Mohon tunggu...
Agus Suwanto
Agus Suwanto Mohon Tunggu... Insinyur - Engineer

Pekerja proyek yang hanya ingin menulis di waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adakah Kehendak Bebas Manusia? Atau Hanya Ilusi?

16 September 2018   07:49 Diperbarui: 16 September 2018   10:36 2063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: indoskeptics.wordpress.com

Keberadaan Tuhan alam semesta sudah lama dipertanyakan dan diragukan oleh sebagian orang. Memang, hingga saat ini mayoritas penduduk bumi masih percaya adanya Tuhan yang mencipta dan mengatur alam semesta ini. Namun, seiring dengn kemajuan science and technology, fungsi dan peran Tuhan juga mulai tidak dianggap ada oleh sebagian orang.

Fakta menunjukan bahwa di beberapa negara sekular dan demokratis, pertumbuhan paham atheisme lebih besar dibanding pertumbuhan theisme. Artinya, semakin besar prosentase pertumbuhan orang yang menganggap bahwa Tuhan tidak ada.

Lalu, bagaimana dengan free will atau kehedak bebas manusia? Hingga saat ini umat manusia masih percaya bahwa kehendak bebas itu ada. Bahkan manusia menempatkannya sebagai sesuatu yang unik dan suci yang pantas untuk dijaga dan dihormati.

Kehendak Bebas yang Melekat kepada Manusia

Secara sederhana, dikatakan bahwa kehendak bebas atau free will adalah kemampuan manusia untuk memilih di antara berbagai rencana tindakan yang berbeda menurut kehendaknya sendiri. Hal ini terkait dengan konsep tanggung jawab manusia sebagai individu tentunya.

Jadi, manusia dengan kehendak bebasnya bisa memilih untuk percaya Tuhan dengan mengikuti FirmanNya, atau menolaknya dan mengabaikan FirmanNya.

Di negara sekular yang demokratis ada istilah 'suara rakyat adalah suara Tuhan'. Ini menandakan bahwa kehendak bebas individu sangatlah dihargai dan dijunjung tinggi sebagai penentu arah kebijakan bernegara.

Di bidang marketing ada pepatah 'Pembeli adalah Raja'. Ini tentunya mengacu ke kehendak bebas manusia sebagai customer. Sebagus apapun produk yang dibuat dengan melibatkan para ahli, namun bila tidak laku terjual maka produk tersebut akan dikatakan sebagai produk yang gagal. Dan yang bisa melakukan itu adalah para calon pembeli yang dengan kehendak bebasnya memilih untuk tidak membelinya.

Memang, masih ada sebagaian masyrakat yang tidak bisa menjalankan kehendak bebasnya akibat pengekangan oleh sistem pemerintahan diktaktor atau teokrasi yang kuat. Tidak ada kehendak bebas yang bisa dinikmati oleh individu untuk urusan-urusan tertentu, terutama yang berhubungan politik kekuasaan.

Namun begitu, semua orang sepakat bahwa kehendak bebas itu ada pada diri manusia. Setiap individu manusia memiliki kehendak bebas yang sangat unik, spesial dan suci. Dia yang dengan bebas tanpa tekanan, dikeluarkan untuk berekspresi mewakili dirinya.

Manusia bukan Mahluk Individual, Melainkan Dividual.

Akan tetapi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, keberadaan kehendak bebas atau free will mulai dipertanyakan. Apakah setiap individu manusia memang mempunyai kehendak bebas masing-masing yang unik dan spesial?

Sebelum masuk bahasan tentang kehendak bebas, sebaiknya kita uji dahulu mengenai manusia yang katanya individu tersebut. Apakah manusia benar-benar mahluk individu? Kata tersebut dari bahasa inggris, yaitu individual, yang arti harafiahnya adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi. Saya, sebagai "in-dividual" adalah pribadi dua bagian dalam satu kesatuan.

