Andai kata Kompasiana tidak menjadikan kabar perihal Program Kompor Listrik sebagai topik pilihan, kemungkinan besar saya tidak tersadarkan kalau sudah hampir 10 tahun mempergunakan kompor listrik.
Alangkah cepat waktu melaju. Tahu-tahu sudah satu dekade saja saya move on dari kompor minyak tanah.
Lalu setelah saya ingat-ingat, selama 10 tahun itu sudah tiga kompor listrik yang saya "konsumsi". Adapun yang sekarang saya pakai merupakan kompor listrik ketiga.Â
Nah. Sebagai pengguna kompor listrik, ada beberapa pengalaman yang rasanya perlu saya bagikan di sini. Siapa tahu bisa sedikit mengurai keresahan Anda sekalian terkait adanya Program Kompor Listrik?
Syukur-syukur ada pemangku kebijakan yang ikutan baca tulisan ini. Jadi, curhatan saya terkait kompor listrik bisa dijadikan bahan evaluasi dan masukan dari akar rumput masyarakat.
Alasan Memakai Kompor Listrik
Mengapa saya memutuskan untuk memakai kompor listrik? Sejak kapan? Apa gara-gara dahulu tidak mendapatkan jatah bantuan kompor gas dan tabung melon?
Seperti yang tersampaikan sebelumnya, kurang lebih saya telah 10 tahun mempergunakan kompor listrik. Waktu persisnya lupa. Kemungkinan antara tahun 2012-2013. Ketika minyak tanah sudah betul-betul sulit saya akses.
Sebetulnya saat pemerintah membagikan kompor gas beserta tabung melonnya, saya kebagian jatah. Akan tetapi, tatkala itu saya tidak siap mental untuk beralih ke kompor gas.
Mungkin karena sama sekali tidak punya pengalaman dengan kompor gas. Ketika diajari cara mempergunakannya, saya memang langsung paham. Hanya saja hati ini ragu-ragu. Merasa tidak mampu memasang tabung baru secara baik dan benar, bila gas habis.
Sementara berencana selalu mengandalkan bantuan orang lain, siapa pun itu, rasanya konyol. Kan orang lain tidak selamanya ada di sekeliling kita saat gas habis. Â
Semua itu masih ditambahi kondisi dapur yang teramat sempit, yang saya yakini tidak kondusif untuk kompor gas. Terlebih kalau malam tiba, sepeda motor kami juga disimpan di dapur. Saya takut terjadi ledakan.
Mungkin sikap saya berlebihan dan tidak masuk akal. Namun, yang jelas hati ini belum sreg untuk melakukan konversi dari kompor minyak tanah ke kompor gas. Belum bisa merasa nyaman dan aman dengan kompor gas.
Alhasil, saya tetap lanjut dengan kompor minyak tanah. Saya berani memutuskan begitu karena warung kelontong dekat rumah masih menjual minyak tanah dengan harga wajar.
Apakah berarti saya menelantarkan tabung melon dan kompor gas bantuan pemerintah? Syukurlah tidak. Karena beberapa waktu kemudian, keduanya saya berikan kepada kakak ipar yang amat membutuhkan, tetapi justru tidak kebagian jatah. Klop 'kan?
Tahun demi tahun pun berjalan. Hingga lama-kelamaan minyak tanah makin susah saya akses.Â
Qodarullah ketika bertandang ke rumah seorang tetangga jauh untuk suatu urusan, saya melihatnya memasak dengan kompor listrik.
Ia bilang sedang kehabisan gas dan sudah telanjur meracik bahan masakan. Jadi, terpaksa mengeluarkan kompor listriknya dari lemari penyimpanan.
Jodoh memang tak ke mana. Saya tertarik pada pandangan pertama. Kemudian bertanya-tanya detil terkait keamanan serta besaran watt dan rupiah yang mesti dikeluarkan, bila mempergunakan kompor listrik.
Pada saat itu pun saya menjadi paham bahwa ternyata, kompor listrik yang dimilikinya tak perlu perkakas dapur khusus. Asalkan bagian bawahnya datar dan tidak dibuat dari bahan yang anti panas-anti api, insyaallah aman.
