"Syukurlah, malam ini kita bisa makan dengan cukup," katanya dalam hati, merasa lega meski hanya untuk sesaat. Semoga esok hari, Tuhan memberiku kekuatan yang sama untuk menghadapi hari baru.
Malam itu, setelah makan malam sederhana, Nina duduk di beranda rumah, merenungi perjalanan hidup yang penuh liku. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Itu Bapak Desa, Pak Johanes, yang dikenal dengan bijaksananya. "Selamat malam, Bu Nina," sapanya lembut.
"Selamat malam, Pak Johanes. Silakan duduk," jawab Nina, mempersilakan beliau duduk di bangku kayu yang sudah mulai lapuk.
"Bagaimana keadaan kalian, Bu Nina?" tanya Pak Johanes dengan sorot mata penuh perhatian.
"Puji Tuhan, Pak. Kami masih diberi kekuatan," jawabnya dengan senyum yang terpaksa.
Pak Johanes menghela napas panjang. "Saya dengar dari tetangga, kalian sedang kesulitan. Desa ini memang sedang dilanda masa sulit, tapi kita harus saling membantu."
"Terima kasih, Pak Johanes. Kami akan baik-baik saja," jawab Nina meski dalam hati ia tahu betapa beratnya situasi ini.
Esok harinya, ketika fajar mulai menyingsing, Nina kembali ke ladang kecil di belakang rumah. Saat sedang memeriksa tanaman singkong, tiba-tiba ia mendengar suara yang dikenal. Itu Narti, sahabat lamanya yang kini tinggal di desa sebelah. "Nina! Aku membawa sedikit sayuran dari kebunku. Semoga bisa membantu," katanya dengan senyum lebar.
"Terima kasih, Narti. Kamu selalu baik," jawab Nina sambil memeluknya erat. "Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tak bertemu."
Narti mengangguk. "Aku baik, Nina. Tapi aku tahu kau sedang berjuang keras. Kita harus saling membantu di masa sulit ini. Jangan ragu untuk datang ke rumah jika membutuhkan sesuatu."
Hari itu berlalu dengan cepat. Di puskesmas, Nina bertemu dengan Bu Sri, bidan desa yang selalu sigap membantu. "Nina, anak-anak sehat?" tanyanya sambil memberikan beberapa vitamin.