Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Praktik Ageisme Itu Diskriminatif dan Tidak Berkeadilan Sosial

25 Agustus 2023   19:08 Diperbarui: 26 Agustus 2023   00:02 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melamar kerja (Sumber: kompas.com/Andreas Lukas Altobeli)

Saya punya pengalaman tidak mengenakkan sekaligus sangat mengesalkan terkait ageisme. Bikin nyengir pahit sebab diskriminatif dan tidak berkeadilan sosial.

Pengalaman tersebut terjadi dalam lingkup sosial kemasyarakatan (pergaulan di kampung), akses untuk mendapatkan job (as blogger-microinfluencer), serta kesempatan ikut kursus kepenulisan dan kegiatan tur edukatif yang diselenggarakan oleh sebuah instansi pemerintah.

Baik. Mari simak kisah detilnya sebagai berikut. Siapa tahu Anda juga bisa ikut terhura sekaligus terharu?

Tertolak Oleh Batasan Usia Maksimal

GAGAL MENDAFTAR JOB

Saya pernah terpingkal-pingkal secara maraton gara-gara menyimak obrolan di sebuah WAG. WAG itu beranggotakan para blogger. Yang kerap sekaligus sebagai microinfluencer.

Tatkala itu masih dalam situasi pandemi. Masih wajib pakai hestek #dirumahsaja, #bekerjadarirumah, #pakaimasker, dan lain-lain hestek yang sejenis.

Oleh karena itu, aktivitas daring di banyak lini kehidupan meningkat. Yang semula cuma kegiatan luring menjadi didaringkan. Yang semula memang daring, frekuensi daringnya makin sering.

Pendek kata, semua yang serba daring menyebabkan banyak orang kian intensif nongkrong di dunia maya. Terlebih para blogger dan microinfluencer. Golongan ini tentu kian giat memantau tawaran-tawaran campaign dari berbagai brand.

Faktanya memang betul-betul banyak tawaran job. Hanya saja, mayoritas mensyaratkan batasan usia. Yang terbanyak, maksimal berusia 35 tahun.

Nah, itu. Gara-gara syarat usia maksimal itulah saya terpingkal-pingkal secara maraton.

Tawa terpingkal-pingkal saya disebabkan 2 hal.

Pertama, saya menjadi tahu kalau ternyata bukanlah satu-satunya oknum berusia jelang lansia di WAG tersebut. Rupanya selama ini saya salah sangka. Ke-GR-an sebagai satu-satunya yang berusia di atas 35 tahun.

Kedua, saya geli dengan respons heboh para anggota WAG kalangan 35 plus, saat lagi dan lagi ada tawaran job menggiurkan, tetapi terjegal jumlah usia untuk mendaftar. Tentu saya sekaligus meratapi diri sendiri lho, ya. 'Kan senasib?

GAGAL BELAJAR MENULIS

Seingat saya, dua atau tiga kali saya batal ikutan kelas menulis gara-gara usia. Batalnya sebab tidak bisa mendaftar. Biasalah. Terjegal persyaratan usia maksimal.

Kecewakah saya? Pastilah. Kalau saya ingin ikut, itu berarti ada poin yang membuat saya tertarik. Yang tidak biasa ada di kelas penulisan pada umumnya.

Tambah kecewa sebab sederet syarat lainnya bisa saya penuhi semua. Kian berlipat ganda kecewanya karena penyelenggara acara merupakan bagian dari negara.

Sampai-sampai dengan baper berat saya bergumam, "Begini amat diskriminasi negara terhadap manula?"

Konon tak ada kata terlambat untuk memulai langkah jadi penulis. Konon lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Konon lebih baik mencoba tapi gagal daripada tak pernah mencoba sama sekali. Konon lansia disuruh berdaya.

Eh, kok malah ada pembatasan usia untuk mendaftar kelas menulis? Bukankah dengan pintar menulis bisa makin berdaya?

Entah ada korelasinya atau tidak, semua kelas menulis yang saya inginkan itu tidak berbayar. Justru ada benefit bagi peserta terpilih walaupun bukan berupa uang.

