Pengalaman Pemetaan Partisipatif di Kalimantan Barat
Kalimantan Barat dengan luas 146.807 Km2, atau atau 7,53% dari luas Indonesia, merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia selain Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Provinsi ini terdiri dari 12 wilayah kabupaten dan 2 kota, yakni Kab. Ketapang, Kab. Kapuas Hulu, Kab. Sintang, Kab. Melawi, Kab. Sanggau, Kab. Sekadau, Kab. Pontianak (sekarang diganti menjadi Kab. Mempawah), Kab. Kubu Raya, Kab. Landak, Kab. Sambas, Kab. Bengkayang, Kab. Kayong Utara, Kota Pontianak dan Kota Singkawang.
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang dilewati oleh garis Khatulistiwa atau garis Equator dengan tipe hutan hujan tropis, yang menyimpan keanekaragaram hayati terkaya di dunia. Hutannya menyimpan berbagai jenis flora dan fauna. Selain itu, provinsi ini memiliki ribuan sungai dan danau yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat, baik sebagai sarana transportasi, sumber air minum utama, sumber irigasi pertanian dan penyedia berbagai protein makanan berupa berbagai jenis ikan. Sungai-sungai di Kalimantan Barat dikategorikan ke dalam 3 daerah aliran sungai atau DAS, yakni DAS Kapuas, DAS Sambas dan DAS Pawan.
Namun eksploitasi sumberdaya alam secara merusak (destruktif) di Kalimantan Barat yang sudah berlangsung sejak lama dan terus-menerus – berupa penebangan hutan untuk industri kayu, perkebunan monokultur, pertambangan dan proyek-proyek lainnya – telah mengakibatkan sumberdaya alam ini berada di ambang kepunahan. Kekeliruan kebijakan pemerintah dan kesalahan peta-peta yang ada telah menyebabkan timbulnya tumpang-tindih pengusahaan lahan.
Praktek seperti ini bukan hanya mengakibatkan masyarakat Kalimantan Barat – khususnya masyarakat adat Dayak – kehilangan mata pencaharian, melainkan juga berdampak pada rusaknya budaya, adat-istiadat dan jati diri mereka. Terjadilah krisis identitas dan moral, bersamaan dengan berkembangnya pola hidup konsumtif, hedonis dan individualis.
Berangkat dari keprihatinan atas terancamnya kelestarian lingkungan hidup sebagai “rumah bersama” dan sumber kehidupan masyarakat, terutama atas sumberdaya alam dan tata ruang tradisional, maka pada bulan Juli 1995, Pancur Kasih didukung oleh Institut Dayakalogi dan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) merintis kegiatan pemetaan partisipatif atau participatory mapping, atau sering juga disebut pemetaan tanah oleh komunitas atau community mapping.
Pancur Kasih adalah organisasi payung yang memfasilitasi berbagai kegiatan, antara lain pemberdayaan ekonomi kerakyatan seperti credit union atau CU, pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat, pemberdayaan sistem hutan kerakyatan, pendidikan kritis, penguatan sosial, dukungan kultural, dan penguatan sumberdaya hukum masyarakat.
Kegiatan pemetaan tanah adat atau community mapping secara khusus dikelola oleh program Pemberdayaan Pengelolaaan Sumber Daya Alam Kerakyatan, atau yang biasa dikenal dengan PPSDAK. Pemetaan ini hanyalah pintu masuk bagi kegiatan lainnya, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan SDA berbasis masyarakat. Dalam pemetaan, model-model pengelolaan sumberdaya alam yang dikembangkan masyarakat diperjelas dengan mencatat batas-batas antar kampung atau antar wilayah tertentu, serta didukung dengan pendokumentasian cerita-cerita rakyat yang relevan.
Pemetaan partisipatif adalah metode pemetaan tanah yang menempatkan warga masyarakat sebagai pelaku utama dalam proses pelaksanaan dan kebijakan yang diambil. Pemetaan partisipatif dilaksanakan dengan menggabungkan teknologi pemetaan modern berupa peta topografi, peta udara dan peta satelit dengan peta-peta mental tata ruang masyarakat.
