Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan!
Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan!
Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan!
Titik Nol Yogyakarta, 20 Mei 1998 ...
Tengah hari bolong dengan sinar matahari yang garang. Saya bersandar lembek di punggung seorang teman. Di samping sebuah ambulans yang parkir manis menunggu pasien.
Kepala dan wajah saya lindungi dengan jaket almamater. Akan tetapi, terik matahari tetap menembus tanpa ampun. Bikin kepala kian menggila cekot-cekotnya.
Kami menggelesot di trotoar sebelah timur Gedung BNI '46. Di area yang sekarang tenar sebagai Titik Nol Yogyakarta.
Di sekeliling kami massa menyemut. Sebagian berdiri, sebagian duduk. Semua kebagian percikan sinar sang mentari. Sesekali massa meneriakkan yel-yel penyemangat.
Tentu saya menyimak semua itu sembari meringis menahan sakit. Plus merasa kesal pada anak-anak PMI yang menjadi kru ambulans.
Saat itu saya merasa mereka sangat jahat. Gara-gara permohonan saya untuk menumpang ambulans sampai ke UGM mereka tolak. Sementara saya merasa tidak sanggup berjalan kaki untuk kembali ke UGM, nanti setelah acara bubaran.
Alasan mereka, saya masih kuat berdiri dan belum pingsan. Ambulans hanya untuk yang betul-betul tepar. Sebagai solusi, saya diberi pil obat pusing dan secangkir air minum untuk menelannya.
Namun masalahnya, saya tak bisa menelan pil. Tatkala itu kalau sakit dan harus minum obat berupa pil, pil wajib digerus terlebih dulu. Kemudian ditaruh di sendok dan dicampur sedikit teh hangat.
Lalu, sesendok obat gerusan tersebut disuapkan ke mulut saya. Yang menyuapkan harus orang lain. Bukan saya sendiri. Mengapa? Karena saya akan otomatis menyemburkannya kalau nekad menyuapkan sendiri. Hehehe ....
Apa boleh buat? Seribet itu memang. Plus berpotensi bikin orang lain emosi jiwa. Alhasil, saya menolak pilnya dan cuma mengambil air minumnya. Kemudian bersandar di punggung teman hingga orasi Sultan HB X usai.
"Demonstran kok lemah! Be strong! Ayo, sehat, sehat! Lawan sakit kepalamu itu demi tumbangnya Orde Baru!"
Saya cuma meringis mendengar kalimat penyemangat dari seseorang di sebelah saya. Entahlah dia siapa. Jika menilik kostumnya, kami sealmamater.
Perlu diketahui, sebelumnya saya beserta ribuan orang yang melakukan aksi damai pada Hari Kebangkitan Nasional itu, berjalan kaki dari Bunderan UGM. Tujuannya ke altar (alun alun utara). Â
Berhubung peserta aksi damai berlimpah ruah, tidak semua bisa memasuki kawasan altar. Termasuk saya dan rekan yang saya sandari itu.
Kami dari trotoar seputaran Titik Nol bahkan tidak bisa mendengar jelas suara Ngarsa Dalem membacakan Maklumat. Tidak bisa pula melihat situasi di Sitihinggil dan altar secara langsung. Melihatnya justru dari TV pada malam harinya.
Dukungan Penuh dari Masyarakat
Saat bubaran aksi damai pun tibalah. Semua beranjak pulang. Termasuk saya dan dua kawan. Sudah pasti tak ada transportasi. Satu-satunya cara adalah berjalan kaki.
Akan tetapi, ketika ada beberapa cowok berlari sambil membawa bendera merah putih, saya serombongan kesetrum ikut berlari. Ide bagus. Bukankah dengan berlari, perjalanan dapat makin cepat?
Bila capek berlari, jalan kaki. Bila merasa kembali kuat, berlari lagi. Pokoknya begitu terus tanpa  menggubris kepala yang konsisten cekot-cekot.