Jangan-jangan, negara memang pelit mengeluarkan anggaran untuk para senior citizen. Yang notabene dianggap sisa peradaban?! Duh, seram.

GAGAL IKUTAN TRIP SEJARAH

Pernah pula saya gagal mendaftar sebuah trip sejarah karena kelebihan syarat usia. Wah! Kegagalan yang ini jauh terasa lebih sakit daripada kegagalan untuk mendaftar kelas menulis tadi.

Rasanya tak habis pikir. Menurut saya, trip yang ditawarkan tidak berat bagi orang sehat di usia berapa pun.

Apa menurut orang-orang dinas itu, kaum separo baya sudah terlalu jompo untuk bersosialisasi dengan anak-anak muda? melakukan trip sejarah? Atau, dianggap bakalan merepotkan sebab tidak kuat menuntaskan seluruh rangkaian kegiatan?

Kalau memang itu alasannya, bukankah untuk pendaftaran bisa dilengkapi dengan syarat kesehatan? Ah, entahlah. Jangan-jangan ageisme sebenarnya tentang kepraktisan seleksi semata.

Lolos Job Sebab Dianggap Sudah Cukup Tua

Kalau pengalaman yang berikut ini menyenangkan. Merupakan sebentuk praktik ageisme yang membahagiakan orang-orang seusia saya. Berkebalikan dengan pengalaman-pengalaman yang telah tertulis di atas.

Begini ceritanya. Suatu ketika saya mendapatkan email mengenai adanya peluang ikutan campaign sebuah produk susu dewasa, dengan syarat usia minimal 40 tahun.

Alhamdulillah selain memenuhi persyaratan usia, saya lolos semua persyaratan lain yang diminta. Hingga akhirnya dimasukkan ke dalam WAG khusus demi memudahkan koordinasi.

Setelah 2 hari tergabung dalam WAG tersebut, admin mengeluarkan seseorang. Tak lama kemudian, sebuah nomor tak dikenal berkirim pesan WA kepada saya. Isinya menanyakan, saat mengisi tautan pendaftaran saya mengisi angka berapa di kolom usia?

Tanpa ba-bi-bu saya jawab, "Sesuai dengan usia saat ini, dong."'

Dibalasnya, "Ooo."

Kemudian obrolan terhenti begitu saja. Bikin penasaran. Saya pun bertanya-tanya dalam hati. Ini gimana sih, sudah dimasukkan WAG khusus kok baru dikonfirmasi soal usia?

Daripada penasaran, saya pun bertanya kepada admin WAG. Ternyata, oh, rupanya. Yang tadi menjapri saya bukan dari pihak brand.

Usut punya usut, yang menjapri saya justru orang yang dikeluarkan admin. Adapun alasan pengeluarannya, ketahuan kalau tidak memenuhi syarat usia minimal.

Dia mungkin berpikir bahwa saya seusia dengannya, tetapi kok tidak ditendang admin? Itulah sebabnya saya dijapri terlebih dulu untuk konfirmasi. Mungkin selanjutnya dia akan memprotes admin, kalau ternyata saya juga memalsukan usia.

Ada-ada saja. Di mana-mana orang gemar mengaku lebih muda daripada umur sebenarnya. Ini justru menuakan umur demi bisa lolos sebuah job.

Kiranya dia tergiur oleh besaran honor yang diberikan. Serius. Karena faktanya, jumlah honor yang diberikan memang mantap.

Saya pikir-pikir, apa karena usia para microinfluencer yang sangat matang? Sehingga honornya pun berbobot? Entahlah.

Dikira Kurang Tua Sehingga Tak Boleh Duduk Manis

Kalau dalam urusan lamar-melamar pekerjaan saya kerap kesal sebab dianggap terlalu tua, anggapan sebaliknya justru saya terima ketika berkegiatan di kampung (yakni tempat saya berdomisili sebelum domisili yang sekarang).

Anda tentu mafhum kalau di desa cenderung banyak kegiatan massal. Misalnya pengajian, kerja bakti, dan pertemuan warga. Meskipun tak semua warga hadir, tetap saja yang hadir terhitung banyak. Yang berarti butuh gelas dan piring banyak untuk wadah suguhan.

