Klaim China terhadap Laut China Selatan, mengiris ZEE Indonesia di perairan Natuna Utara. Mampukah Indonesia mempertahankan kedaulatannya melawan raksasa China? Bagaimana caranya?
-----
China adalah raksasa ekonomi, teknologi, dan militer saat ini. China menguasai 35% manufaktur dunia, militer terkuat ketiga dunia, dan negara dengan PDB terbesar kedua di dunia. China ibarat petinju kelas berat. Ditunjang kapabilitas sumber daya yang besar China dengan agresif melakukan okupasi 90% kawasan Laut China Selatan.Â
Lima negara Asia Tenggara (ASEAN), wilayahnya teriris---termasuk Indonesia. Rute pelayaran jalur distribusi barang dan energi terancam terganggu. Marah dan protes dilayangkan lima negara ASEAN. China tidak peduli. Dibanding China kekuatan negara ASEAN tak lebih dari petinju kelas bulu.
Konflik antara China dan lima negara Asia Tenggara adalah  konflik dua entitas yang tidak seimbang. Bahkan kalau sebelas negara ASEAN bergabung pun belum mampu mengungguli kekuatan China baik dari segi jumlah arsenal militer maupun kecanggihan alutsistanya. Lalu apakah Indonesia yang ZEEnya di Natuna Utara diklaim sebagai teritori China harus pasrah? Tentunya tidak. Indonesia bisa belajar dari kegagalan invasi Inggris pada 1945 dan juga invasi Mongol pada 1239 M.
Invasi Gagal
Saat invasi di Surabaya pada 1945, Inggris mengerahkan 30.000 tentara profesional yang dipersenjatai peralatan tercanggih di zamannya. Inggris waktu itu adalah  pemenang Perang Dunia II. Sedangkan Indonesia adalah negara yang baru 3 bulan berdiri. Kenyataannya, di medan perang Surabaya, Inggris dibuat kerepotan oleh militansi dan strategi pejuang Indonesia.Â
Setelah sebulan berperang dengan susah payah, akhirnya Surabaya bisa diduduki oleh Inggris. Inggris menang, tapi tidak mau berlama-lama tinggal di Surabaya. Tentara Inggris menyebut Perang Surabaya sebagai inferno, neraka di timur Pulau Jawa. Pada November 1946 secara keseluruhan tentara Inggris angkat kaki dari Surabaya.
Sejarah juga mencatat invasi tentara Mongol ke Jawa pada 1239 Masehi. Kekaisaran Mongol mengerahkan 20.000-30.000 prajurit. Dengan kekuatan besar tersebut, raja Jawa pastinya mudah ditaklukkan. Kenyataannya, tentara Mongol menelan pil pahit. Prajuritnya kocar-kacir diusir dengan siasat cerdik oleh Raden Wijaya, tokoh pendiri Majapahit. Invasi yang menurut Kubilai Khan diprediksi mudah, ternyata menjadi malapetaka buat tentara Mongol. Mongol kalah dan mengubur ambisi memperluas wilayahnya di Nusantara.
Walau kondisi perang modern sekarang berbeda dengan zaman dahulu; dari dua kegagalan invasi asing di atas, Indonesia bisa mengambil pelajaran. Faktor penentu utama adalah strategi. Konflik terbuka antara China dan Indonesia bisa saja terjadi dalam perebutan klaim LCS. Maka dibutuhkan strategi jitu. Lalu bagaimana mengatur strategi yang tepat dan juga membangkitkan militansi yang kuat dari rakyat? Untuk menjawabnya kita harus mengetahui: 1) Hubungan dua negara dan keuntungan yang didapat, 2) Dasar klaim yang dipakai, 3) Agenda politik Beijing.
Hubungan Jakarta-Beijing
Secara garis besar hubungan Indonesia-China berjalan dalam kerangka kerjasama yang saling menguntungkan. Indonesia satu barisan dalam proyek ambisus China: Belt and Road initiative (BRI). Hubungan dagang Indonesia-China terus mengalami peningkatan. Pada 2014 mencapai US$48,23 miliar, pada 2023 melonjak menjadi 133,6 miliar.Â
Nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 25,66% dari seluruh nilai ekspor sepanjang 2023. Pada tahun yang sama Indonesia mencatatkan surplus US$2,06 miliar. Indonesia menjadikan China sebagai mitra dagang strategis. Begitu juga sebaliknya.
