Apa boleh buat? Seribet itu memang. Plus berpotensi bikin orang lain emosi jiwa. Alhasil, saya menolak pilnya dan cuma mengambil air minumnya. Kemudian bersandar di punggung teman hingga orasi Sultan HB X usai.
"Demonstran kok lemah! Be strong! Ayo, sehat, sehat! Lawan sakit kepalamu itu demi tumbangnya Orde Baru!"
Saya cuma meringis mendengar kalimat penyemangat dari seseorang di sebelah saya. Entahlah dia siapa. Jika menilik kostumnya, kami sealmamater.
Perlu diketahui, sebelumnya saya beserta ribuan orang yang melakukan aksi damai pada Hari Kebangkitan Nasional itu, berjalan kaki dari Bunderan UGM. Tujuannya ke altar (alun alun utara). Â
Berhubung peserta aksi damai berlimpah ruah, tidak semua bisa memasuki kawasan altar. Termasuk saya dan rekan yang saya sandari itu.
Kami dari trotoar seputaran Titik Nol bahkan tidak bisa mendengar jelas suara Ngarsa Dalem membacakan Maklumat. Tidak bisa pula melihat situasi di Sitihinggil dan altar secara langsung. Melihatnya justru dari TV pada malam harinya.
Dukungan Penuh dari Masyarakat
Saat bubaran aksi damai pun tibalah. Semua beranjak pulang. Termasuk saya dan dua kawan. Sudah pasti tak ada transportasi. Satu-satunya cara adalah berjalan kaki.
Akan tetapi, ketika ada beberapa cowok berlari sambil membawa bendera merah putih, saya serombongan kesetrum ikut berlari. Ide bagus. Bukankah dengan berlari, perjalanan dapat makin cepat?
Bila capek berlari, jalan kaki. Bila merasa kembali kuat, berlari lagi. Pokoknya begitu terus tanpa  menggubris kepala yang konsisten cekot-cekot.
Di tengah perjalanan ada sekelompok warga setempat yang mencegat. Mereka memberikan beberapa kantong permen aneka rasa.