Mohon tunggu...
Agus Kayoman
Agus Kayoman Mohon Tunggu... Guru - Buku Meg dan Biolaku, Kubenci Puisi

Guru yang sesekali menulis cerpen dan puisi\r\ntwitter @aggus8888

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Taiko, Ibu, Islam dan Orang besar

8 Juli 2011   14:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:49 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin pembaca sedikit bingung mendapati judul catatanku ini. Begini, Beberapa hari ini aku sedang asyik membaca novel silat Jepang terjemahan dalam versi e-booknya. Novel tersebut berjudul Taiko karangan Eiji Yoshikawa (pengarang Mushashi juga) yang versi bukunya diterbitkan Gramedia. Sebuah novel yang cukup menyita waktu karena tebal dan isinya yang lumayan (nggak kayak novel remaja Indonesia yang kadang kayak kulit kerang mati, kosong). . perlu teman ketahui, Jagoan kita ini bukan lelaki tampan dengan tinggi menjulang, sebaliknya ia pria pendek dengan muka aneh (bahkan ketika ia telah mejadi jenderalpun, teman akrab dan junjungannya masih memanggilnya 'monyet' ). Iapun lelaki yang agak introvert dan cenderung pemalu dengan lawan jenis. sifat yang mungkin muncul karena perjalanan hidupnya yang penuh dengan derita kemiskinan.

sampai akhirnya saya tiba dibagian yang mengisahkan tentang perkawinan Tokichiro (nama lain Taiko).Ketika malam pertamanya menikahi Nene (putri seorang prajurit) , terjadi dialog antara suami istri baru ini. Dialog itu saya kutipkan langsung ....

"Nene?" Suara itu milik suaminya. Nene berusaha

menjawab, namun tak sanggup berkata apa-apa.

Jantungnya berdebar-debar. Walaupun ia tak pernah

merasa seperti ini sampai saat upacara pernikahan, ia

tak sempat melihat Tokichiro sejak semalam.

"Masuklah." ujar Tokichiro. Nene masih bisa mendengar

suara orangtuanya. Ketika sedang berdiri,

bingung apa yang harus dilakukannya, ia melihat obat

nyamuk yang dibiarkan membara. Sambil meraihnya,

ia masuk dengan malu-malu.

"Kau tidur di sini? Pasti banyak nyamuk." Tokichiro

berbaring di lantai. I menatap kakinya.

"Ah, nyamuk...."

"Kau pasti lelah sekali."

"Dan kau juga," Tokichiro menanggapi. "Para

saudara sebenarnya menolak tegas, tapi aku tak sampai

hati membiarkan orang tua tidur di kamar pelayan,

sementara kita tidur di ruangan bertirai emas."

"Tapi tidur di tempat seperti ini, tanpa ranjang..."

Nene hendak berdiri, tapi Tokichiro mencegahnya.

"Tidak apa-apa. Aku sering tidur di bawah—bahkan

di lantai papan sekalipun. Tubuhku sudah kebal

didera kemiskinan." Tokichiro duduk. "Nene, mendekatlah."

"Ba... baik."

"Pernah ada yang mengatakan bahwa istri yang baru

dinikahi serupa dengan tempat penyimpanan beras.

Kalau tidak dipakai untuk waktu lama, kedua-duanya

berbau apak dan tak bisa digunakan lagi. Kalau sudah

tua, simpai-simpainya cenderung copot. Tapi ada

baiknya mengingat bahwa seorang suami adalah

seorang suami. Kita berencana untuk hidup lama

bersama-sama, dan telah berjanji untuk saling setia

sampai kita berdua sudah tua dan ubanan, tapi hidup

kita takkan mudah. Jadi, mumpung kita baru mulai,

sebaiknya kita saling berikrar. Bagaimana menurutmu?"

"Tentu. Aku akan taat sepenuhnya pada ikrar ini.

Bagaimanapun bunyinya," Nene menjawab tegas.

Tokichiro tampak serius sekali. Ia bahkan kelihatan

agak cemberut. Namun Nene justru gembira melihat

ekspresi ini untuk pertama kali.

