Mohon tunggu...
agus suryadi
agus suryadi Mohon Tunggu... Pengajar/Guru SD -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

2 Kurcacu dan Peri Vio (Dongeng Anak)

20 Oktober 2018   15:11 Diperbarui: 20 Oktober 2018   15:24 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah pohon rindang, dua kurcaci terlihat sedang mengobrol. Yang satu benama Kurcaci Niro dan yang satunya lagi bernama Kurcaci Dio.

"Hai Dio, lihat badan ku yang kekar. Aku bisa mengangkat apa saja yang ada dihadapanku. Ototku saja terlihat sangat berisi," kata Kurcaci Niro.

Kurcaci Dio hanya memandang sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Dio sudah biasa mendengar kesombongan Kurcaci Niro.

"Coba lihat Dio, kakiku yang kuat ini, aku bisa berlari secepat kilat," kata Kurcaci Niro sambil mengangkat kakinya bergantian yang kiri dan yang kanan.

"Kalau kamu Dio, apa yang dapat kamu banggakan? badanmu saja kerempeng nyaris tak berdaging hahahaa ... kakimu pendek dan tanganmu sama sekali tak berotot haha," ejek Niro.

Dio sudah  hafal dengan kesombongan Niro. Hampir setiap ada kesempatan, Niro pasti mengejeknya. Dio hanya bisa diam. Dio memang mengakui semua kekurangannya. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari dirinya.

"Aku mengakui kehebatanmu Niro. Kamu memang punya kelebihan yang sama sekali tidak ada padaku. Tapi tidakkah kau bosan terus-terusan menyombongkan kelebihanmu dan terus mengejek aku?" tanya Dio. Matanya menatap tajam ke arah Niro.

"Aku sama sekali tidak mengejek, bukankah itu kenyataannya?" kata Niro. Senyumnya terlihat sangat puas.

Dio hanya bisa terdiam. Sementara Niro terus asik memamerkan otot yang ada di lengannya.

Mereka tidak sadar jika perbincangan mereka didengarkan juga oleh Peri Vio yang sedari tadi duduk di ranting pohon. Tepat di atas tempat mereka mengobrol.

Peri Vio terbang dan hinggap di akar dekat tempat duduk Niro dan Dio. Tongkat ajaibnya dipegang di tangan kanan.

"Halo Niro ... Dio ... apa kabar?, lama kita tak berjumpa ya?" sapa peri Vio

"Hai peri Vio ... apa kabar juga?. Kami baik-baik saja," jawab Niro dan Dio hampir bersamaan.

"Sepertinya kalian sedang berbicara serius ya? Tadi aku mendengarkan pembicaraan kalian dari atas pohon," kata Peri Vio sambil tersenyum.

"Oh, biasalah Peri Vio, aku selalu menjadi bahan ejekan Niro. Dia bilang dialah yang paling hebat, sedang aku tidak ada apa-apanya di banding dia. Memang aku akui, jika tubuhku tidaklah sekuat Niro," kata Dio, wajahnya terlihat sedih.

"Lho, aku kan bicara jujur. Akulah yang paling hebat dibanding dia. Bukan begitukan Peri?" tanya Niro membela diri.

"Ya ... aku telah mendengarkan pembicaraan kalian berdua. Aku belum bisa mengatakan jika Niro lebih hebat. Perlu pembuktian," jawab Peri Vio.

"Pembuktian yang bagaimana?" Tanya Dio

"Ya, apa yang perlu aku buktikan jika akulah yang paling hebat" tanya Niro penasaran.

"Aku akan menjawab pertanyaan kalian berdua di ujung jalan setapak ini. Kalian maukan ikut dengan ku sampai di ujung jalan ini?" kata Peri Vio

"Oke, kita jalan sama-sama saja ya Peri," kata Niro dan Dio.

" Ya, Aku akan berada di belakang kalian. Silahkan kalian berdua jalan duluan," kata Peri vio. Ia terbang di belakang Niro dan Dio. Tangan mungilnya memegang tongkat ajaib.

Sudah seperempat perjalanan. Niro dan Dio melihat seorang Kurcaci tua yang terperosok di kolam yang berlumpur. Kakinya tidak bisa diangkat.

"Hai anak muda, tolonglah aku. Kakiku tidak bisa diangkat. Tolonglah aku," kata Kurcaci tua. Wajahnya sangat memelas.

"Hei! Enak saja kamu minta tolong padaku. Tenagaku tidak untuk menolong orang tua sepertimu. Lagi pula jika aku menolongmu, nanti bajuku kotor kena lumpur. Kamu saja Dio yang menolong kakek itu," kata Niro. Wajahnya terlihat kesal.

"Baiklah. Biarkan aku yang menolong si kakek. Ayo kek, ulurkan tanganmu biar aku tarik supaya kakimu bisa terangkat dari lumpur," Dio mengulurkan tangannya.

Akhirnya si kakek bisa keluar dari kubangan lumpur.

"Terima kasih anak muda yang baik hati," kata si kakek.

"Sama-sama kek. Sudah dulu ya kek, aku mau meneruskan perjalanan. Kakek hati-hati di jalan," kata Dio.

Mereka berdua melanjutkan perjalanan.

Baru setengah perjalanan. Di depan mereka terdengar suara anak burung yang sedang  menangis.

"Cit ... cit ... cit ...tolong aku, hai Kurcaci. Aku terjatuh dari sarangku. Ibuku belum pulang. Aku takut di bawah sini sendirian. Tolong kembalikan aku ke sarangku ...cit ... cit ... cit ..." kata anak burung.

