Lalu bagaimana halnya jika saat dicek istri, tinta pulpen lancar-lancar saja? Baru macet setelah dipakai sang suami. Kondisi begitu 'kan di luar kendali sang istri? Apa iya, patut disebut kesalahan?
Di depan saya saja sang suami tak segan-segan bersikap kasar begitu. Sementara posisi saya hanyalah seorang kenalan. Anak kami bersekolah di TK yang sama.
Kedatangan saya pun bukan merupakan kunjungan persahabatan, melainkan urusan kerjaan. Sang suami hendak order nota penjualan buat toko pakaian mereka. Pulpen yang dimintanya tadi untuk menggambarkan desainnya.
***
"Terima kasih telah ditengok. Malah merepotkan jadinya."
"Iya, sama-sama. Enggak repot. Sama sekali enggak merepotkan. Saya malah ikut berbahagia karena ...."
Obrolan kami terpotong manakala terdengar suara keras dari dalam. Rupanya itu suara sang suami. Yang entah sedang mencari barang apa. Saya tak mendengar jelas perkataannya, tetapi perempuan kalem di depan saya memberinya jawaban.
Kemudian terdengar lagi suara keras itu. Sang istri pun menjawab lagi. Suara di dalam terdengar kian meninggi nadanya.
"Maaf. Sebentar, ya. Saya ke dalam dulu. Itu bapaknya bingung cari seragam. Masuk siang hari ini," kata perempuan kalem di depan saya.
"O, iya. Iya. Enggak apa-apa. Silakan." Saya menanggapi sembari memberikan seulas senyum. Tepatnya senyum masygul. Â
"Harus pelan-pelan. Masih sakit jahitannya."