Di tengah perjalanan ada sekelompok warga setempat yang mencegat. Mereka memberikan beberapa kantong permen aneka rasa.
"Sebagai obat haus," kata salah seorang dari mereka. Tentu kami terima dengan gembira.
O, ya. Kami yang berlari juga sempat menumpang sebuah mobil pick up. Sayang sekali kami harus turun di Kotabaru. Yang berarti UGM masih lumayan jauh.
Sebagai pelipur lara, supaya sinar matahari tak terlalu terasa menyengat, kami sesekali meneriakkan yel-yel. Efeknya dahsyat. Kami tampak heroik tanpa kami sadari.
Iya. Tanpa kami sadari dan tanpa kami rencanakan. Karena kenyataannya, saya dan dua kawan kepikiran begitu setelah menerima sebungkus nasi rames dan seplastik teh hangat.
Aseli, kami bengong ketika tiba-tiba seorang ibu menghentikan kami dan membagikan makanan. Kata beliau, "Ini. Mohon diterima. Bisa untuk makan malam kalau kalian sudah makan siang. Terimalah. Tidak ada warung buka, lho."
Setelah agak jauh dari ibu baik hati itu, salah satu kawan berkata, "Eh, kita ini mungkin dipandang seperti tentara gerilya. Yang berjuang dengan bambu runcing. Begitu dihargai, dipuja-puja, padahal kita cuma demo."
Terusterang saya merasa bahwa diri saya kurang pantas dipuja-puja. Saya 'kan cuma ikut berdemonstrasi. Bukan kelompok pemikir yang sanggup menggerakkan massa. Bukan pula orator ulung.
Saya dan dua kawan saya hanyalah mahasiswa biasa. Kami hanya setia mengikuti komando untuk berdemonstrasi. Demi Indonesia yang lebih baik. Alhasil, kami malah syok menerima dukungan-dukungan sehangat itu dari masyarakat.
Malamnya saya sebagai anak kos amat bersyukur telah ikut aksi damai 20 Mei 1998. Andai kata rebahan di rumah saja, saya pasti puyeng cari makan. Seperti teman-teman sekos yang seharian di kosan.
Rupanya malam itu nyaris tak ada orang jualan makanan. Saya sempat mengantar tetangga kamar keluar cari makan. Cuma ketemu satu warung pecel lele dan satu warung sop kaki kambing. Akan tetapi, pas kami sampai pas habis.
Ujung-ujungnya teman saya bikin mi instan. Mau bagaimana lagi?
Paginya, 21 Mei 1998 ...
Saya menatap layar TV dengan serius. Antara percaya dan tidak percaya, menyaksikan lengsernya Presiden Soeharto.
Bukan sebab merasa perjuangan saya melalui demonstrasi-demonstrasi telah berhasil. Sama sekali bukan itu. Saya hanya syok karena menghadapi kenyataan, ternyata Presiden Indonesia bisa diganti juga toh? Ternyata begini toh, rasanya berganti presiden?
Demikianlah adanya. Gini-gini saya punya kaitan juga dengan proses lahirnya Orde Reformasi. Walaupun kaitannya sepele, minimal kehidupan pribadi saya ada yang terwarnai oleh kenangan bersejarah.
Iya. Seperempat abad silam, saya adalah salah seorang saksi lahirnya Orde Reformasi. Meskipun bukan aktivis sehingga tak layak disebut aktivis 98, saya lumayan aktif berdemonstrasi selama kurun waktu 1997-1998.
Ikut merasakan pedihnya gas air mata bila terkena mata. Ikut berlarian menghindari aparat manakala demonstrasi mulai anarkis.
Hmm. Kalau ada generasi Z alias GenZy yang mengatakan "Rindu Orde Baru", saya kok merasa nganu sekali. Terlebih kalau ditambahi narasi-narasi pujian kepada rezim Orde Baru.
Kok bisa rindu dan memuji setengah mati? Mereka 'kan tidak hidup di zaman itu?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H