Hubungan di bidang pendidikan juga mengalami peningkatan signifikan. Pada 2016 ada 13.000 mahasiswa Indonesia belajar di China. Pada 2018 meningkat menjadi 14.233 orang. Tahun 2023 angkanya meningkat lagi di angka 15.000 lebih mahasiswa. Di sektor pariwisata juga mengalami tren positif.Â
Kunjungan wisatawan China ke Indonesia juga melonjak tajam. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 ada 787.900 wisatawan China yang berkunjung ke Indonesia. Sedangkan jumlah kunjungan orang Indonesia ke China pada 2023 mencapai 221.600 orang. Sebagai dua negara berdaulat hubungan Indonesia-China adalah hubungan yang bersifat mutualisme, saling menguntungkan.
Strategi China dan Agenda Terselubung
Akar konflik di LCS adalah perbedaan dasar klaim (multi-interpretasi klaim). China mendasarkan klaimnya pada sejarah. Menurut catatan sejarah China, nenek moyangnya menjadikan LCS sebagai daerah tangkapan ikan tradisional sejak Dinasti Han pada abad ke-2 SM (Historical Rights). Pada 1947 klaim China ditampilkan dalam wujud area sembilan garis putus-putus (nine dash line) di peta teritori mereka.Â
Garis tersebut menggerus wilayah Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina dan juga Indonesia. Di pihak lain Indonesia dan negara ASEAN lainnya menggunakan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS), yang sudah diratifikasi oleh 164 negara. Anehnya China juga negara yang meratifikasi UNCLOS 1982 tersebut.
Pada 2012 China bertindak lebih jauh dengan mengumumkan hak kepemilikan mutlak terhadap kawasan LCS. Manuver China tidak berhenti di situ saja, pada 2014 China mengeluarkan peta baru yang dinamakan Peta Standar China. Bukan hanya 9 garis putus-putus, tapi sudah menjadi 10 garis putus-putus---ten dash line. Wilayah laut bagian timur Taiwan dan juga Lembah Himalaya yang berbatasan dengan India masuk ke dalamnya. China meningkatkan intensitas tekanan di LCS. China bertindak di luar code of conduct.
Filipina yang ZEE nya dipenggal China dan juga berebut kepemilikan atas kepulauan Spratly tidak terima dan membawa persoalan tersebut ke Permanent Court of Arbitration (PCA) atau Mahkamah Arbitrase Internasional. Pada 12 Juli 2016, PCA yang berbasis di Den Haag, Belanda, memenangkan gugatan Filipina terhadap klaim sepihak China atas kepulauan Spratly.Â
China dinilai tidak memiliki dasar hukum terhadap klaim wilayah di Kepulauan Spratly, yang masuk ZEE Filipina. Putusan tersebut membatalkan secara permanen klaim China. Beijing bereaksi keras dan menyatakan tidak akan menerima, mengakui, atau melaksanakan putusan tersebut.Â
Setiap tindakan individu pasti ada motif yang berada di belakangnya. Sama dengan sebuah negara. Karena negara hakekatnya adalah kumpulan dari individu-individu. Agresivitas China di LCS bisa didekati dengan garis besar tujuan nasionalnya. Pertama, mengembalikan Taiwan. Pada 23 November 2013 China mengumumkan ADIZ (Air Defence Identification Zone) di atas Pulau Diaoyou/Senkaku. Pulau dekat Taiwan yang masih disengketakan dengan Jepang. Ini adalah sebuah upaya mengisolasi Taiwan untuk memberi tekanan lebih kuat.Â
China menargetkan pada ulang tahun China ke-100 pada 2049, Taiwan sudah menjadi bagian dari RRC. Dua puluh lima tahun dari sekarang bukanlah waktu yang lama. Maka intensitas menekan Taiwan dikebut mulai saat ini. Sebagaimana yang terlihat pada Jumat (24/05/2024), militer dan mesin perang China dikerahkan untuk mengepung Taiwan dalam simulasi perang.Â
Ini respon Beijing yang sangat serius sebagai tanggapan terhadap pidato presiden Taiwan yang baru William Lai Cing-te  yang menentang prinsip satu China. Taiwan ibarat duri dalam daging politik China di kancah internasional. Keinginan menyatukan Taiwan sudah lama diupayakan. Dan selalu gagal. Melihat kemajuan China di segala bidang menjadikan China merasa siap untuk mengambil inisiatif invasi terbuka.
