Meskipun suka sekali naik kereta api, saya bukanlah pengguna setianya. Biasalah. Hidup 'kan memang begitu. Kita suka apa, sering dapatnya malah apa.
Dalam konteks ini, saya yang suka kereta api malah lebih kerap bepergian ke tempat-tempat yang tak dilewati kereta api. Karena ketiadaan rute, untuk mudik pun saya tak bisa mempergunakan moda transportasi favorit itu.
Akan tetapi, pengalaman saya menaikinya dapat dikategorikan komplet. Istilahnya, bisa dikatakan cukup mewakili dinamika dunia perkeretaapian Indonesia. Widih! Gayanyaaa. Hehehe....
Namun itu fakta, ya. Saya 'kan tergolong sebagai generasi perbatasan, yang menjadi saksi perubahan wajah KAI, dari kurang menyenangkan menjadi menyenangkan sekali seperti sekarang.
Romantika Berdesakan Tiada Tara
Sudah pasti saya pernah merasakan naik kereta api dalam situasi desak-desakan tak karuan. Walaupun de jure punya tiket dan duduk di kursi, tetap saja kurang nyaman sebab para penumpang yang berdiri demikian berjubel.
Sampai-sampai hendak bersandar maksimal ke kursi sendiri pun susah. Plus sungkan karena orang yang berdiri di samping saya ternyata menggelendot manja pada sebagian sandaran kursi itu. Anda bayangkanlah sendiri bagaimana posenya dan pose saya.
Saya juga pernah berdiri berimpitan sejak dari Klaten hingga Purwokerto. Kebetulan posisi saya persis di tengah-tengah lorong. Jadi, tidak bisa berpegangan kursi penumpang.
Anda perlu tahu betapa sengsaranya saya yang mungil ini berada di posisi tersebut. Kalau orang lain bisa berpegangan atap gerbong, saya mana bisa? Alhasil, punggung mas-mas sebelah terpaksa menjadi "korban". Tentu setelahnya terpaksa saling sapa, dong.
Sampai di Stasiun Purwokerto sebagian penumpang turun. Suasana gerbong menjadi agak lega. Namun, saya tak berhasil mendapatkan kursi kosong warisan penumpang yang turun.
Kabar baiknya saya tidak lagi berdiri berimpitan. Nasib kedua kaki ini setingkat lebih baik. Dari berdiri menjadi duduk di lantai kereta hingga tiba di Jakarta. Pastilah beralaskan koran bekas yang telah saya persiapkan dari rumah.
Jangan lupa. Sebelum Pak Jonan beraksi, penumpang kereta api Indonesia memang dituntut sigap dan pantang menyerah di segala cuaca. Plus tangguh dan penuh inisiatif membawa properti demi kenyamanan diri.
Bapak Berkumis dan Waria Pengamen
Di antara sekian banyak perjalanan dengan kereta api Indonesia, terkhusus yang jarak jauh, ada satu perjalanan yang paling berkesan. Yup! Itulah perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta bersama 3 teman kuliah, setelah kami sama-sama mengikuti tes jadi peneliti di Pusat Bahasa.
Selain kini menjadi kenangan yang ternyata susah sekali diulang, perjalanan kami saat itu menjadi tak terlupakan karena kehirukpikukannya. Yang membuat kami menjadi pusat perhatian orang segerbong!
Semula perjalanan berjalan biasa saja. Kebetulan kereta api tak penuh-penuh amat. Memang ada beberapa orang yang berdiri, tetapi mereka berdiri dengan nyaman terkendali.
Sementara yang duduk ada yang terkantuk-kantuk. Ada yang melamun, sesekali membaca koran, atau tak henti-henti mengobrol dengan penumpang lain di sebelahnya.
Jangan lupa. Tahun 2000-an HP belum merajalela seperti sekarang. Itulah sebabnya, para penumpang tidak ada yang internetan untuk mengisi waktu selama perjalanan.
Adapun kami berempat, walaupun saling kenal dan duduk saling berhadapan, tak banyak cakap. Mungkin tatkala itu imajinasi kami yang lebih banyak bermain. Plus tentunya, kami sibuk mengamati apa saja yang bisa diamati.