Program Pemetaan partisipatif di Pancur Kasih ini telah mendapat dukungan dana dari The Ford Foundation sejak tahun 1995. Dukungan untuk Pancur Kasih juga datang dari: (1) USAID melalui Biodiversity Support Program (BSP) – Yayasan Kemala untuk program advokasi tata ruang masyarakat adat di Kabupaten Sanggau; dan (2) Program People Forest and Reef.
Program Dukungan The Ford Foundation (2007-2010)
Pada tahun 2007 s/d 2010, PPSDAK Pancur Kasih mendapat dukungan lagi dari The Ford Foundation USA untuk program “Peningkatan Kapasitas Masyarakat Adat di Kabupaten Landak, Bengkayang, Sekadau dan Kapuas Hulu (Kalimantan Barat) Menuju Pengakuan dan Penguatan Hak dan Sistem Pengelolaan”.
Selain memfasilitasi pemetaan partisipatif, program ini juga melakukan refleksi mengenai gerakan pemetaan partisipatif di Kalimantan Barat. Refleksi yang dilakukan mengingatkan kita untuk memahami kembali tujuan gerakan pemetaan partisipatif, yakni memperkuat gerakan kultural dan gerakan politik baik di kebijakan publik atau kekuasaan.
Sebagai sebuah gerakan kultural, tujuan pemetaan partisipatif adalah “masyarakat adat mampu merebut, mempertahankan, memulihkan dan “mengusahakan” (mengurus?) kawasan adat terutama tanah adat dan hutan adat”. Strategi yang ditawarkan untuk mencapai tujuan itu adalah:
- Pemetaan partisipatif sebagai alat pengorganisasian untuk melahirkan tindakan kolektif dalam mempertahankan tanah dan hutan adat;
- Pemetaan partisipatif sebagai alat perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi untuk memulihkan tanah adat dan hutan adat yang rusak;
- Pemetaan partisipatif sebagai alat perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dalam mengurus tanah adat dan hutan secara efektif sesuai dengan pengetahuan lokal, inovatif, adil dan lestari.
Sebagai sebuah gerakan politik, tujuan pemetaan partisipatif adalah penghormatan dan perlindungan terhadap kawasan adat/lokal dan dikuasainya ruang politik oleh rakyat. Strategi yang ditawarkan untuk mencapai tujuan itu adalah :
- Pemetaan partisipatif sebagai alat untuk membangun basis massa/konstituen politik;
- Pemetaan partisipatif sebagai media untuk membentuk penggerak/penggiat politik dari rakyat.
Sejak tahun 1995 hingga akhir Mei 2010, PPSDAK Pancur Kasih telah melakukan fasilitasi pemetaan partisipatif yang tersebar ke 9 Kabupaten; meliputi 37 Kecamatan; pada 106 Desa; terdiri dari 318 Kampung; dengan total luas 1.256.177,03 ha atau 8,6 % dari total luas wilayah Kalimantan Barat.
Bila dalam kurun waktu 15 tahun – sejak tahun 1995 hingga 2010 – PPSDAK Pancur Kasih mampu memetakan 8,6 % dari total luas Kalimantan Barat, berarti untuk memetakan seluruh Kalimantan Barat, PPSDAK Pancur Kasih masih memerlukan waktu lebih dari 100 tahun lagi.
Pengalaman selama 15 tahun menunjukkan bahwa program pemetaan partisipatif telah menampakkan peran yang bermanfaat dalam berbagai hal, antara lain: manajemen konflik yang terkait dengan tapal batas dan pengelolaan sumberdaya alam, identifikasi kebutuhan, fasilitasi kesepakatan kampung dan perencanaan ruang.
Dinamika yang terjadi selama ini ternyata telah memperkaya pengalaman para aktivis dan pegiat pemetaan partisipatif. Ada cerita sukses; ada juga cerita gagal. Tapi pengalaman ini akan menjadi sumber pembelajaran penting; agar kisah-kisah sukses dapat menjadi motivasi dan kegagalan tidak terulangi kembali. Dan yang pasti, pengalaman ini dapat menjadi referensi, atau bahkan rekomendasi untuk memajukan gerakan pemetaan partisipatif di masa yang akan datang.
Pada Juni 2010, PPSDAK Pancur Kasih menyelenggarakan 3 (tiga) kegiatan sekaligus di Hotel Kapuas Palace Pontianak, yakni kegiatan pengembangan dan pelatihan modul pengorganisasian masyarakat; refleksi dan konsolidasi internal; dan monitoring-evaluasi untuk program 3 (tiga) tahunan – sejak 2007 hingga 2010. Rangkaian kegiatan ini diberi judul : ”Konsolidasi Wilayah Pemetaan Partisipatif Menuju Kedaulatan Masyarakat Atas Pengelolaan Tata Ruang di Kalimantan Barat”.