Di sisi lain, bagi Amerika, Taiwan adalah sekutu yang bisa dimainkan untuk mengganggu hegemoni China di Asia Pasifik. Sama dengan peran Israel di Timur Tengah, atau peran Singapura di Asia Tenggara. Ini bisa menjadi alasan kuat China melakukan provokasi di LCS sebagai bargaining terhadap Amerika: Membiarkan Taiwan kembali ke pangkuan China daratan, dan China menormalkan kondisi LCS dalam posisi status quo. Patut diingat bahwasanya LCS adalah urat nadi dari jalur logistik barang dan energi Amerika dan sekutunya (Korea Selatan, Jepang, Australia, India). Dengan membuat keributan di LCS sebenarnya gangguan tepat di urat nadi ekonomi Amerika cs dan Eropa.
Kedua, mengeruk SDA di LCS. Kawasan strategis Laut China Selatan yang membentang seluas 3,6 juta km ibarat harta karun yang siap digali. LCS menyumbang 12% tangkapan ikan global, habitat terumbu karang seluas 31.360 km, sumber protein bagi 600 juta orang. Lembaga Informasi Energi Amerika memperkirakan  LCS menyimpan 28 miliar barel minyak dan 900 triliun kaki kubik gas alam---setara cadangan gas Qatar. Selain itu, LCS merupakan rute komersial paling vital bagi industri logistik global. Menurut World Maritime Council, LCS menjadi lalu lalang 40.000 kapal atau 25% arus pelayaran dunia dengan valuasi mencapai US$5,3 triliun pertahun.
Pertumbuhan industri yang cepat menjadikan China sejak 2003 menjadi konsumen minyak terbesar kedua di dunia dan pada 2004 menjadi negara importir ketiga setelah Amerika dan  Jepang. Sekitar 76 persen dari total impor minyak melalui rute LCS. Pembangunan masif yang dilakukan China di kepulauan Spratly dan Paracel sebagai bentuk mencuri start untuk merebut urat nadi pelayaran dunia dan mengamankan cadangan energi China.Â
Beijing memproyeksikan persiapan konflik dalam skala yang lebih besar. Secara de facto China sudah mengambil alih kepemilikan kepulauan sengketa tersebut dan difungsikan sebagai pangkalan militer. Atol Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross diubah menjadi gudang, hangar, pelabuhan laut, landasan pacu, radar dan tidak bisa dipungkiri pastinya akan diisi batteray rudal balistik Dongfeng. Pada 2022 menurut laporan Recorded Future---perusahaan siber Amerika---diperkirakan sudah ada 10.000 tentara China di LCS.Â
Ketiga, agenda politik domestik. Adanya konflik di LCS, bisa menyatukan China dalam satu pandangan politik. Surat Kabar China memposisikan China sebagai korban dari ambisi territorial negara Vietnam dan juga Filipina. Maka sebagai upaya untuk mempertahankan kedaulatan, unifikasi territorial dan menegakkan harga diri bangsa diwujudkan dengan cara mengambil alih kendali Laut China Selatan. Secara garis besar konflik LCS sangat menguntungkan bagi rezim komunis China. Patut dicatat pula bahwa ada 289.526 mahasiswa China periode 2022/2023 yang belajar di Amerika.Â
Di Eropa diperkirakan ada 180.000 mahasiswa China. Satu sisi China diuntungkan dengan melimpahnya SDM berkualitas lulusan Amerika dan Eropa. Namun, kalau tidak dikelola dengan baik, mahasiswa tersebut bisa menjadi agen demokrasi yang akan meruntuhkan rezim komunis. Dengan menjadikan LCS sebagai target nasional, komplit dengan adanya musuh bersama (common enemy), berdampak menguatkan nasionalisme rakyat China sehingga memberi jaminan kestabilan politik rezim berkuasa di China untuk beberapa dekade ke depan.