Hingga pada satu kesempatan teman yang duduk di sebelah mencolek saya, "Sttt, sttt. Bapak itu apa-apa dibeli, ya? Orang menawarkan makanan apa saja selalu dibelinya."
Saya mengiyakan sembari tersenyum-senyum. Dari tempat saya duduk, aktivitas si bapak di kursi sebelah memang tampak jelas. Rupanya kedua teman yang lain juga mengamati.
Yang tak terduga-duga, si bapak berkumis tiba-tiba melempar celetukan ke arah kami. "Heh! Kalian pasti ngomongin saya. Kok jajaaan teruuus. Iya toh? Begitu toh?"
Sudah pasti kami terperanjat mendengar celetukan itu. Seketika didera rasa takut dan malu gara-gara ketahuan ngerumpiin orang dan orang yang bersangkutan ternyata langsung komplain.
Untunglah si bapak berkumis tidak marah. Ia kemudian menjelaskan alasannya jajan terus. Katanya, "Bapak ingin sedikit berbagi dengan sedikit melarisi dagangan para penjual itu. Tiap dua minggu sekali bapak pulang kampung dengan kereta ini. Jadi, cukup hafal dengan sebagian mereka."
Wow! Sungguh inspiratif dan patut ditiru.
Sudah pasti si bapak berkumis, yang ternyata satu almamater (tapi beda fakultas) dengan kami, Â lalu bertanya-tanya kepo. Ya kami jawablah dengan blak-blakan, bahwa kami sedang dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, selepas ikut tes seleksi kerjaan.
Ealah. Malah diledek. Diledeknya dalam rangka guyonan, sih. Ngeselin, tapi tidak menyinggung perasaan. Pokoknya bukan jenis ledekan yang jahat.
Namun, si bapak telah membangkitkan jiwa asli kami yang kampiun plesetan ala Yogyakarta plus piawai bersilat lidah. Kami balas dengan penuh semangat, dong.
Siapa takut? Empat lawan satu. Kami berempat dan ia sendirian. Hingga tanpa sadar, volume suara kami makin lama makin cetar membahana.
Dampaknya? Orang segerbong menengok ke arah kami. Semula hanya yang duduk di sekitar kami yang antusias menyimak. Lama-kelamaan kok yang duduk di jauh-jauh sana bela-belain berdiri untuk bisa melihat wujud kami.
Mereka tidak marah-marah. Justru ikut cekikikan menyimak perdebatan ngawur kami berlima. Sesekali malah ada yang ikut nimbrung bikin celetukan lucu.
Pendek kata, suasana gerbong beranjak menghangat penuh kekeluargaan. Perjalanan pun tidak lagi terasa monoton. Sungguh mengesankan!
Kian seru dan rusuh saat seorang waria pengamen muncul. Saya sempat melihat ia bengong sejenak karena begitu masuk gerbong kami, semua orang tampak mengobrol akrab sambil tertawa-tawa meriah.
Yang tentu saja semua makin tertawa-tawa setelah si waria pengamen mulai beraksi. Orang-orang 'kan kaget karena tiba-tiba ada yang menyanyi dengan suara sengau manjalita.
Untunglah walaupun sembari cengengesan, banyak yang memberikan uang receh. Termasuk si bapak berkumis di kursi sebelah.
Nah. Saat si bapak memberikan uang itu terjadi hal kocak. Maksudnya mungkin tidak mau mengganggu si waria pengamen yang tengah asyik memetik senar kotak kayunya sambil bernyanyi. Jadi, uang bukan diulurkan ke tangan si waria melainkan langsung hendak dimasukkan ke tas kecil yang tergantung di lehernya.
Namun, apes. Sampai diulang beberapa kali tidak kunjung bisa. Mungkin karena lubang bukaan tas terlalu sempit. Masih pula ketambahan guncangan kereta api dan goyangan badan si waria.