Singkat cerita, saya kemudian membeli kompor listrik yang model dan merknya sama persis dengan milik tetangga. Dengan pertimbangan, kalau ada apa-apa saya gampang mengonsultasikannya dengan tetangga tersebut. Saya main aman, dong.
Pastikan Masyarakat Merasa Aman dan Nyaman Dulu
Kiranya apa yang saya rasakan dahulu, terkait konversi kompor minyak tanah ke kompor gas, sama dengan yang sekarang dirasakan orang-orang terkait Program Kompor Listrik.
Semacam cemas enggak jelas. Sudah duluan overthinking karena memang belum mengenal betul seluk-beluk kompor listrik.
Jadi saya pikir, pemerintah mesti MENGONDISIKAN masyarakat terlebih dulu sebelum melaksanakan Program Kompor Listrik. Harus ada SOSIALISASI yang massif sehingga khalayak paham seluk-beluk pemakaian kompor listrik. Supaya siap mental.
Jika setelah paham ada yang tetap menolak, janganlah dipaksa. Apa pun alasannya, baik terdengar sepele maupun tidak.
Lagi pula, bisa jadi penolakan itu tersebab kondisi. Sebagaimana yang terjadi dengan saya, tatkala dahulu bersikeras menolak kompor gas, yang salah satunya karena dapur amat sempit.
Bisa jadi mereka yang berkeberatan dengan Program Kompor Listrik, ternyata kalau memasak di luar ruangan sehingga jauh dari colokan listrik. Alasan mereka tak bisa serta-merta didebat, "Kan tinggal pindah ke dalam? Tinggal menggeser tempat memasak agar dekat akses listrik?"
Ow! Tidak sesimpel itu solusinya. Bagi sebagian orang, acap kali urusan menggeser barang sama dengan mengubah letak seluruh barang di rumah. Yang tentunya makan waktu dan tenaga, bahkan sampai mengurangi tingkat kenyamanan dan keamanan. Bikin kesal 'kan?
Itu baru sebagian masalah teknis. Belum sampai ke pembahasan masalah daya listrik dan hal-hal terkait lain.
Mengapa Habis 3 Kompor Listrik dalam 10 Tahun?
Dalam kurun waktu dua masa jabatan Presiden RI, sebanyak 3 kompor listrik sukses saya "konsumsi". Bagaimana bisa seboros itu? Apakah kompor listrik rentan rusak?
Sebenarnya sih, tidak. Sejauh si kompor listrik tidak mengalami kecelakaan fatal, niscaya bisa awet. Apesnya, kompor-kompor saya adalah korban kecelakaan fatal.
Mujur tak dapat dikejar, malang tak dapat ditolak. Pada tahun pertama mempergunakan kompor listrik, trial and error cukup kerap terjadi. Saya belum terbiasa. Ibaratnya masih gegar budaya.
Maunya saya tentu sekadar trial, tidak usah pakai error. Eh? Malah error itulah yang sering muncul tanpa saya dahului dengan trial apa pun.
Misalnya selepas menumpangkan sepanci air, kemudian saya tinggal bermain-main dengan si kecil. Automatis lupa deh, kalau sedang memasak air. Rasanya belum lama, kok sudah terdengar desisan brutal air mendidih yang luber ke badan kompor.
Duh! Konsepnya 'kan tidak boleh tumpah-tumpah begitu? Terlebih kalau  tumpahnya banyak dan sampai membasahi tungku tiada tara.
Sekali, dua kali. Mungkin tak begitu jadi soal. Masih tabah kompornya. Akan tetapi, lama-kelamaan pasti jadi persoalan juga.
O, ya. Di awal-awal mempergunakan kompor listrik, kadangkala saya juga lalai untuk memastikan tingkat kekeringan panci atau teflon yang hendak saya pakai untuk memasak. Hal demikian kerap terjadi manakala peranti masak baru selesai dicuci, sesaat sebelum dipergunakan.
Kompor listrik memang tidak bakalan seketika rusak gara-gara hal itu. Namun, minimal telah bikin overthinking. Menimbulkan perasaan ngeri gara-gara suara berisik dari pertemuan tungku yang mulai panas dengan sisa air di badan panci atau teflon.