Konflik LCS juga bisa dikelola untuk mewujudkan ambisi China menjadi militer terkuat di dunia menggeser Amerika. Parlemen China punya alasan kuat untuk menggelontorkan dana pertahanan sebesar besarnya guna mempercepat penguatan militer China. Dalam dua tahun terakhir peningkatan anggaran China meningkat tajam. Pada 2022 mencapai US$230 miliar. Pada 2023 bertambah menjadi US$296 miliar. Bandingkan dengan gabungan anggaran militer ASEAN pada tahun yang sama hanya mencapai US$41,5 miliar.Â
Agenda terbesar dari militer China adalah menggeser kekuatan militer Amerika serikat dalam satu dekade ke depan. Pada intinya semakin berlarut-larut konflik di LCS akan menguntungkan bagi politik di dalam negeri China sendiri. Sebagai pemain industri militer, jelas sekali China sangat diuntungkan dengan keruhnya masalah di LCS. Belanja militer di Asia Pasifik pastinya meningkat pesat. China membuka peluang bagi negara manapun untuk membeli produknya, walaupun terhadap negara yang bersengketa dengan China sekalipun. Bagi China uang tetaplah uang.
Strategi Indonesia
Permasalahan di LCS sangat rumit. Ada tiga aktor utama yang bermain. China, ASEAN dan Amerika (AUKUS). Ketiganya punya agenda yang saling bertabrakan. Permasalahan LCS bisa dirangkum dalam 3 point: 1) Keinginan China mengembalikan Taiwan dan menguasai LCS, 2) Keinginan Amerika Membantu Taiwan dan menjadikan LCS sebagai wilayah bebas navigasi, 3) Agenda ASEAN mempertahankan ZEEnya.
Tidak ada rumusan yang pasti agar konflik di LCS akan berakhir secepatnya. Ini butuh waktu yang lama dan berlarut-larut. Dibutuhkan keteguhan dalam diplomasi dan penguatan militer yang signifikan. Ada satu hal yang wajib dipahami siapa pun yang bermain di LCS jangan sampai kebablasan. Jakarta menerapkan kondisi menahan diri sebagai upaya untuk menurunkan ketegangan di Laut Natuna Utara. Menurunnya agresifitas Jakarta untuk menenggelamkan kapal-kapal yang tertangkap di LNU---terutama kapal nelayan China sebagai strategi mengelola hubungan dengan China. Lalu strategi apa yang dimainkan Jakarta untuk mempertahankan kedaulatannya di Laut Natuna Utara?
Pertama, menghindari keterlibatan asing. Indonesia menghindari PCA sebagai penengah di LNU sebagaimana yang dilakukan Filipina. Selain trauma dengan kasus Sipadan dan Ligitan, pelibatan PCA hanya membuang energi. China sudah terang-terangan tidak mengakui institusi tersebut.Â
China melihat bahwa PCA tidak lebih dari kepanjangan tangan Amerika dan Eropa. Selain itu, Jakarta menolak pangkalan militer AUKUS di wilayah kedaulatan Indonesia. Keterlibatan AUKUS dalam sengketa LCS---menurut Jakarta--semakin memperkeruh situasi. Bukan malah mendinginkan masalah. Kebijakan Jakarta tersebut bisa dibaca oleh Beijing bahwasanya Indonesia tidak menginginkan konflik di LNU diselesaikan dengan keterlibatan asing yang bernuansa militer.