Banyak catatan penting yang dihasilkan dari pertemuan tersebut. Peta sebagai alat pemberdayaan masyarakat adat ternyata masih menemui hambatan dan tantangan. Upaya mendorong proses penguatan kawasan masyarakat adat dengan peta ternyata belum efektif. Apa penyebabnya; mengapa bisa terjadi; dan apa yang harus dilakukan di masa yang akan datang agar kawasan masyarakat adat tetap terjaga dan ‘aman’ dari serbuan investasi skala besar? Itulah sejumlah pertanyaan yang harus dijawab dalam refleksi atas gerakan pemetaan partisipatif di Kalimantan Barat.
Dilihat dari sisi jumlah, kampung-kampung yang telah dipetakan di Kalimantan Barat cukup banyak. Yakni, sebanyak 318 kampung dengan luas 1.256.177,03 hektar, yang tersebar di106 desa, 37 kecamatan dan 9 kabupaten. Idealnya kampung-kampung tersebut ”berdaya” apabila berhadapan dengan pihak luar. Tapi kenyataannya justru sebaliknya, masyarakat tunduk dan patuh kepada keputusan pihak luar. Hal ini menunjukkan bahwa pemetaan partisipatif belum berhasil menjadi agenda para pengambil kebijakan. Demikian juga peta masih dianggap sebagai ancaman bagi ekspansi aktivitas para pemiliki modal. Perjalanan masyarakat adat menuju pengakuan pun masih panjang dan berliku.
Memiliki peta dan segala kesepakatan yang dihasilkan selama proses pemetaan, tidak serta merta memberikan jaminan bahwa tanah adat tidak akan diserahkan atau diserobot oleh para pemilik modal yang difasilitasi oleh negara karena perusahaan dan pemerintah selalu menggunakan segala cara untuk mengambil tanah-tanah dan SDA masyarakat adat.
Ada persoalan pokok yang mesti dituntaskan pada saat akan memulai proses pemetaan itu sendiri. Misalnya, benarkah seluruh masyarakat merasa memiliki kepentingan yang sama terhadap peta itu sendiri? Kerap kali para pendamping pemetaan partisipatif berasumsi bahwa komitmen masyarakat sama dengan yang mereka impikan. Ternyata takaran antara pendamping dan masyarakat berbeda.
Apa lagi kalau metodenya berbasis ”proyek”, dimana proses Pemetaan Partisipatif kemudian ditujukan untuk mengejar kuantitas, bukan kwalitas. Lalu, seberapa kuat kualitas peta mampu mendorong masyarakat agar berdaulat atas tata ruangnya sendiri.
Ternyata program pemberdayaan masyarakat belumlah dapat dikatakan selesai begitu proses pemetaan di kampung selesai. Anggapan bahwa begitu proses pemetaan di kampung selesai maka masyarakat akan mandiri adalah sesuatu yang kurang tepat. Di satu sisi, memang para pendamping pemetaan di kampung ingin membangun inisiatif lokal dan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap lembaga pendamping, dengan cara mengurangi pendampingan secara berkelanjutan. Namun pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendampingan secara berkelanjutan justru akan menguatkan masyarakat.
Pengalaman juga menunjukkan bahwa keberhasilan program pemetaan wilayah dalam jangka panjang sangat tergantung pada kesepakatan masyarakat sejak perencanaan awal pemetaan. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang melibatkan sebanyak-banyaknya pihak terkait dalam masyarakat.
Walau pengakuan pemerintah atas kawasan adat yang telah dipetakan masih belum jelas, namun telah banyak keberhasilan-keberhasilan “besar” yang didapatkan oleh masyarakat adat yang wilayah adatnya telah dipetakan menjadi roh gerakan pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat.
Peta juga telah menjadi sarana penyadaran dan penguatan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya. Dengan peta, masyarakat adat menyadari keberadaan hak-hak dan kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki. Peta telah membuka kesadaran, meneguhkan komitmen dan keberanian untuk berjuang.
