Dilihat dari sisi jumlah, kampung-kampung yang telah dipetakan di Kalimantan Barat cukup banyak. Yakni, sebanyak 318 kampung dengan luas 1.256.177,03 hektar, yang tersebar di106 desa, 37 kecamatan dan 9 kabupaten. Idealnya kampung-kampung tersebut ”berdaya” apabila berhadapan dengan pihak luar. Tapi kenyataannya justru sebaliknya, masyarakat tunduk dan patuh kepada keputusan pihak luar. Hal ini menunjukkan bahwa pemetaan partisipatif belum berhasil menjadi agenda para pengambil kebijakan. Demikian juga peta masih dianggap sebagai ancaman bagi ekspansi aktivitas para pemiliki modal. Perjalanan masyarakat adat menuju pengakuan pun masih panjang dan berliku.
Memiliki peta dan segala kesepakatan yang dihasilkan selama proses pemetaan, tidak serta merta memberikan jaminan bahwa tanah adat tidak akan diserahkan atau diserobot oleh para pemilik modal yang difasilitasi oleh negara karena perusahaan dan pemerintah selalu menggunakan segala cara untuk mengambil tanah-tanah dan SDA masyarakat adat.
Ada persoalan pokok yang mesti dituntaskan pada saat akan memulai proses pemetaan itu sendiri. Misalnya, benarkah seluruh masyarakat merasa memiliki kepentingan yang sama terhadap peta itu sendiri? Kerap kali para pendamping pemetaan partisipatif berasumsi bahwa komitmen masyarakat sama dengan yang mereka impikan. Ternyata takaran antara pendamping dan masyarakat berbeda.
Apa lagi kalau metodenya berbasis ”proyek”, dimana proses Pemetaan Partisipatif kemudian ditujukan untuk mengejar kuantitas, bukan kwalitas. Lalu, seberapa kuat kualitas peta mampu mendorong masyarakat agar berdaulat atas tata ruangnya sendiri.
Ternyata program pemberdayaan masyarakat belumlah dapat dikatakan selesai begitu proses pemetaan di kampung selesai. Anggapan bahwa begitu proses pemetaan di kampung selesai maka masyarakat akan mandiri adalah sesuatu yang kurang tepat. Di satu sisi, memang para pendamping pemetaan di kampung ingin membangun inisiatif lokal dan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap lembaga pendamping, dengan cara mengurangi pendampingan secara berkelanjutan. Namun pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendampingan secara berkelanjutan justru akan menguatkan masyarakat.
Pengalaman juga menunjukkan bahwa keberhasilan program pemetaan wilayah dalam jangka panjang sangat tergantung pada kesepakatan masyarakat sejak perencanaan awal pemetaan. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang melibatkan sebanyak-banyaknya pihak terkait dalam masyarakat.
Walau pengakuan pemerintah atas kawasan adat yang telah dipetakan masih belum jelas, namun telah banyak keberhasilan-keberhasilan “besar” yang didapatkan oleh masyarakat adat yang wilayah adatnya telah dipetakan menjadi roh gerakan pengakuan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat.
Peta juga telah menjadi sarana penyadaran dan penguatan hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya. Dengan peta, masyarakat adat menyadari keberadaan hak-hak dan kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki. Peta telah membuka kesadaran, meneguhkan komitmen dan keberanian untuk berjuang.
Cerita lainnya, masyarakat adat telah mempertahankan wilayah adat dengan peta dengan “air mata”. Penolakan-penolakan masyarakat adat atas perkebunan kelapa sawit, penebangan hutan dan lain-lain terus mengalir walau tetap mendapatkan perlawanan yang luar biasa.
Ternyata sebuah peta baru mampu menjadi sarana pelestarian hak-hak masyarakat adat manakala warganya masih sangat kuat dalam menjalankan adat dan budaya mereka, serta memiliki pemimpin-pemimpin yang sepenuhnya berpihak kepada kepentingan masyarakat. Dari pengalaman selama ini, ternyata semua jabatan strategis di level kampung dan desa tidak bisa dibiarkan begitu saja diduduki oleh orang-orang yang tidak berpihak pada penguatan wilayah masyarakat adat.
Belajar dari pengalaman itu pula maka yang harus menjadi subyek utama dalam mempertahankan wilayah adat yang telah dipetakan adalah masyarakat adat yang memiliki wilayah tersebut. Tanpa adanya gerakan penuh dari masyarakat adat, maka wilayah adat tidak akan mungkin mampu terus dipertahakan dalam jangka panjang.