Kehati-hatian Indonesia untuk tidak memihak salah satu blok (China-AUKUS) berkaca dari konflik Ukraina--Rusia. Perang Ukraina-Rusia memberi pelajaran bahwa negara pion hancur berantakan tanpa ada perlindungan memadai dari negara patronnya. NATO dalam kenyataannya membiarkan Ukraina berperang sendiri di garis depan sampai hancur melawan raksasa Rusia. Padahal keberanian Ukraina berperang dengan Rusia karena motivasi manis dari NATO.
Pelibatan AUKUS dalam konflik LCS sangat berbahaya bagi keamanan regional Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Patut dicatat pula oleh Indonesia; lepasnya Timor Timur dari Indonesia didalangi oleh Amerika dan Australia. Dua negara yang tergabung dalam AUKUS. Satu catatan, Amerika adalah negara yang tidak mau meratifikasi UNCLOS 1982.
Hubungan politik Jakarta dan Canberra juga tidak berjalan mulus. Australia selalu curiga terhadap manuver Jakarta untuk memperkuat angkatan perangnya. Bisa jadi dengan menjebak Indonesia ke dalam konfrontasi langsung dengan China bisa membuat dua keuntungan bagi Australia: dua kompetitornya di belahan bumi utara melemah--maksudnya Indonesia dan China. Dengan menjadikan ASEAN dan China bermusuhan, jika terjadi perang terbuka, Amerika dan Australia tetap diuntungkan secara politik. China tahu itu, Indonesia juga paham apa yang akan terjadi.
Maka cara paling aman menghadapi China adalah: dekati, datangi, dan ajak berunding. Itu cara khas Indonesia untuk memecah kebuntuan diplomatik bersenjata. Komunikasi yang dilakukan terus menerus setidaknya bisa membuka mata China terhadap kegigihan Indonesia dalam mempertahankan hak kedaulatannya. Ingat selalu pendekatan yang ditawarkan Amerika dan Eropa cenderung militeristik. Akhirnya bisa dilihat; hancur semua dan mati semua.
Di sisi lain, Indonesia tetap ngotot penyelesaian LNU berpatokan pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982---tanpa keterlibatan PCA. Â Di luar itu, Indonesia harus menolak untuk berunding. Penyelesaian garis batas ZEE yang sudah permanen antara Indonesia dan Vietnam pada 2023 bisa dijadikan contoh penyelesaian sengketa tumpang tindih ZEE di LCS.
Aktivitas kepemilikan territorial dan ZEE Indonesia juga harus tampak di Natuna Utara. Pengeboran minyak dan juga aktivitas nelayan yang mencari ikan harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. TNI AL harus memberi perlindungan sepenuhnya dengan kehadiran kapal Coast Guard atau kapal perangnya kelas fregat.Â
Kehadiran kapal perang dengan tonase besar akan memberi kenyamanan dan perlindungan. Kemungkinan senggolan dan juga tabrakan dengan kapal Coast Guard China bisa terjadi. Dan biarkan itu terjadi asalkan jangan sampai ada letusan senapan yang berakibat adanya korban di kedua belah pihak. Jika hal ini berjalan terukur, maka akhir  dari persoalan Laut Natuna Utara adalah China akan membiarkan dalam status quo. Karena tidak mungkin dalam jangka pendek China mengumumkan penarikan klaimnya khusus di NTU, bagi China ini akan mengendorkan tekanan di LCS yang sasaran utamanya adalah mengembalikan Taiwan.
Kedua, menyatukan kekuatan ASEAN. China sangat keberatan jika persoalan LCS dibahas dalam agenda ASEAN. Itu sebagai sinyal; China akan kerepotan saat berhadapan dengan entitas ASEAN secara utuh. Maka Indonesia harus mengkoordinir kekuatan ASEAN. Itu sebagai sinyal ketidaksukaan ASEAN terhadap manuver China.Â
Langkah ini juga untuk menghindari masuknya AUKUS dan menghindarkan ASEAN sebagai pion (proxy war). Suara Indonesia pastinya didengar oleh anggota ASEAN. Indonesia adalah pemimpin tradisional ASEAN. Untuk itu Indonesia harus merumuskan politik bersama dalam negosiasi dengan China. ASEAN tidak boleh terbelah dan satu sikap dalam urusan di LCS.