Ini bisa dikatakan bahwa manusia adalah mahluk dividual dalam dirinya yang satu. Sebab, faktanya otak manusia yang merupakan bagian sangat penting dan pusat kehendak bebas, vterdiri dari dua bagian, yaitu bagian kiri dan kanan. Otak bagian kanan mengontrol otot tubuh bagian kiri, sebaliknya yang kiri mengontrol bagian kanan. Itulah mengapa bila seseorang mengalami serangan stroke dibagian kanan otaknya, maka anggota tuguh baian kiri akan mengalami gangguan motorik.

Begitu juga dengan emosi dan daya pikir manusia. Terjadi perbedaan derajat kemampuan di antara kedua bagian otak tersebut. Belahan otak kiri, kuat dalam kemampuan berbicara dan berlogika secara bagus dan teratur. Sementara itu, belahan otak bagian kanan bertanggung jawab atas kemampuan spasial; meliputi pengenalan wajah dan pengolahan musik.

Selain itu, suara dalam hati saat kita berpikir untuk memutuskan sesuatu sesuai dengan kehendak bebas, juga tidak berupa satu suara. Selalu muncul dua suara yang bertentangan sebelum kita memutuskan mendengar dan mengikuti salah satunya.

Jadi, pada dasarnya manusia bukan mahluk ansih satu individu, namun mahluk dividual yang selalu bertentangan dalam satu pribadi, satu tubuh dan satu jiwa.

Manusia, Mahluk Algoritma Biologis.

Fakta science menunjukan bahwa setiap proses yang terjadi pada kehendak bebas manusia, sejatinya hanyalah proses electrochemical dalam otak. Proses ini terjadi karena adanya pemicunya, dan kemudian menghasilkan output tertentu atau output acak, atau kombinasi keduanya. Namun proses ini tidak terjadi secara bebas. Tidak ada kehendak bebas yang mendasarinya.

Memang benar, bahwa manusia bertindak sesuai dengan keinginannya. Jika kehendak bebas atau free will diartikan kemampuan untuk bertindak sesuai keinginannya, maka benar, manusia mempunyai free will. Sama seperti monyet, anjing, burung dan binatang lainnya.

Namun, pertanyaannya sesungguhnya bukan pada manusia, monyet atau burung dapat bertindak sesuai keinginan dari dalam dirinya, akan tetapi apakah manusia atau binatang tersebut mampu mempunyai pilihan keinginan di saat awal. Mengapa seekor monyet memilih makan pisang dari pada kacang yang keduanya tersedia? Mengapa seseorang memukul teman yang mengejeknya dan bukannya pergi menjauh darinya?

Mengapa para 'cebong' masih suka dan setia sekali dengan Jokowi dan benci Prabowo? Dan mengapa para 'kampret' begitu benci kepada Jokowi, dan memilih Prabowo? 

Sejatinya mereka, cebong dan kampret tidak memilih keinginan-keinginan tersebut. Setiap orang hanya merasakan keinginan tertentu yang mengalir dalam dirinya tanpa bisa di tolaknya. Hal ini disebabkan keinginan yang tercipta datang dari proses biokimia dan electrochemical dalam otak. Proses dalam otak tersebut bisa bersifat deterministik atau acak, namun yang jelas bukan proses kehendak bebas.

Oleh karena itu, manusia dalam beraktifitas selalu melalui proses tahapan-tahapan tertentu sebelum memutuskan tindakan tertentu. Proses tersebut bisa pendek dan hanya butuh waktu singkat, atau panjang yang butuh waktu cukup lama. Proses tahapan tersebut dinamakan 'algoritma', yaitu sebuah susunan langkah-langkah logis dan sistematis untuk memecahkan suatu masalah atau untuk mencapai tujuan tertentu.

Algoritma sendiri bukan suatu perhitungan, tapi suatu metode yang harus diikuti untuk menyelesaikan perhitungan tersebut. Misal, perhitungan untuk menghasilkan nilai rata-rata dari dua buah angka, maka algoritmanya akan mengtakan, "Langkah pertama: Jumlahkan kedua angka. Langkah kedua: Bagi dua jumlah angka tersebut".

