"Nah. Itu yang mau kuceritakan. Kasihan, lho."
Saya mengerenyitkan alis. "Apa bayinya meninggal?" Tanya saya kepo.
"Eh, bukan. Bukan. Hidup, kok. Sehat. Perempuan," sahut tetangga saya panik. Sambil nyengir dia melanjutkan, "Gini. Lahirannya 'kan dua hari sebelum Lebaran."
"Lalu?"
"Masak pas malam takbiran sudah diajak mudik?"
"Heh? Pulang ke Jakarta? Apa enggak capek? Sakit? 'Kan duduk lama? Lalu, bayinya gimana? Dibaringkan di kursi mobil? Apa membawa perawat?"
"Ya cuma berempat itu. Mas Y yang nyetir mobil. Mbak X di sampingnya sambil memangku si bayi merah. Kakaknya yang balita duduk sendiri di belakang."
"Kenapa mudiknya tidak nanti kalau sudah sebulanan? Keluarga besarnya pasti 'kan memahami kalau enggak pulang," komentar saya.
"Jangan-jangan malah keluarganya yang nyuruh. Mereka ingin lihat bayi baru. Hehehe ...."
"Duh, Budhe. Kalau betulan begitu, suami Mbak X mestinya bisa menolak dong."
"Kata Mbak X, malah suaminya yang memaksa mudik. Mbak X sudah menolak. Minta ditunda dulu. Malah dijawab 'ya sudah kalau enggak mau ketemu mamaku, berarti enggak usah jadi menantunya lagi'. Begitu, Mbak."