Volume perdagangan China ASEAN tumbuh impresif. Pada 2021 mencapai US$878,2 miliar. Pada 2022 naik menjadi US$970 miliar. Pada 2023 terkoreksi menjadi 911,7 miliar. Pasar Asean yang besar, potensi SDA yang melimpah dan pertumbuhan ekonomi yang positif bisa menjadi hak tawar kuat terhadap China.Â
China membutuhkan pasar ASEAN untuk menyerap dari keajaiban manufakturnya. Â Kendalanya adalah memberi pemahaman terhadap negara binaan China semisal Kamboja, Laos, dan Myanmar yang secara ekonomi dan politik berada dalam pengaruh China. Dan juga mengajak Thailand, Filipina, Timor Leste, Malaysia dan Singapore supaya menjaga jarak dengan AUKUS--yang notabene tidak ada singgungan territorial dengan China.Â
Menyatukan ASEAN dalam satu pandangan adalah langkah sangat sulit. China dari awal selalu menggagalkan upaya penyatuan suara ASEAN dalam Kasus LCS. China menginginkan perundingan dilakukan secara bilateral. Posisi negara ASEAN akan lemah menghadapi raksasa China. Pastinya tidak akan mungkin menang. Namun penyatuan satu suara ASEAN menjadikan harga tawar politik ASEAN bisa kuat saat menghadapi China.
Ketiga, konfrontasi militer. Ini langkah paling akhir yang bisa diambil. Indonesia dalam hal ini punya doktrin, berani masuk gebuk. Jika ambisi China terhadap kepemilikan laut Natuna Utara tidak bisa dikendalikan, maka Indonesia juga harus menegakkan marwah kedaulatannya dengan menggunakan cara militer.Â
Peningkatan anggaran TNI untuk pembelian alutsista yang mencapai US$25 miliar antara 2020--2024 adalah upaya persiapan menjaga teritori Indonesia. Indonesia bisa menggunakan posisi strategisnya untuk mendapatkan senjata mematikan dari pihak manapun. Dari hitungan kertas, bersengketa dengan Indonesia akan lebih melelahkan dan tidak menguntungkan. Sinyal itu harus terus disampaikan ke China.
Saat ini, China masih menggunakan "cara santun" lewat keberatan nota protes diplomatik terhadap aktivitas ekonomi yang dilakukan Indonesia di Blok Tuna Natuna Utara. Bisa jadi kelak ledakan amunisi yang berbicara. Agresivitas dan provokasi China harus diimbangi dengan kekuatan senjata pula. Kapal selam dan kapal perang China, dan kapal penjaga pantainya sering nerabas ZEE Indonesia di Natuna. Seolah menguji nyali Indonesia.Â
Maka pembangunan pangkalan militer terpadu di Natuna dengan menyiagakan kapal perang kelas fregat, kapal selam, Â penempatan batteray rudal dan juga jet tempur serang adalah langkah perimbangan kekuatan di Natuna Utara. Mengubah nama LCS menjadi Laut Natuna Utara sebenarnya sebagai respon keras kemarahan Jakarta terhadap ambisi territorial Beijing yang sudah kebablasan.
Kesadaran rakyat, DPR, dan pemerintah harus satu suara. Peningkatan postur TNI dengan modernisasi dan juga peningkatan anggaran setidaknya mencapai 2% dari PDB harus segera terwujud. Di antara negara ASEAN rasio belanja pertahanan Indonesia terhadap PDB yang paling rendah; Myanmar 3%, Singapore 2,8%, Brunei 2,8%, Kamboja 2,1%, Thailand 1,2 %, Timor Leste 1,1 %, Filipina 1%, Malaysia 1% dan Indonesi 0,8%. Dengan postur TNI yang kuat, akan punya detterent effect bagi siapa saja yang ingin mengganggu kedaulatan Indonesia
Keempat, menguasai nuklir. Posisi strategis Indonesia di pentas Indo-pasifik harus dibarengi dengan militer kuat. Indonesia bisa menjadi  titik kekuatan baru di tengah kondisi dunia yang multipolar. Kemandirian adalah kunci untuk menjaga kedaulatan. Mengapa negara yang punya nuklir jauh lebih nyaman saat berdiplomasi? Korea Utara misalnya. Dengan mudah menekan Amerika atau kekuatan Barat  dengan menjual isu percobaan hulu ledak nuklir. Jawabannya karena nuklir menciptakan keseimbangan teror yang pastinya akan menakutkan pada siapapun yang ingin perang.Â
Nuklir menciptakan kengerian; hancur semua mati semua (mutually assured destruction). Maka meskipun Korea Utara termasuk negara miskin, diplomasi di kancah global sangat berotot. Kekuatan asing akan berpikir seribu kali kalau ingin berurusan dengan Korea Utara. Hal yang sama terjadi pada Pakistan, salah satu negara berkembang pemilik nuklir di Asia.