Itu membuat khawatir. Jangan-jangan kompor dan aliran listrik di rumah menjadi kenapa-kenapa 'kan?
Lagi pula, yang seketika terancam "rusak" malah orangnya. Maksudnya, kita dapat kesentrum kalau tak sengaja menyentuh peranti masak basah yang sedang nangkring di kompor listrik itu.
Beberapa kali saya pernah kesetrum begitu. Untunglah bukan jenis kesetrum yang berakibat fatal seperti yang dialami seorang kenalan. Ia sampai terpental, lho. Penyebabnya, ia lupa memegang wajan basah yang sedang nangkring di tungku kompor listrik.
Apa boleh buat? Namanya juga lupa. Lupa itu berarti tak ingat.
Puncak lupa saya semasa awal mempergunakan kompor listrik adalah saat buru-buru mencabut stop kontak, begitu selesai memutar tombol off. Ketika itu saya buru-buru mau pergi. Lupa kalau sudah janjian dengan teman.
Biasanya setelah mematikan kompor, saya tunggu beberapa menit dulu. Kalau aliran panasnya sudah betul-betul berhenti, baru saya cabut stop kontaknya. Berhubung buru-buru, ya langsung saya cabut seusai memutar tombol off.
Yeah? Tampaknya kompor listrik saya kaget sekali dengan perlakuan tersebut. Macam terkena serangan jantung mendadak. Langsung tak bisa dinyalakan lagi. Tamatlah riwayat kompor listrik pertama saya. Usia pengabdiannya tak sampai 2 tahun.
Baiklah. Itung-itung itulah harga sebuah pembiasaan, harga trial and error yang mesti saya bayar, untuk berkenalan lebih akrab dengan si kompor listrik.
Pada akhirnya saya merasa nyaman dan klik dengan kompor listrik. Buktinya, saya langsung membeli yang baru ketika yang lama rusak. Kalau tidak langsung beli saya tak bisa masak air untuk bikin kopi, dong.
Saya pikir yang kedua ini bakalan awet sekali. Ternyata  oh, rupanya ... Tahun 2021 lalu si kompor listrik mendadak mandi air hujan sepuas-puasnya.
Kali ini bukan saya yang ceroboh, melainkan dua tukang yang memperbaiki atap rumah tetangga sebelah. Dengan langkah mantap ala-ala TNI, mereka tak sengaja menginjak talang yang berada di atap rumah saya.
Menginjaknya sampai pecah dan atas takdir-Nya, lima menit kemudian turun hujan deraaaas hingga senja. Automatis mandi-mandilah segenap isi rumah saya. Termasuk si kompor listrik.
Sampai di sini jelas, ya. Dalam satu dekade saya "mengonsumsi" 3 kompor listrik karena kecelakaan fatal akibat faktor kecerobohan manusia. Semoga yang ketiga ini bertahan selama-lamanya. Muehehe ....
Pesan moralnya begini, nih. Kalau memberikan paket bantuan kompor listrik, Â pemerintah hendaknya memperhatikan juga keamanan rumah si penerima dari terpaan air hujan maupun banjir luapan sungai.
Kalau lokasi dan keadaan calon penerima paket bantuan kompor listrik tidak kondusif, sebaiknya ya jangan dipaksakan. Yang bertugas mendistribusikan semoga bijaksana. Tidak asal membagi-bagikan, kemudian laporan ke atasan.
Apa guna pemberian bantuan, jika ternyata malah jadi beban?
Informasikan "Do" dan "Don't"-nya Secara Jelas
Berkaca pada pengalaman pribadi, saya berkesimpulan bahwa sosialisasi terkait keamanan cara memasak dengan kompor listrik wajib dipergencar, jika hendak melanjutkan (tak terhenti pada uji coba belaka) Program Kompor Listrik. Â
Memang sih, tak semua orang seceroboh saya. Akan tetapi, tak tertutup kemungkinan pula kalau lebih banyak yang lebih ceroboh ketimbang saya. Iya 'kan? Ini kenyataan, lho. Bukan pembelaan atas diri sendiri.
Menurut saya, faktor pemahaman dan pembiasaan adalah harga mati. Jangan sampai pemerintah lalai menginformasikan perihal "do" dan "don't" dalam penggunaan kompor listrik.