Seseorang mendekati mesin minuman otomatis, kemudian memencet tombul "kopi cappuccino". Selanjutnya mesih beraksi dengan langkah-langkah tertentu yang berurutan. Keluar secara otomatis sebuah gelas, selanjutnya terdengar suara gilasan kopi digiling, dan sesaat kemudian tercampur dengan air panas keluar dan tertuang ke dalam gelas dengan jumlah yang pas. Selanjutnya susu dan bubuk cappuccino juga tertuang ke dalam gelas secara pas juga. Jadilah kopi cappuccino. Ini adalah 'algoritma'.

Sementara itu, orang yang mendekat dan memencet tombol 'kopi cappuccino' pada mesin minuman tersebut, dan kemudian meminumnya, adalah juga sebuah 'algoritma'. Algoritma biologis.

Jadi bisa dikatakan bahwa manusia identik dengan algoritma, yang terdiri dari miliaran sel tunggal yang juga berperilaku berdasar algoritma. Bahwa berpikir, sensasi dan emosi adalah semata-mata sebuah algoritma proses biokimia.

Algotima Biologis versus Algoritma Kecerdasan Buatan.

Pada era digital saat ini, algoritma menjadi dasar utama bagi perkembangan kecerdasan buatan. Teknologi berbasis algoritma bahkan sudah mampu melampaui kemampuan manusia sendiri. Banyak hal yang semula ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, telah diserahkan ke produk Artificial Intellegence untuk mengambil alih.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi banyak memberi manfaat dan meringankan pekerjaan manusia. Di bidang industri manufaktur, sudah banyak pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan, membutuhkan kekuatan, kecepatan dan keakuratan yang tinggi sudah dikerjakan oleh robot, dan bukan manusia lagi. Artificial Intellegence juga berperan besar dalam membantu para medis untuk menganalisis penyakit dan sekaligus melakukan tindakan penyembuhan kepada pasien.

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi berbasis algoritma, membuat manusia secara perlahan mulai mempercayakan banyak keputusan-keputusan penting kepada teknologi berbasis algoritma tersebut. Bahkan manusia semakin besar ketergantungannya kepada masukan-masukan yang datang dari algoritma. Manusia semakin terjebak ke dalam lingkaran system algoritma yang dibuatnya sendiri.

Saat ini masyarakat perkotaan sangat terbantu dengan adanya Google Maps atau Waze yang mampu menunjukan jalur tercepat saat berkendaraan menuju suatu tempat. Manusia yang awalnya merasa terbantu, lama-lama menjadi tergantung  dan menyerahkan keputusan jalan mana yang harus dilewati kepada algoritma tersebut. Menyingkirkan pilihannya sendiri. Intuisi dan kehendak bebas manusia  sudah berkurang perannya.

Orang dengan banyak aktifitas dan ingin selalu menjaga kebugarannya, tentulah tidak asing dengan aplikasi kesahatan. Algoritma yang tertanam ke dalam smartwatch dan smatphone tersebut sudah menjadi salah satu kebutuhan yang tak terpisahkan bagi manusia yang selalu ingin menjaga kesehatannya.

Dengan algoritma aplikasi kesehatan, manusia bisa melakukan cek kesehatan berupa tekanan darah, psikologi, tingkat depresi, emosi dan lain sebagainya. Juga bisa memberi saran dan jadwal makan sehat setiap harinya, dengan jumlah Kalori dan Gizi yang optimal setiap bulannya. Selain itu aplikasi algoritma kesehatan juga akan memberi saran waktu tidur yang cukup bagi kita.

Hal ini menjadikan manusia sebagai mahluk algoritma biologis, yang ingin menjaga kesehatannya, terpaksa harus menyerahkan segala keputusan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dimakan kepada algoritma non biologis yang lebih cerdas.

 Pada akhirnya, pelan namun pasti akan terkuak bahwa manusia hanya berperilaku dengan tuntunan algoritma saja. Tanpa adanya campur tangan dari 'kehendak bebas atau free will' si manusia itu sendiri. Sekian.

Sumber : Homo Deus: A Brief History of Tomorrow - Yuval Noah Harari.

Samlawi.com

My Facebook

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun