"PULPEN!"
Teriak laki-laki berkacamata itu. Dari ruang dalam terdengar sahutan istrinya. Dalam hitungan detik, sang istri pun muncul ke hadapan kami. Setelah menyerahkan pulpen kepada sang suami, dia menuju salah satu kursi di dekat kami. Hendak duduk.
PLETAK!
Belum juga duduknya sempurna, sang suami membanting pulpen ke lantai. Saya terhenyak. Seketika diliputi perasaan tidak nyaman.
"CARI PULPEN SAJA TIDAK BECUS!"
"Kenapa, Bang, pulpennya?"
"MACET!"
"Oh. Saya carikan lainnya."
Perempuan manis itu kembali berdiri dan segera memungut pulpen yang dibanting suaminya. Kemudian dia bergegas ke ruang dalam. Nada bicaranya stabil. Wajahnya biasa saja. Tidak menunjukkan ekspresi syok. Tidak pula menyiratkan perasaan malu sebab diperlakukan buruk di depan tamu.
Justru saya yang merasa tidak nyaman. Terpaksa menyaksikan adegan tersebut. Huft! Dimarahi di depan umum itu tidak enak, apalagi oleh suami. Terlebih untuk sebuah kesalahan kecil.
Tunggu, tunggu. Kesalahan kecil? Benarkah itu sebuah kesalahan? Jika sang istri lalai tidak mencoba pulpen terlebih dulu sebelum diserahkan, bolehlah disebut kesalahan kecil.
Lalu bagaimana halnya jika saat dicek istri, tinta pulpen lancar-lancar saja? Baru macet setelah dipakai sang suami. Kondisi begitu 'kan di luar kendali sang istri? Apa iya, patut disebut kesalahan?
Di depan saya saja sang suami tak segan-segan bersikap kasar begitu. Sementara posisi saya hanyalah seorang kenalan. Anak kami bersekolah di TK yang sama.
Kedatangan saya pun bukan merupakan kunjungan persahabatan, melainkan urusan kerjaan. Sang suami hendak order nota penjualan buat toko pakaian mereka. Pulpen yang dimintanya tadi untuk menggambarkan desainnya.
***
"Terima kasih telah ditengok. Malah merepotkan jadinya."
"Iya, sama-sama. Enggak repot. Sama sekali enggak merepotkan. Saya malah ikut berbahagia karena ...."
Obrolan kami terpotong manakala terdengar suara keras dari dalam. Rupanya itu suara sang suami. Yang entah sedang mencari barang apa. Saya tak mendengar jelas perkataannya, tetapi perempuan kalem di depan saya memberinya jawaban.
Kemudian terdengar lagi suara keras itu. Sang istri pun menjawab lagi. Suara di dalam terdengar kian meninggi nadanya.
"Maaf. Sebentar, ya. Saya ke dalam dulu. Itu bapaknya bingung cari seragam. Masuk siang hari ini," kata perempuan kalem di depan saya.
"O, iya. Iya. Enggak apa-apa. Silakan." Saya menanggapi sembari memberikan seulas senyum. Tepatnya senyum masygul. Â
"Harus pelan-pelan. Masih sakit jahitannya."
Saya terhenyak. Baru menyadari kalau sejak tadi lawan bicara saya itu memang kesulitan bangkit dari duduk.
"KOK LAMA BANGET!?? KEBURU TELAT."
Ya, Tuhan. Tiba-tiba suara menggelegar itu terdengar sangat dekat.
"Sabar, Pak. Ini mau berdiri kesusahan, jadi harus pelan-pelan."
Saya hanya dapat menatap nanar punggung keduanya. Terutama tatapan saya tertuju pada sang istri yang berjalan lambat-lambat di belakang suaminya. Baru dua hari lalu dia melahirkan secara normal.
Saya membatin, "Manja amat. Kenapa tidak berusaha mencarinya sendiri, sih? Minimal sampai sang istri pulih total kondisi tubuhnya."
***
"Mbak. Ingat Mbak X yang tinggal di perumahan situ?" Tanya tetangga depan rumah ketika saya belanja di kiosnya.
"Iya, iya. Yang dulu mengundang kita untuk pengajian tujuh bulanan 'kan?"
"Benar."
"Eh? Mestinya sekarang sudah melahirkan, ya?" Saya bertanya kepo.
"Nah. Itu yang mau kuceritakan. Kasihan, lho."
Saya mengerenyitkan alis. "Apa bayinya meninggal?" Tanya saya kepo.
"Eh, bukan. Bukan. Hidup, kok. Sehat. Perempuan," sahut tetangga saya panik. Sambil nyengir dia melanjutkan, "Gini. Lahirannya 'kan dua hari sebelum Lebaran."
"Lalu?"
"Masak pas malam takbiran sudah diajak mudik?"
"Heh? Pulang ke Jakarta? Apa enggak capek? Sakit? 'Kan duduk lama? Lalu, bayinya gimana? Dibaringkan di kursi mobil? Apa membawa perawat?"
"Ya cuma berempat itu. Mas Y yang nyetir mobil. Mbak X di sampingnya sambil memangku si bayi merah. Kakaknya yang balita duduk sendiri di belakang."
"Kenapa mudiknya tidak nanti kalau sudah sebulanan? Keluarga besarnya pasti 'kan memahami kalau enggak pulang," komentar saya.
"Jangan-jangan malah keluarganya yang nyuruh. Mereka ingin lihat bayi baru. Hehehe ...."
