Didimus menepuk bahu Josefa, "Kamu harus berbicara dengan mereka. Jelaskan niatmu dan bagaimana kamu ingin membawa perubahan positif bagi kampung kita. Aku yakin mereka akan mengerti."
Malam itu, Josefa memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya. Mereka duduk bersama di ruang keluarga, di bawah cahaya lampu minyak yang redup.
"Ibu, Ayah, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," kata Josefa dengan hati-hati.
Ayahnya menatapnya dengan penuh perhatian, "Apa itu, Nak?"
Josefa mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku ingin melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor. Aku ingin mempelajari teknik pertanian modern agar bisa membantu kampung kita lebih baik."
Ibunya terkejut, "Kenapa harus jauh-jauh ke Bogor? Bukankah kamu bisa belajar di sini, di Merauke?"
"Aku tahu, Bu. Tapi di IPB, aku bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih luas dan teknik terbaru. Dengan begitu, aku bisa membawa lebih banyak manfaat bagi Kampung Tabonji," jawab Josefa dengan penuh keyakinan.
Ayahnya mengangguk perlahan, "Kami bangga dengan semangatmu, Josefa. Tapi kami juga khawatir. Dunia luar berbeda, banyak tantangan yang harus dihadapi."
"Aku mengerti, Ayah. Tapi aku yakin, dengan ilmu yang aku dapatkan nanti, aku bisa kembali dan membuat perubahan yang lebih baik. Aku tidak akan melupakan dari mana aku berasal," kata Josefa dengan tekad yang kuat.
Ibunya tersenyum tipis, "Jika itu memang yang kamu inginkan, kami akan mendukungmu. Tapi ingat, selalu kembali ke rumah. Jangan lupakan kami."
"Tentu, Bu. Aku janji," jawab Josefa sambil menggenggam tangan ibunya.