Indonesia jangan sampai dilenakan dengan jargon manis, zona bebas nuklir di kawasan Asia Tenggara, South East Asean Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ). Peta perdamaian sudah berubah. Di belahan selatan (Australia) dalam waktu dekat akan meluncur 8 kapal selam nuklir kelas Virginia Class, di belahan utara juga sama. China mengaktifkan armada kapal selam nuklir untuk ronda rutin di LCS.  Gun race sudah ditabuh. Rudal berhulu ledak nuklir siap melumat siapa saja.Â
AUKUS dan China sudah menciptakan Security Dilemma---terutama bagi Indonesia dan ASEAN. Tidak ada salahnya jika Indonesia merespon  tit-for-tat (gayung bersambut). Ancaman perebutan SDA ke depan akan lebih sengit. Negara-negara Asia Tenggara mungkin bukan ancaman serius bagi Indonesia. Namun, kekuatan dari belahan dunia lain --ancaman dari utara dan selatan--sangat mungkin menjadikan Indonesia sebagai target potensial.Â
Kepemilikan bahan mineral kunci, semisal nikel, logam tanah jarang sebagai bahan dasar batteray dan chips, cukup menggoda negara asing berwatak jahat menginvasi Indonesia. Penghentian ekspor nikel Indonesia yang digugat oleh Uni Eropa pada 2021 sebagai indikasi kuat bahwasanya kedaulatan dalam menentukan prioritas dalam negeri juga bisa diganggu oleh kekuatan luar yang punya pengaruh kuat.Â
Tanpa dukungan militer kuat kedepannya bisa menjadi malapetaka bagi Indonesia. Hancurnya Irak, Ukraina, Syria dan juga Libya bisa dijadikan contoh bagi kebijakan pertahanan Indonesia. Mengapa Iran selamat dari invasi asing? Jawabannya adalah ketakutan akan perang nuklir (mutually assured destruction)
Maka kesadaran menguasai teknologi nuklir harus secepatnya diwujudkan. Pakistan yang ekonominya dan juga jumlah penduduknya di bawah Indonesia mampu menyuasai nuklir, mengapa Indonesia tidak? Jawabannya pada nyali pemerintah sendiri. Ketegangan di Laut China Selatan yang berpotensi menggunakan nuklir  adalah ancaman nyata terhadap kedaulatan dan keselamatan tumpah darah Indonesia.