"Duh, Budhe. Kalau betulan begitu, suami Mbak X mestinya bisa menolak dong."
"Kata Mbak X, malah suaminya yang memaksa mudik. Mbak X sudah menolak. Minta ditunda dulu. Malah dijawab 'ya sudah kalau enggak mau ketemu mamaku, berarti enggak usah jadi menantunya lagi'. Begitu, Mbak."
Saya tertegun. Mendadak batal iri pada kehidupan Mbak X yang senantiasa berlimpah materi.
***
Kisah-kisah di atas bukan fiksi. Semua adalah fakta. Bukan cuplikan cerita dari sebuah novel. Sedikit dari banyak kenyataan yang pernah saya jumpai, dalam kurun waktu sekian tahun belakangan.
Sengaja saya hanya menceritakan yang KDRT psikis. Bukan yang fisik. Kalau yang fisik 'kan jelas. Siapa pun dapat menyaksikannya, lalu bisa memaklumi kalau pihak yang menjadi korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sampai memutuskan hubungan, bahkan sampai lapor ke pihak berwajib.
Sementara untuk KDRT psikis acap kali luput dari perhatian kita, padahal justru lebih mematikan. Tidak terlihat oleh orang lain, tetapi bagi korbannya terasa sangat menyiksa.
 Itulah sebabnya kita sering terkejut ketika ada pasangan suami istri tiba-tiba bercerai, padahal sebelumnya tidak pernah tampak cekcok. Mungkin mula-mula kita menduga salah satu dari mereka selingkuh. Namun, bertahun-tahun kemudian keduanya ternyata tetap memilih sendiri.
Kita bahkan mungkin melihat keduanya tetap akur walaupun tak pernah pergi/tampil berdua. Tidak pula saling menjelekkan.
Kita bertanya-tanya, "Apa yang salah? Kalau tetap berhubungan baik, mengapa dijadikan mantan? Kalau mantan, mengapa masih dibaik-baiki?"
Kemudian dengan seenaknya, kita yang tak tahu-menahu dengan pasti penyebab perceraian mereka memberikan nasihat tak masuk akal, "Sudah. Rujuk lagi saja."
Hmm. Sebaiknya hentikan upaya campur tahun seperti itu. Kalau masing-masing telah bahagia dengan kehidupannya setelah berpisah, mengapa mesti direcoki?
Mari pikirkan masak-masak. Siapa tahu mereka tidak cocok sebagai pasangan sebab yang satu merasa terintimidasi oleh yang lainnya? Atau, yang satu selalu sakit hati oleh perkataan yang lainnya?
Harus diakui bahwa terkadang ada pasangan yang cocoknya hanya sebagai sahabat. Hubungan mereka mengerikan dalam ikatan suami istri. Sama sekali tak bisa jika disuruh say no to KDRT. Sebaliknya, hubungan mereka dapat sangat manis dan harmonis manakala sebagai sahabat.
Idealnya sih, suami istri sekaligus bisa saling menjadi sahabat terdekat dan terbaik. Akan tetapi, itu idealnya. Kalau kenyataannya 'kan bisa beda?
Apa boleh buat? Mengingat terlalu banyak hubungan personal yang diwarnai KDRT psikis, sampai-sampai saya pesimis. Jangan-jangan memang tak ada hubungan personal tanpa KDRT sama sekali?
Hari ini, tanggal 14 Februari 2023, disambut banyak orang sebagai Hari Kasih Sayang. Valentine Day. Entah merupakan perayaan Valentine Day yang keberapa tahun.
Pasangan-pasangan yang saya ceritakan di atas dahulunya mungkin selalu merayakannya juga. Kalau benar begitu, sungguh patut disayangkan.
Mengapa hubungan manis yang pernah ada bisa terkikis? Memang belum sampai terkikis habis kalau masih sanggup bertahan untuk bersama. Namun, dampaknya pasti buruk. Antara lain ya timbulnya perilaku KDRT.
Sebagaimana halnya hidup, kondisi perasaan juga dinamis. Perasaan cinta kepada pasangan bisa saja rontok oleh waktu. Penyebabnya bermacam-macam, baik yang berasal dari diri kita maupun diri pasangan kita.
Mungkin kita lelah karena merasa telah banyak berkorban demi keutuhan hubungan, sedangkan pasangan kita tampak tidak tahu diri. Sebaliknya, pasangan kita juga merasakan hal yang sama.
Kalau faktanya seperti itu, berarti problemanya adalah kurang komunikasi. Sayang sekali perkara kurang komunikasi ini sering kali tidak disadari. Akibatnya, tidak kunjung diatasi walaupun telah berlarut-larut. Ujungnya ya KDRT, baik KDRT psikis maupun KDRT fisik.
Kalau dari tiga kisah di atas, sangat mungkin KDRT psikis tersebut terjadi gara-gara pihak laki-laki merasa superior. Merasa bahwa istrinya bakalan tidak berdaya secara ekonomi tanpa dirinya sebagai suami.
Perlu diketahui, semua perempuan yang saya ceritakan adalah ibu rumah tangga tulen walaupun ketiganya berpendidikan tinggi. Yang satu (dengan kesadaran sendiri) memilih fokus untuk mengurusi keluarga. Yang dua karena disuruh suami masing-masing.
Nah! Senyampang Februari, yang pada umumnya diingat dan disambut sebagai Bulan Kasih Sayang, saya tuliskan ini sebagai pengingat. Semoga bermanfaat.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H