Cerita lainnya, masyarakat adat telah mempertahankan wilayah adat dengan peta dengan “air mata”. Penolakan-penolakan masyarakat adat atas perkebunan kelapa sawit, penebangan hutan dan lain-lain terus mengalir walau tetap mendapatkan perlawanan yang luar biasa.
Ternyata sebuah peta baru mampu menjadi sarana pelestarian hak-hak masyarakat adat manakala warganya masih sangat kuat dalam menjalankan adat dan budaya mereka, serta memiliki pemimpin-pemimpin yang sepenuhnya berpihak kepada kepentingan masyarakat. Dari pengalaman selama ini, ternyata semua jabatan strategis di level kampung dan desa tidak bisa dibiarkan begitu saja diduduki oleh orang-orang yang tidak berpihak pada penguatan wilayah masyarakat adat.
Belajar dari pengalaman itu pula maka yang harus menjadi subyek utama dalam mempertahankan wilayah adat yang telah dipetakan adalah masyarakat adat yang memiliki wilayah tersebut. Tanpa adanya gerakan penuh dari masyarakat adat, maka wilayah adat tidak akan mungkin mampu terus dipertahakan dalam jangka panjang.
Untuk mampu mempertahankan wilayah adat juga ditentukan banyak faktor, antara lain faktor internal seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik kampung, dan juga tingkat kesadaran masyarakatnya; serta faktor eksternal seperti pengakuan dan penghormatan dari negara.
Isu perubahan iklim dan pemanasan global yang berkembang akhir-akhir ini juga telah memungkinkan masyarakat adat memiliki argumentasi yang semakin kuat untuk mempertahankan dan melestarikan hutan adat dengan menjadikan peta sebagai sarana melakukan advokasi. Namun yang tak kalah penting adalah masyarakat adat dan semua stakeholder pemetaan partisipatif harus terlibat dalam pembuatan kebijakan tata ruang kabupaten masing-masing agar tata ruang baru mengakomodasi kepentingan masyarakat adat.
Beberapa hal yang penting menjadi perhatian, baik sebelum, pada saat pemetaan maupun pasca pemetaan antara lain: pentingnya penanaman prinsip-prinsip “free prior informed consent” atau persetujuan terlebih dahulu tanpa paksaan pada saat diskusi awal proses pemetaan. Sadar bahwa hingga saat ini tanah-tanah masyarakat adat masih terus-menerus terancam oleh gerakan ekonomi kapitalis yang rakus sumberdaya alam, maka perlu menggerakkan ekonomi kerakyatan yang berbasis masyarakat lokal menjadi pelaku ekonomi. Oleh sebab itu, berbagai bentuk pemberdayaan masyarakat pasca pemetaan perlu terus dilakukan agar menghasilkan perubahan dan kedaulatan yang diinginkan.
Selain itu, terobosan-terobosan baru perlu dicari untuk memastikan ada pengakuan dan penghormatan baik dari internal masyarakat dan eksternal (pemerintah dan pemodal), serta selalu bersinergi atau belajar dari wilayah-wilayah lain yang berhasil dalam pemetaan.
Pendamping pemetaan dan terutama masyarakat adat harus memperkuat argumentasi “sah” atas peta yang sudah dibuat, agar mengantisipasi dampak yang tak terperhitungkan sebelumnya dari pemetaan. Misalntya, konflik-konflik batas yang muncul karena adanya kepentingan-kepentingan baru setelah pemetaan.
Akhirnya, melakukan “kerja” pemetaan partisipatif seperti ini tidaklah cukup dengan semangat dan keinginan yang menggebu, melainkan juga komitmen secara terus-menerus. Karena itu, apa yang sudah kita mulai ini, patut dijadikan harapan di masa mendatang. Kita patut juga memberikan perhatian dan rasa bangga kepada kita sendiri. Kalau pun orang lain tidak mengakui peta kita, maka kitalah yang mesti mengakuinya. Sebab, “memetakan wilayah adat kita adalah sebuah tindakan politik, karena itu kitalah yang pertama-tama harus mengatakan bahwa peta tersebut sah”. (Albertus Hadi Pramono – Ahli Geologi).
Mapping is not a Destination, Mapping is a Journey; Pemetaan bukanlah sebuah tujuan, pemetaan adalah sebuah perjalanan. ■ (Agustinus Tamen)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H