Dalam jangka pendek Indonesia harus membeli rudal hulu ledak nuklir secara rahasia. Indonesia juga harus menggencarkan penguasaan roket untuk secepatnya menjadi peluru kendali buatan lokal. Tak usah banyak-banyak, cukup 3 buah hulu ledak nuklir untuk pertahanan saat dibutuhkan.Â
Indonesia bisa mendekati Iran, Korea Utara atau Rusia dalam hal ini. Dari tiga negara ini hubungan dengan Indonesia sangat baik dan tidak ada singgungan kepentingan politik. Toh, cita-cita menguasai nuklir sudah dicetuskan Bung Karno pada era 1960-an. Sekali lagi ini butuh ketegasan dan keberanian dari pemerintah melihat kondisi yang saat ini berkembang---dan bisa jadi berlarut-larut dalam beberapa decade--di kawasan Indo-Pasifik.Â
Kesimpulan
Indonesia tidak menginginkan ekskalasi di laut China Selatan berubah menjadi perang terbuka. Namun Indonesia harus siap dengan perang yang akan terjadi. Konflik LNU akan dimainkan oleh China, naik turun. Indonesia juga harus memainkan model itu. Ada waktunya seolah-olah perang akan terjadi. Konflik-konflik kecil akan muncul, memanas lalu mereda. Sebagaimana terjadi di perbatasan India-China. Dua negara melakukan bentrokan dengan menggunakan pentungan dan batu.Â
Mereka sangat sadar penggunaan senjata akan menghancurkan semuanya. Indonesia harus melihat itu. Jangan enggan melakukan tabrakan dengan kapal Coast Guard China, layangkan protes diplomatik, panggil Dubes China. Kelola konflik sebatas itu tanpa harus menggunakan insiden militer parah. Persis seperti sengketa abadi Korea Utara dan Korea Selatan. Selama Korea Selatan tidak menanggapi terlalu serius provokasi Korea Utara maka konflik di semenanjung Korea akan terkelola dengan baik. Korea Selatan tetap Korea Selatan dan Korea Utara tetap Korea Utara. Mereka bertahan pada status qua tanpa tahu sampai kapan itu terjadi. Medan laga LNU akan semacam itu. Asalkan Indonesia memainkan perannya dan China juga tahu batas-batasnya.
Dengan menghitung untung rugi, maka konflik LNU dengan Indonesia akan mengorbankan hubungan ekonomi yang jauh lebih menguntungkan buat China dan juga Indonesia. Perang hanya menimbulkan kemunduran ekonomi bagi negara yang menang maupun yang kalah. Ambisi China untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi membutuhkan kondisi kestabilan hubungan dengan banyak negara. Dengan melakukan invasi maka sejatinya China mengubur impiannya menjadi kekuatan berpengaruh di dunia.
Sama halnya dengan Indonesia. Jika terjadi konflik terbuka dengan China maka dampak turunannya akan lebih besar. Ini akan mengarah pada instabilitas dalam negeri Indonesia. Dengan menghitung untung rugi, China melibatkan Indonesia hanya sekadar untuk peruntungan belaka. Kalau berhasil ya, bersyukur kalau tidak berhasil ya, tidak apa-apa. Maka gesekan dengan Jakarta cenderung dikelola secara moderat. Sangat berbeda saat bersinggungan dengan Filipina dan Vietnam yang sering menunjukkan kebrutalan dari militer China.Â
Bisa jadi tujuan utama Beijing adalah 1) Pelibatan Indonesia sebenarnya adalah strategi. Beijing akan melepas klaim di LCS jika Indonesia tidak ikut campur dengan masalah klaim dengan negara ASEAN lainnya. Sebagai pemimpin tradisional ASEAN, Indonesia dibungkam. 2) Beijing menjadikan irisan di LCS sebagai bargaining untuk kepentingan geopolitik Beijing di suatu waktu. Misal Indonesia jangan sampai dijadikan pangkalan militer AUKUS, 3) Beijing akan terus mengulur waktu dengan tidak menyelesaikan klaimnya di Laut Natuna Utara sebagai kartu yang akan dimainkan saat ada kepentingan strategis dengan Indonesia.
Strategi ini diibaratkan politik diskon barang. Barang dijual jauh di atas harga beli, dan penawar akan menawar dengan harga yang masih di atas harga beli. Penjual tetap untung dan pembeli merasa mendapat harga murah. Indonesia sebagai pembeli dan China sebagai penjual. Anehnya barang tersebut tidak pernah dijual. Tidak ada pemenang dan juga tidak ada yang kalah. Itulah penyelesaian yang akan terjadi di LNU.
Apapun strategi yang dimainkan China terhadap kedaulatan Indonesia; tidak ada tawar menawar. NKRI harga mati. Sebagaimana ungkapan Romawi kuno: Si vis pacem para bellum. Jika mendambakan perdamaian bersiaplah menghadapi perang.
---Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H