Saya dan teman-teman beserta orang-orang yang duduk di dekat si bapak berkumis pun tertawa geli melihatnya. Automatis tawa tersebut meledak ketika si waria pengamen berkata keras-keras, "Aduh, Om. Di sini lho, lubangnya. Masak dari tadi enggak bisa-bisa, sih?"
Sudah pasti gaya dan cara bicaranya kecentilan. Plus jahil kemayu mengoda-goda si bapak berkumis. Membuat yang bersangkutan mati kutu.
Atraksi gokil itu berakhir di Stasiun Purwokerto. Seiring dengan turunnya si waria pengamen di situ. Tak lupa ia berpamitan secara formal, lengkap dengan melambai-lambaikan tangan segala. O la la! Tampaknya ia mulai merasa ada ikatan batin dengan kami.
Beberapa stasiun setelah Stasiun Purwokerto, si bapak berkumis turun. Saya lupa nama stasiunnya. Yang jelas sebuah stasiun kecil. Dari situ ia bilang harus naik bus lagi untuk sampai ke rumahnya.
Alhasil, makin ke timur makin banyak yang turun. Sebagian isi gerbong sudah berganti. Perjalanan pun kembali normal. Kehirukpikukan selesai, tetapi kesannya tak pernah terhapus dari ingatan saya. Hingga sekarang.
Prameks, KRL Jogja-Solo, Solo Ekspres
Yang saya sampaikan di atas merupakan pengalaman naik kereta api jarak jauh kelas bisnis dan kelas ekonomi. Ada yang dari Jakarta ke Yogyakarta, Yogyakarta ke Jakarta, dan Klaten ke Jakarta.
Namun, sebenarnya yang paling sering saya naiki adalah kereta api jarak pendek jurusan Jogja-Solo. Ya, tak salah lagi. Itulah Prameks (Prambanan Ekspres). Yang sekarang eksistensinya telah terhenti.
Sama halnya dengan kereta api jarak jauh, kondisi Prameks dahulu juga kurang tertib. Saya kerap berdiri sejak dari Yogyakarta hingga Solo maupun sebaliknya. Duduk lesehan di lantai juga sering.
Berhubung jarak kedua kota tak jauh, cukup satu jam perjalanan, berdiri atau lesehan di lantai kereta api tidaklah menjadi soal. Namun, syukurlah. Pada akhirnya ada pembenahan sistem kereta api. Termasuk Prameks.
Akan tetapi, belum lama saya menikmati Prameks wajah baru malah kemudian ada KRL penggantinya. Oalah nasib. Apa boleh buat?
Prameks pun secara resmi menjadi kenangan masa lalu ketika Presiden Jokowi meresmikan KRL (Kereta Rel Listrik) Jogja-Solo pada Senin, tanggal 1 Maret 2021 lalu.
Sungguh saya tak menyangka. Perjalanan malam dengan Prameks dari Stasiun Purwosari Solo ke Stasiun Tugu Yogyakarta, pada malam Imlek 2020, ternyata menjadi ajang perpisahan saya dengan Prameks.
Ngomong-ngomong, karena belum pernah mencoba naik KRL Jogja-Solo, saya belum tahu karakteristik penumpangnya. Apakah sama dengan para penumpang KRL Jakarta yang dahulu pernah saya jumpai? Yang serba terburu-buru dan sat set?
Atau sami mawon alias sama saja dengan saat mereka menjadi penumpang Prameks? Harapan saya sih, yang terakhir itu.
O, ya. Ada satu lagi kereta api jarak dekat yang saya rasakan nyaman sekali. Jurusan Yogyakarta-Solo. Sama halnya dengan Prameks. Namun, harga tiketnya jauh lebih mahal. Beberapa kali lipat daripada harga tiket Prameks.
Nah. Kereta api yang dimaksudkan adalah Solo Ekspres. Si hijau itu. Yang konon merupakan kereta bandara.
***
Demikian rangkaian gerbong kenangan saya selama menjadi penumpang kereta api Indonesia dalam berbagai variannya. Manis, tetapi ada kocak-kocaknya juga. Bagaimana dengan pengalaman Anda?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H