Aku semakin tercengang dan tersudutkan dengan kata katanya yang terakhir. Kekhawatiran kini semakin Nampak pada diriku, sepertinya aku harus lebih dahulu mempersiapkan peperangan besar sebelum terjadi. "Kawan!" Bayi itu kembali meringih. "jangan coba kau ungkapkan semua lewat hatimu, karna nurani tak pernah berbohong. Aku bisa membacanya kawan, dia adalah bagian dariku yang polos ini. Gunakanlah sedikit akal dan pikiranmu agar engkau pandai menimbang perihal kekhawatiran itu."
Yahhh. Aku bahkan tak habis pikir, bahkan diapun bisa membaca suara hatiku. Sungguh mengagumkan, aku kembali teringat dengan pesan serdadu perempuan "seorang bayi mampu merasakan keikhlasan kita saat menggendongnnya. Mereka sangat peka. Bahkan lebih peka dari semua yang tercipta."
Pesan terakhir bayi itu padaku "Kawan, Aku harap kesederhanaan itu terlahir dari Rahim asalku saat ini. Karna engkau harus tau kawan bahwa segala Rahim yang tempat keluarnya manusia adalah suci. Sudikah engkau bila mensucikannya sebelum suci? Sungguh malang nasib manusia seperti itu kawan. Menjadikan beban berat kemanusiaan.
Tiba-tiba ibu bayi itu datang. Mungkin dia curiga dengan percakapan kami. Yahh, walaupun dia tak mengerti tapi terlampau peka terhadap dirinya sendiri.
Awal yang baik untuk aku persiapkan semuanya. Akankah bahagia dengan kekhawatiran itu?
Makassar, Ahad 03 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H