Mohon tunggu...
Agussalim Paradeden
Agussalim Paradeden Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Agussalim Paradeden dilahirkan di Bajo, kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 1 september 1996. Menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Dasar Negeri Bajo (2008), Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Soromandi (2011) dan SMAN 3 Kota Bima (tamat tahun 2014). Melanjudkan studi di Strata 1 Universitas Muhammadiyah Makassar Konsentrasi Pendidikan Seni Rupa. Penulis sekarang aktif di beberapa organisasi, di antaranya Anggota Himpunan Mahasiswa Islam(HMI), Anggota BEM FKIP Unismuh Makassar, Anggota HIMASERA UMM, KOPA (Bima-Dompu-Makassar).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kekhawatiran Masa Depan

3 Maret 2019   22:43 Diperbarui: 16 Maret 2019   20:00 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku semakin tercengang dan tersudutkan dengan kata katanya yang terakhir. Kekhawatiran kini semakin Nampak pada diriku, sepertinya aku harus lebih dahulu mempersiapkan peperangan besar sebelum terjadi. "Kawan!" Bayi itu kembali meringih. "jangan coba kau ungkapkan semua lewat hatimu, karna nurani tak pernah berbohong. Aku bisa membacanya kawan, dia adalah bagian dariku yang polos ini. Gunakanlah sedikit akal dan pikiranmu agar engkau pandai menimbang perihal kekhawatiran itu."

Yahhh. Aku bahkan tak habis pikir, bahkan diapun bisa membaca suara hatiku. Sungguh mengagumkan, aku kembali teringat dengan pesan serdadu perempuan "seorang bayi mampu merasakan keikhlasan kita saat menggendongnnya. Mereka sangat peka. Bahkan lebih peka dari semua yang tercipta."

Pesan terakhir bayi itu padaku "Kawan, Aku harap kesederhanaan itu terlahir dari Rahim asalku saat ini. Karna engkau harus tau kawan bahwa segala Rahim yang tempat keluarnya manusia adalah suci. Sudikah engkau bila mensucikannya sebelum suci? Sungguh malang nasib manusia seperti itu kawan. Menjadikan beban berat kemanusiaan.

Tiba-tiba ibu bayi itu datang. Mungkin dia curiga dengan percakapan kami. Yahh, walaupun dia tak mengerti tapi terlampau peka terhadap dirinya sendiri.

Awal yang baik untuk aku persiapkan semuanya. Akankah bahagia dengan kekhawatiran itu?

Makassar, Ahad 03 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun