Yang tak terduga-duga, si bapak berkumis tiba-tiba melempar celetukan ke arah kami. "Heh! Kalian pasti ngomongin saya. Kok jajaaan teruuus. Iya toh? Begitu toh?"
Sudah pasti kami terperanjat mendengar celetukan itu. Seketika didera rasa takut dan malu gara-gara ketahuan ngerumpiin orang dan orang yang bersangkutan ternyata langsung komplain.
Untunglah si bapak berkumis tidak marah. Ia kemudian menjelaskan alasannya jajan terus. Katanya, "Bapak ingin sedikit berbagi dengan sedikit melarisi dagangan para penjual itu. Tiap dua minggu sekali bapak pulang kampung dengan kereta ini. Jadi, cukup hafal dengan sebagian mereka."
Wow! Sungguh inspiratif dan patut ditiru.
Sudah pasti si bapak berkumis, yang ternyata satu almamater (tapi beda fakultas) dengan kami, Â lalu bertanya-tanya kepo. Ya kami jawablah dengan blak-blakan, bahwa kami sedang dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, selepas ikut tes seleksi kerjaan.
Ealah. Malah diledek. Diledeknya dalam rangka guyonan, sih. Ngeselin, tapi tidak menyinggung perasaan. Pokoknya bukan jenis ledekan yang jahat.
Namun, si bapak telah membangkitkan jiwa asli kami yang kampiun plesetan ala Yogyakarta plus piawai bersilat lidah. Kami balas dengan penuh semangat, dong.
Siapa takut? Empat lawan satu. Kami berempat dan ia sendirian. Hingga tanpa sadar, volume suara kami makin lama makin cetar membahana.
Dampaknya? Orang segerbong menengok ke arah kami. Semula hanya yang duduk di sekitar kami yang antusias menyimak. Lama-kelamaan kok yang duduk di jauh-jauh sana bela-belain berdiri untuk bisa melihat wujud kami.
Mereka tidak marah-marah. Justru ikut cekikikan menyimak perdebatan ngawur kami berlima. Sesekali malah ada yang ikut nimbrung bikin celetukan lucu.
Pendek kata, suasana gerbong beranjak menghangat penuh kekeluargaan. Perjalanan pun tidak lagi terasa monoton. Sungguh mengesankan!