Jika hendak melakukan konversi dari kompor gas ke kompor listrik, jangan pula main ganti dan selesai urusan. Tidak bisa begitu.
Persiapkan semua secara matang. Maksimalkan sosialisasi kepada masyarakat. Optimalkan upaya untuk membiasakan mereka dengan karakteristik kompor listrik.
Intinya, tak perlulah sampai terjadi hal buruk sebagai biaya adaptasi penggunaan kompor listrik. Yang namanya teknologi itu 'kan mestinya untuk memudahkan kehidupan manusia. Bukan untuk mencelakai.
PLN Harus Konsekuen
Jika Program Kompor Listrik sekarang diuji cobakan, lalu betul-betul menjadi program nasional yang berlaku di seluruh pelosok negeri, PLN harus konsekuen. Tak boleh hobi byar pet lagi.
'Kan gawat kalau memasak disuruh pakai kompor listrik, eee malah listriknya padam seharian. Bagi rumah tangga biasa tak jadi soal. Namun, bagaimana halnya dengan si empunya warung? Si penjual gorengan? Si pembuat kue? Dan lain-lainnya itu?
Padam seharian satu hari saja bakalan kacau balau. Terlebih kalau tiap hari byar pet-byar pet tak karuan. Pasti bikin emosi masyarakat.
Duhai, PLN? Siap tidak byar pet lagi di wilayah Indonesia yang mana pun? Siap tidak siap harus siap banget lho, ya.
Akan tetapi, demi ketenangan batin (sekaligus berjaga-jaga kalau-kalau PLN lalai untuk konsekuen), saya memohon pemerintah tidak serta-merta meraibkan kompor gas tabung melon 3 kg itu.
Untuk apa? Untuk tandeman kalau ada pemadaman listrik, dong. Terutama tandeman itu dibutuhkan oleh para pemilik usaha kuliner.
Bukannya tidak percaya kepada pemerintah a.k.a. PLN. Ini justru sebuah upaya untuk mengingatkan.
Tidak Makin Boros? Beli Kompornya Tidak Mahal?
"Tidak malah makin boros? Tagihan listrikmu naik berapa persen setelah memakai kompor listrik?"
Dua pertanyaan itulah yang paling banyak saya terima dari orang-orang, setelah mereka tahu bahwa saya pengguna rutin kompor listrik.
Bagaimana, ya? Kalau soal makin boros, rasanya tidak. Meskipun tidak mencatat secara detil dan akurat, saya berani memastikan bahwa penggunaan kompor listrik tidak bikin pengeluaran membengkak.
Ketika dahulu memakai listrik pasca bayar, tak ada kenaikan tarif secara drastis. Demikian pula setelah beralih ke listrik prabayar. Saya masih konsisten beli token seratus ribu per bulannya.
Apakah saya memakai listrik hanya untuk penerangan dan memasak? Tidak, dong. Selain kompor listrik yang saya operasikan rata-rata dua kali sehari, masih ada kulkas, pompa air, radio tape recorder, komputer, dan setrika.
Percayalah. Kompor listrik bukanlah biang kerok membengkaknya tagihan PLN. Boros atau tidaknya tagihan itu tergantung pada diri kita masing-masing. Mampu berhemat atau tidak?
O, ya. Sejak awal saya setia mempergunakan satu merk kompor listrik. Bahkan ketiga kompor listrik yang pernah saya beli, warnanya selalu merah. Tampaknya sang produsen tidak punya warna lain  deh.
Yang menakjubkan, harganya relatif stabil. Kompor listrik pertama dan kedua seharga Rp150.000,00 dan yang ketiga Rp160.000,00. Keren bukan? Dalam kurun 10 tahun cuma naik Rp10.000,00.
Semoga tarif PLN, yang bakalan menjadi "sahabat" bagi Program Kompor Listrik, meneladani kestabilan harga kompor tersebut. Semoga.
***
Demikian pengalaman saya memakai kompor listrik selama kurang lebih satu dekade. Ada sukanya, ada dukanya. Semoga bisa berfaedah sebagai penguat mental dalam menyongsong Program Kompor Listrik.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H