Sebenarnya sih, tidak. Sejauh si kompor listrik tidak mengalami kecelakaan fatal, niscaya bisa awet. Apesnya, kompor-kompor saya adalah korban kecelakaan fatal.
Mujur tak dapat dikejar, malang tak dapat ditolak. Pada tahun pertama mempergunakan kompor listrik, trial and error cukup kerap terjadi. Saya belum terbiasa. Ibaratnya masih gegar budaya.
Maunya saya tentu sekadar trial, tidak usah pakai error. Eh? Malah error itulah yang sering muncul tanpa saya dahului dengan trial apa pun.
Misalnya selepas menumpangkan sepanci air, kemudian saya tinggal bermain-main dengan si kecil. Automatis lupa deh, kalau sedang memasak air. Rasanya belum lama, kok sudah terdengar desisan brutal air mendidih yang luber ke badan kompor.
Duh! Konsepnya 'kan tidak boleh tumpah-tumpah begitu? Terlebih kalau  tumpahnya banyak dan sampai membasahi tungku tiada tara.
Sekali, dua kali. Mungkin tak begitu jadi soal. Masih tabah kompornya. Akan tetapi, lama-kelamaan pasti jadi persoalan juga.
O, ya. Di awal-awal mempergunakan kompor listrik, kadangkala saya juga lalai untuk memastikan tingkat kekeringan panci atau teflon yang hendak saya pakai untuk memasak. Hal demikian kerap terjadi manakala peranti masak baru selesai dicuci, sesaat sebelum dipergunakan.
Kompor listrik memang tidak bakalan seketika rusak gara-gara hal itu. Namun, minimal telah bikin overthinking. Menimbulkan perasaan ngeri gara-gara suara berisik dari pertemuan tungku yang mulai panas dengan sisa air di badan panci atau teflon.
Itu membuat khawatir. Jangan-jangan kompor dan aliran listrik di rumah menjadi kenapa-kenapa 'kan?
Lagi pula, yang seketika terancam "rusak" malah orangnya. Maksudnya, kita dapat kesentrum kalau tak sengaja menyentuh peranti masak basah yang sedang nangkring di kompor listrik itu.
Beberapa kali saya pernah kesetrum begitu. Untunglah bukan jenis kesetrum yang berakibat fatal seperti yang dialami seorang kenalan. Ia sampai terpental, lho. Penyebabnya, ia lupa memegang wajan basah yang sedang nangkring di tungku kompor listrik.