"Sebagai obat haus," kata salah seorang dari mereka. Tentu kami terima dengan gembira.
O, ya. Kami yang berlari juga sempat menumpang sebuah mobil pick up. Sayang sekali kami harus turun di Kotabaru. Yang berarti UGM masih lumayan jauh.
Sebagai pelipur lara, supaya sinar matahari tak terlalu terasa menyengat, kami sesekali meneriakkan yel-yel. Efeknya dahsyat. Kami tampak heroik tanpa kami sadari.
Iya. Tanpa kami sadari dan tanpa kami rencanakan. Karena kenyataannya, saya dan dua kawan kepikiran begitu setelah menerima sebungkus nasi rames dan seplastik teh hangat.
Aseli, kami bengong ketika tiba-tiba seorang ibu menghentikan kami dan membagikan makanan. Kata beliau, "Ini. Mohon diterima. Bisa untuk makan malam kalau kalian sudah makan siang. Terimalah. Tidak ada warung buka, lho."
Setelah agak jauh dari ibu baik hati itu, salah satu kawan berkata, "Eh, kita ini mungkin dipandang seperti tentara gerilya. Yang berjuang dengan bambu runcing. Begitu dihargai, dipuja-puja, padahal kita cuma demo."
Terusterang saya merasa bahwa diri saya kurang pantas dipuja-puja. Saya 'kan cuma ikut berdemonstrasi. Bukan kelompok pemikir yang sanggup menggerakkan massa. Bukan pula orator ulung.
Saya dan dua kawan saya hanyalah mahasiswa biasa. Kami hanya setia mengikuti komando untuk berdemonstrasi. Demi Indonesia yang lebih baik. Alhasil, kami malah syok menerima dukungan-dukungan sehangat itu dari masyarakat.
Malamnya saya sebagai anak kos amat bersyukur telah ikut aksi damai 20 Mei 1998. Andai kata rebahan di rumah saja, saya pasti puyeng cari makan. Seperti teman-teman sekos yang seharian di kosan.
Rupanya malam itu nyaris tak ada orang jualan makanan. Saya sempat mengantar tetangga kamar keluar cari makan. Cuma ketemu satu warung pecel lele dan satu warung sop kaki kambing. Akan tetapi, pas kami sampai pas habis.
Ujung-ujungnya teman saya bikin mi instan. Mau bagaimana lagi?