Nah. Mulai dari persiapan (yaitu membersihkan peralatan makan dan minum sebelum dipakai) hingga mencucinya setelah acara usai, serta beberes tikar dan ruangan, semua dilakukan beramai-ramai.

Bagus sekali memang semangat kebersamaannya. Acap kali untuk semua kegiatan, poin yang terpenting justru bukan isi kegiatannya melainkan guyup rukun ngumpul-ngumpulnya.

Ada aturan tak tertulis bahwa urusan beberes, bersih-bersih, dan aneka rupa pekerjaan fisik yang berat-berat dilakukan oleh kaum muda. Kalangan tua dan tetua kampung tidak kebagian jatah itu. Sebuah aturan yang proporsional 'kan?

Akan tetapi, betapa malang nasib saya akibat aturan tak tertulis itu. Secara usia mestinya kejatah duduk manis atau melakukan tugas yang ringan-ringan.

Hanya saja, hobi mengenakan kostum serba jeans mengakibatkan saya tidak boleh duduk manis. Malah diarahkan untuk mengoordinasikan kaum muda yang bertugas.

Sementara ada beberapa orang yang seusia dengan saya, tetapi sudah diizinkan duduk manis. Amat wajar kalau saya kemudian ngedumel 'kan?

Negara Harus Ikut Campur

Pada awal tulisan saya sebutkan bahwa ada instansi pemerintah yang juga membatasi keterlibatan warga negara usia 45 plus dalam kegiatannya. Sementara faktanya, kegiatan yang diselenggarakan bisa diikuti mereka yang 45 plus itu.

Jangan dikira semua manula (manusia lanjut usia) itu lemah lunglai, dong. Kalau soal lemah lunglai, orang-orang muda pun ada yang lemah lunglai akut. Apa orang-orang yang mulai menua dianggap sudah tak punya hasrat untuk belajar dan mengembangkan diri?

Kalau memang kegiatan yang telah dirancang tidak cocok untuk para warga negara senior, ayolah buat kegiatan yang juga cocok untuk diikuti mereka. Jangan buru-buru berpikir bahwa mereka tak lagi aktif dan produktif.

Mereka bukan beban negara. Jika diberi kesempatan, niscaya melalui hal-hal yang mereka miliki, mereka bisa berkontribusi bagi negara.

Ayolah, para aparatur negara. Tolong berkreasilah semaksimal mungkin untuk merancang acara-acara yang melibatkan semua warga negara dari semua kalangan umur.

Penutup

Begitulah adanya lika-liku ageisme yang pernah saya hadapi. Sampai-sampai saya sempat kehilangan jati diri sebab dirundung pertanyaan, "Sebetulnya saya ini masih cukup muda atau sudah sangat uzur?"

Sebagai pamungkas tulisan, saya ingin mengungkapkan sebuah opini terkait ageisme.

Begini, "Pembatasan usia sebagai syarat untuk mendaftar suatu keikutsertaan dalam kegiatan atau pekerjaan tertentu boleh-boleh saja. Bahkan untuk kegiatan atau profesi tertentu, wajib diberlakukan secara ketat.

Namun, alangkah bijaksana kalau hal itu disertai dispensasi bagi calon pendaftar yang usianya kurang sedikit/lebih sedikit dari batasan syarat, asalkan memiliki poin plus tertentu.

Poin plus tertentu itu misalnya memenuhi syarat kesehatan bla-bla-bla meskipun berusia di atas syarat yang ditentukan. Atau, memiliki pengalaman dahsyat bla-bla-bla meskipun berusia di bawah syarat yang ditentukan.

Intinya, pelanggaran terhadap batasan usia bisa dikompensasi dengan bobot lain yang relevan."

Demikian pengalaman dan sumbang saran saya terkait ageisme. Yang notabene merupakan diskriminasi usia. Lebih-lebih kalau sekadar batasan, tanpa ada alasan logis dan relevan. Cukup kurang ajar memang.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun