajar di sini, di Merauke?"
"Aku tahu, Bu. Tapi di IPB, aku bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih luas dan teknik terbaru. Dengan begitu, aku bisa membawa lebih banyak manfaat bagi Kampung Tabonji," jawab Josefa dengan penuh keyakinan.
Ayahnya mengangguk perlahan, "Kami bangga dengan semangatmu, Josefa. Tapi kami juga khawatir. Dunia luar berbeda, banyak tantangan yang harus dihadapi."
"Aku mengerti, Ayah. Tapi aku yakin, dengan ilmu yang aku dapatkan nanti, aku bisa kembali dan membuat perubahan yang lebih baik. Aku tidak akan melupakan dari mana aku berasal," kata Josefa dengan tekad yang kuat.
Ibunya tersenyum tipis, "Jika itu memang yang kamu inginkan, kami akan mendukungmu. Tapi ingat, selalu kembali ke rumah. Jangan lupakan kami."
"Tentu, Bu. Aku janji," jawab Josefa sambil menggenggam tangan ibunya.
Dengan perjuangan awal ini, Josefa tidak hanya mengambil langkah besar menuju pendidikan yang ia percayai akan membantu dirinya tumbuh, tetapi juga membuktikan tekadnya untuk menjadi agen perubahan yang positif bagi tanah airnya, Papua. Diskusi ini menjadi titik balik penting dalam perjalanan Josefa, yang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Bogor dengan keyakinan bahwa langkah ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dan bermakna dalam hidupnya.
Kebingungan dan Kekaguman
Setelah merayakan keberhasilan Pesta Adat Dambu di Kampung Tabonji, Josefa merasa terombang-ambing antara kebingungan dan kekaguman. Suasana malam mulai menyelimuti kampung, menyisakan cahaya gemerlap dari lampu-lampu minyak kelapa yang menerangi jalanan tanah merah.
Josefa duduk di teras rumah, mengingat kembali momen-momen indah yang baru saja dilewati. Di dalam benaknya, keajaiban ubi-ubi besar yang tumbuh dengan subur tetap menjadi teka-teki yang sulit dipahami. Bagaimana bisa tanaman itu berkembang dengan begitu baik tanpa campur tangan teknologi modern?
Saat sedang merenung, Ayahnya, Bapak Matias, keluar dan duduk di sampingnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?" tanya Bapak Matias dengan suara lembut.
Josefa menoleh dan tersenyum tipis. "Aku masih memikirkan tentang ubi-ubi besar itu, Ayah. Bagaimana bisa mereka tumbuh subur tanpa bantuan teknologi modern?"
Bapak Matias tertawa pelan. "Itu semua adalah hasil dari pengetahuan dan kearifan yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Mereka tahu cara membaca tanah, cuaca, dan tanaman. Pengetahuan itu lebih dari sekadar ilmu, Josefa. Itu adalah bagian dari hidup kita."
Josefa mengangguk perlahan, merasa sedikit lebih tenang namun tetap penuh rasa ingin tahu. "Di sekolah, kami diajarkan tentang teknologi pertanian yang canggih. Tapi di sini, aku melihat sesuatu yang berbeda. Aku ingin memahami lebih dalam bagaimana kearifan lokal ini bisa begitu efektif."
"Pengetahuan modern memang penting," kata Bapak Matias, "tapi jangan pernah meremehkan nilai dari tradisi kita. Keduanya bisa saling melengkapi, bukan saling menggantikan."
Saat mereka berbincang, Ibu Josefa, Mama Maria, bergabung dengan mereka sambil membawa minuman hangat. "Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya.
Josefa mengambil minuman dari tangan ibunya. "Aku sedang bertanya-tanya tentang bagaimana memadukan pengetahuan modern dengan kearifan lokal kita, Bu."
Mama Maria tersenyum hangat. "Itu pemikiran yang baik, Nak. Kearifan lokal kita telah teruji oleh waktu. Jika kamu bisa menemukan cara untuk menggabungkannya dengan ilmu modern, itu akan sangat bermanfaat bagi kampung kita."
Josefa merasa lebih bersemangat. "Aku ingin belajar lebih banyak, baik dari buku-buku di sekolah maupun dari cerita-cerita kalian. Aku ingin menemukan cara agar kita bisa maju tanpa melupakan akar kita."
Bapak Matias menepuk bahu Josefa dengan bangga. "Itu adalah niat yang mulia, Josefa. Kami akan mendukungmu sepenuhnya."
Malam itu, di bawah cahaya bintang yang bersinar lembut, Josefa bersumpah untuk terus menapaki jejak yang baru ditemukannya. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia yakin bahwa setiap langkah ke depan akan membawanya lebih dekat kepada pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana memadukan tradisi dengan inovasi.
Kebingungan dan kekaguman Josefa setelah Pesta Adat Dambu tidak hanya menggambarkan keingintahuan pribadinya, tetapi juga perubahan dalam pandangan dunianya. Ia menyadari bahwa masa depannya tidak hanya terletak pada ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah, tetapi juga pada kebijaksanaan yang ada di kampung halamannya.
(Bersambung)
Merauke, 2 Oktober 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H