"Siapa yang hendak kau mintai tolong hei burung malang? Aku atau dia?" tanya Dio

" Tentu saja Dia yang terlihat kuat yang aku mintai tolong. Tenaganya terlihat sangat beris,i" kata anak burung lagi. Matanya menatap ke arah Dio.

" Apa? Kenapa harus aku? Tidak! Aku tidak mau. Tenagaku tidak untuk menolong anak burung jelek seperti kamu. Lagipula nanti badanku akan lecet dan bajuku akan terkena getah pohon jika aku memanjat dan mengembalikanmu ke sarang. Kamu saja Dio" kata Niro. Wajahnya terlihat sangat sebal.

"Baiklah, aku akan mengembalikan anak burung malang ini kesangkarnya. Kasian dia sendirian disini," kata Dio. Lalu memanjat pohon dengan susah payah.

Setelah Dio mengembalikan anak burung ke sarangnya, mereka melanjutkan perjalanan lagi.

Hampir sampai mereka di ujung jalan. Mereka dikejutkan dengan buah apel yang jatuh. Buah apel yang lumayan besar.

"Wah! Ada apel jatuh," kata Dio.

Mereka berdua berlari menuju pohon apel. Apel yang lumayan besar.

"Bagaimana kalau kita bagi dua apel ini?" kata Dio

"Boleh, kita bagi dua saja. Lumayan untuk mengisi perut kita yang mulai lapar," kata Niro. Lalu apel itu dibagi dua sama besar.

Baru saja mereka akan memakan buah apel itu, tiba-tiba di depan mereka muncul kurcaci kecil yang yang terlihat sangat kelaparan.

"Kakak kurcaci, bolehkah aku minta apelnya? Aku lapar," kata kurcaci kecil.

"Ih! Kamu siapa? Mengganggu keasikan kita saja. Sana pergi! " hardik Niro. Matanya melotot.

"Kamu lapar ya adik kecil. Ini, aku bagi dua apel milikku." Kata Dio. Dibelahnya apel milik Dio dan diberikannya kepada kurcaci kecil.

Kurcaci kecil itu terlihat sangat bahagia. Setelah memakan apel, kurcaci kecil pergi.

Niro dan Dio melanjutkan perjalanan menuju ujung jalan. Mereka ingin tahu siapakah yang paling hebat di antara mereka berdua. Niro atau Dio.

Tibalah mereka di ujung jalan.

"Di manakah peri Vio? Katanya dia akan mengikuti kita dari belakang. Tapi dari tadi aku tidak melihatnya?" kata Niro. Matanya meancari-cari.

"Iya, aku jika tidak melihat peri vio sedari tadi. Kemana ya? Jangan-jangan peri Vio berbohong," kata Dio. Matanya melihat ke kiri dan ke kanan.

"hey! ... aku di sini. Aku mengikutimu perjalannmu dari awal. Aku menyaksikan semua kejadian-kejadian yang kalian alami selama perjalanan menuju kemari. Kalian saja yang tidak menyadarinya," kata peri Vio muncul dari balik pohon mawar  sambil tersenyum.

"Oh begitu ya? Lalu siapakah yang paling hebat di antara kita berdua peri? Aku atau dia?" tanya Niro.

Sepertinya Niro sudah tidak sabar. Dia yakin Peri Vio pasti akan menyebutkan namanya sebagai yang terhebat.

Sementara Dio hanya menunduk. Dia sudah sadar akan kekurangannya. Mana bisa ia di sebut hebat.

"Tidak Mungkin aku," kata Dio dalam hatinya.

Tidak sabar niro dan Dio untuk mendengarkan jawaban dari peri Vio.

" Apakah kalian tahu jika Kakek tua itu adalah aku, anak burung yang jatuh kesakitan itu aku dan anak yang kelaparan itu aku?" kata Peri Vio. Tangan kanannya masih memegang tongkat ajaibnya.

"Apa! Benarkah itu Peri Vio?" tanya Niro kaget.

"Ya, dengan tongkat ajaib ini aku bisa merubah diriku menjadi apapun yang aku mau. Di sepanjang perjalanan tadi aku telah menguji kehebatan kalian berdua. Kalian saja yang tidak menyadarinya" kata Peri Vio. Wajahnya penuh senyum.

"Hai Niro. Kamu memang kuat. Tapi sama sekali kamu tidak hebat. Tak sedikitpun mempunyai rasa belas kasih, tak mau menolong yang terkena musibah dan terkesan sombong. Untuk apa kekuatanmu jika tidak kau pergunakan untuk berbuat kebaikan?" Kata Peri Vio panjang lebar.

"Dan kau Dio. Kamu benar-benar hebat. Hatimu benar-benar penuh kasih sayang. Tenagamu yang kecil, badan mu yang mungil kau gunakan untuk menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan," kata Peri Vio.

"Untuk kalian berdua. Kurcaci yang Hebat adalah Kurcaci yang mau menolong siapa saja yang membutuhkan tanpa imbalan, tanpa takut kotor, tanpa pilih-pilih siapa yang akan di tolongnya. Kurcaci Hebat adalah siap membantu siapa saja dan kapan saja," kata Peri Vio lagi.

"Aku mengerti Peri. Maafkan aku yang telah sombong. Maafkan aku juga ya Dio, aku sering mengejek dan menghinamu" kata Niro penuh penyesalan.

Niro dan Dio berpelukan. Ditelinga Niro Dio berbisik.

"Aku telah memaafkanmu Niro,"

Peri Vio tersenyum melihat dua sahabat yang saling berpelukan.

=selesai=

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun