Abstrak
Artikel ini membahas implementasi Akta Elektronik Pertanahan atau Akta-el, yang dikembangkan sebagai bagian dari digitalisasi layanan pertanahan di Indonesia. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah mendukung penerapan akta elektronik melalui regulasi terkait sertifikasi tanah elektronik dan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Implementasi Akta-el melibatkan beberapa pihak, seperti BPN sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), Kantor Pertanahan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan masyarakat sebagai pengguna. Artikel ini juga mengkaji penggunaan rekening escrow untuk memastikan keamanan pembayaran dalam transaksi elektronik, yang dapat mengurangi potensi sengketa. Selain itu, penting untuk mengatur afiliasi antara pengguna dan PPAT agar proses penunjukan PPAT berjalan lancar, transparan, dan sesuai dengan wilayah kerja yang sah. Dengan adanya Akta-el, diharapkan layanan pertanahan di Indonesia menjadi lebih efisien, aman, dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
Pendahuluan
Belakangan ini, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengadakan sebuah Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Aspek Hukum dan Regulasi Terkait Penerapan Akta PPAT Elektronik." Diskusi ini bertujuan untuk memahami lebih jauh tentang regulasi dan kesiapan hukum dalam mendukung implementasi Akta Elektronik Pertanahan atau Akta-el. Artikel ini bertujuan untuk meninjau keadaan dan regulasi yang telah berjalan, yang nantinya menjadi landasan utama penerapan akta elektronik di bidang pertanahan.
Pendaftaran tanah di Indonesia semakin masif, terutama melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program ini mendorong peningkatan pendaftaran tanah yang signifikan, dengan beberapa wilayah bahkan telah mencapai pendaftaran tanah hingga 100%. Peningkatan ini menandai langkah besar dalam penyelesaian persoalan pertanahan dan mendukung implementasi sistem elektronik pada sertifikat tanah. Adapun regulasi mengenai sertifikat tanah elektronik juga telah hadir. Tentunya hanya bidang tanah yang telah memiliki Sertifikat Hak Atas Tanah Elektronik (SHAT-el) yang dapat memanfaatkan akta elektronik, baik untuk proses peralihan hak maupun pembebanan hak atas tanah. Hal ini menunjukkan bahwa landasan hukum telah mulai terbentuk untuk mendukung penerapan penuh akta elektronik di Indonesia.
Selain itu, regulasi mengatur bahwa wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah membuat alat bukti khusus untuk perbuatan hukum tertentu di bidang pertanahan seperti jual beli, hibah, tukar-menukar (bidang peralihan hak), APHT dan SKMHT (bidang pembebanan hak), yang selama ini telah dibakukan untuk isi aktanya. Sehingga, format akta yang baku ini menjadi salah satu landasan penting dalam penerapan akta elektronik.
Tidak kalah pentingnya adalah dukungan regulasi dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terakhir diubah dengan UU No. 1 Tahun 2024. Pasal 5 dalam UU ITE mengalami perubahan yang memungkinkan dukungan penuh terhadap implementasi akta elektronik. Hal ini memastikan bahwa akta yang dibuat secara elektronik akan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta fisik, sehingga mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait.
Implementasi Akta Elektronik
Implementasi akta elektronik di bidang pertanahan melibatkan sejumlah pihak dan prosedur yang telah disesuaikan dengan sistem digital. Berikut ini adalah tahapan dan peran berbagai pihak dalam pelaksanaan akta elektronik:
1. Â KemenATR/BPN sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Publik Â
Kementerian ATR/BPN berperan sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) publik yang menyediakan forum digital khusus untuk pembuatan akta elektronik. Forum ini memfasilitasi pendaftaran dan penandatanganan akta yang dilakukan secara elektronik, memungkinkan proses yang lebih cepat dan efisien bagi masyarakat.