Paginya, 21 Mei 1998 ...
Saya menatap layar TV dengan serius. Antara percaya dan tidak percaya, menyaksikan lengsernya Presiden Soeharto.
Bukan sebab merasa perjuangan saya melalui demonstrasi-demonstrasi telah berhasil. Sama sekali bukan itu. Saya hanya syok karena menghadapi kenyataan, ternyata Presiden Indonesia bisa diganti juga toh? Ternyata begini toh, rasanya berganti presiden?
Demikianlah adanya. Gini-gini saya punya kaitan juga dengan proses lahirnya Orde Reformasi. Walaupun kaitannya sepele, minimal kehidupan pribadi saya ada yang terwarnai oleh kenangan bersejarah.
Iya. Seperempat abad silam, saya adalah salah seorang saksi lahirnya Orde Reformasi. Meskipun bukan aktivis sehingga tak layak disebut aktivis 98, saya lumayan aktif berdemonstrasi selama kurun waktu 1997-1998.
Ikut merasakan pedihnya gas air mata bila terkena mata. Ikut berlarian menghindari aparat manakala demonstrasi mulai anarkis.
Hmm. Kalau ada generasi Z alias GenZy yang mengatakan "Rindu Orde Baru", saya kok merasa nganu sekali. Terlebih kalau ditambahi narasi-narasi pujian kepada rezim Orde Baru.
Kok bisa rindu dan memuji setengah mati? Mereka 'kan tidak hidup di zaman itu?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H