"Pertama-tama, sebagai suami, aku akan memberitahumu

apa yang kuharapkan dari seorang istri."

"Baik."

"Ibuku perempuan petani miskin dan menolak

menghadin pernikahan kita. Tapi orang yang paling

berbahagia di dunia karena aku mengambil istri

adalah ibuku."

"Aku mengerti."

"Cepat atau lambat, dia akan tinggal serumah

denganmu, tapi aku tidak keberatan kalau kau

menomorduakan urusan melayani suami. Lebih dari

apa pun, aku ingin kau menyayangi ibuku dan

membuatnya bahagia."

"Baik."

"Ibuku lahir dari keluarga samurai, tapi lama

sebelum aku lahir, dia sudah hidup miskin. Dia

membesarkan beberapa anak di tengah kemiskinan.

Membesarkan satu anak saja dalam keadaan seperti itu

berarti bergelut dengan penderitaan. Ibuku tak punya

apa pun untuk membuatnya bahagia— kimono katun

untuk musim dingin dan kimono untuk musim panas

pun tak dimilikinya. Dia tidak berpendidikan, dia

bicara dalam logat udik, dan dia sama sekali tidak tahu

tata krama. Sebagai istriku, bersediakah kau mengurus

ibuku dengan cinta kasih sejati? Apakah kau bisa

menghormati dan menghargainya?"

"Tentu. Kebahagiaan ibumu adalah kebahagiaanmu

juga. Kurasa itu sudah sewajarnya."

"Tapi kau juga memiliki orangtua yang sehat.

Mereka pun sangat penting bagiku. Kasih sayangku

terhadap mereka tak kalah dengan kasih sayangmu."

"Ucapanmu membuat hatiku gembira."

"Lalu masih ada satu hal lagi." Tokichiro melanjutkan.

"Ayahmu telah mendidikmu menjadi perempuan

yang berbakti, dan mengajarkan disiplin dengan

menegakkan banyak peraturan. Tapi aku tidak

menuntut banyak. Hanya ada satu hal yang kuminta

darimu."

"Apa itu?"

"Kuminta kau bahagia dengan pengabdian suamimu,

dengan pekerjaannya, dan segala sesuatu yang

harus dilakukannya. Hanya itu, Kedengarannya

mudah, bukan? Tapi pasti sama sekali tidak mudah.

Perhatikanlah suami-istri yang telah bertahun-tahun

hidup bersama. Ada istri-istri yang sama sekali tidak

tahu-menahu mengenai pekerjaan suami masingmasing.

Suami-suami seperti ini kehilangan dorongan

penting, dan laki-laki yang bekerja demi kepentingan

bangsa dan provinsi pun menjadi kecil dan lemah jika

dia berada di rumah. Kalau saja istrinya bahagia dan

tertarik pada pekerjaan suaminya, pada pagi hari lakilaki

itu bisa maju ke medan tempur dengan segenap

keberanian yang dimilikinya. Bagiku, inilah cara

terbaik seorang istri membantu suaminya."

"Aku mengerti."

"Baiklah. Sekarang coba ungkapkan apa saja yang

kauharapkan dariku. Katakanlah, dan aku akan berjanji."

Terus terang teman, air mataku mengalir membaca bagian ini. Tidak ada kata Islam sama sekali dalam novel ini. Tapi, kalimat-kalimat pada kutipan itu, aku rasa penuh dengan nilai Islam yang hakiki. Betapa kecintaan kepada Ibu, Betapa ketaatan Istri pada Suami dan betapa Tanggungjawab Suami pada Istri dan Ibunya semuanya terlukis dengan mozaik yang indah sekaligus mengharukan.

Segera saja sebuah kesadaran menyelinap dibenakku. Bahwa Jepang menjadi negara maju sekarang ini, boleh jadi karena mereka terus menerus melahirkan orang-orang besar. Orang-orang dengan kecerdasan, integritas, keberanian dan kerelaan untuk berkorban. Orang-orang yang sekarang sangat kita harapkan muncul di negeri kita ini. Orang-orang yang seperti tidak pernah lagi lahir di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun