Ini respon Beijing yang sangat serius sebagai tanggapan terhadap pidato presiden Taiwan yang baru William Lai Cing-te  yang menentang prinsip satu China. Taiwan ibarat duri dalam daging politik China di kancah internasional. Keinginan menyatukan Taiwan sudah lama diupayakan. Dan selalu gagal. Melihat kemajuan China di segala bidang menjadikan China merasa siap untuk mengambil inisiatif invasi terbuka.
Di sisi lain, bagi Amerika, Taiwan adalah sekutu yang bisa dimainkan untuk mengganggu hegemoni China di Asia Pasifik. Sama dengan peran Israel di Timur Tengah, atau peran Singapura di Asia Tenggara. Ini bisa menjadi alasan kuat China melakukan provokasi di LCS sebagai bargaining terhadap Amerika: Membiarkan Taiwan kembali ke pangkuan China daratan, dan China menormalkan kondisi LCS dalam posisi status quo. Patut diingat bahwasanya LCS adalah urat nadi dari jalur logistik barang dan energi Amerika dan sekutunya (Korea Selatan, Jepang, Australia, India). Dengan membuat keributan di LCS sebenarnya gangguan tepat di urat nadi ekonomi Amerika cs dan Eropa.
Kedua, mengeruk SDA di LCS. Kawasan strategis Laut China Selatan yang membentang seluas 3,6 juta km ibarat harta karun yang siap digali. LCS menyumbang 12% tangkapan ikan global, habitat terumbu karang seluas 31.360 km, sumber protein bagi 600 juta orang. Lembaga Informasi Energi Amerika memperkirakan  LCS menyimpan 28 miliar barel minyak dan 900 triliun kaki kubik gas alam---setara cadangan gas Qatar. Selain itu, LCS merupakan rute komersial paling vital bagi industri logistik global. Menurut World Maritime Council, LCS menjadi lalu lalang 40.000 kapal atau 25% arus pelayaran dunia dengan valuasi mencapai US$5,3 triliun pertahun.
Pertumbuhan industri yang cepat menjadikan China sejak 2003 menjadi konsumen minyak terbesar kedua di dunia dan pada 2004 menjadi negara importir ketiga setelah Amerika dan  Jepang. Sekitar 76 persen dari total impor minyak melalui rute LCS. Pembangunan masif yang dilakukan China di kepulauan Spratly dan Paracel sebagai bentuk mencuri start untuk merebut urat nadi pelayaran dunia dan mengamankan cadangan energi China.Â
Beijing memproyeksikan persiapan konflik dalam skala yang lebih besar. Secara de facto China sudah mengambil alih kepemilikan kepulauan sengketa tersebut dan difungsikan sebagai pangkalan militer. Atol Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross diubah menjadi gudang, hangar, pelabuhan laut, landasan pacu, radar dan tidak bisa dipungkiri pastinya akan diisi batteray rudal balistik Dongfeng. Pada 2022 menurut laporan Recorded Future---perusahaan siber Amerika---diperkirakan sudah ada 10.000 tentara China di LCS.Â
Ketiga, agenda politik domestik. Adanya konflik di LCS, bisa menyatukan China dalam satu pandangan politik. Surat Kabar China memposisikan China sebagai korban dari ambisi territorial negara Vietnam dan juga Filipina. Maka sebagai upaya untuk mempertahankan kedaulatan, unifikasi territorial dan menegakkan harga diri bangsa diwujudkan dengan cara mengambil alih kendali Laut China Selatan. Secara garis besar konflik LCS sangat menguntungkan bagi rezim komunis China. Patut dicatat pula bahwa ada 289.526 mahasiswa China periode 2022/2023 yang belajar di Amerika.Â
Di Eropa diperkirakan ada 180.000 mahasiswa China. Satu sisi China diuntungkan dengan melimpahnya SDM berkualitas lulusan Amerika dan Eropa. Namun, kalau tidak dikelola dengan baik, mahasiswa tersebut bisa menjadi agen demokrasi yang akan meruntuhkan rezim komunis. Dengan menjadikan LCS sebagai target nasional, komplit dengan adanya musuh bersama (common enemy), berdampak menguatkan nasionalisme rakyat China sehingga memberi jaminan kestabilan politik rezim berkuasa di China untuk beberapa dekade ke depan.
Konflik LCS juga bisa dikelola untuk mewujudkan ambisi China menjadi militer terkuat di dunia menggeser Amerika. Parlemen China punya alasan kuat untuk menggelontorkan dana pertahanan sebesar besarnya guna mempercepat penguatan militer China. Dalam dua tahun terakhir peningkatan anggaran China meningkat tajam. Pada 2022 mencapai US$230 miliar. Pada 2023 bertambah menjadi US$296 miliar. Bandingkan dengan gabungan anggaran militer ASEAN pada tahun yang sama hanya mencapai US$41,5 miliar.Â
Agenda terbesar dari militer China adalah menggeser kekuatan militer Amerika serikat dalam satu dekade ke depan. Pada intinya semakin berlarut-larut konflik di LCS akan menguntungkan bagi politik di dalam negeri China sendiri. Sebagai pemain industri militer, jelas sekali China sangat diuntungkan dengan keruhnya masalah di LCS. Belanja militer di Asia Pasifik pastinya meningkat pesat. China membuka peluang bagi negara manapun untuk membeli produknya, walaupun terhadap negara yang bersengketa dengan China sekalipun. Bagi China uang tetaplah uang.
Strategi Indonesia
Permasalahan di LCS sangat rumit. Ada tiga aktor utama yang bermain. China, ASEAN dan Amerika (AUKUS). Ketiganya punya agenda yang saling bertabrakan. Permasalahan LCS bisa dirangkum dalam 3 point: 1) Keinginan China mengembalikan Taiwan dan menguasai LCS, 2) Keinginan Amerika Membantu Taiwan dan menjadikan LCS sebagai wilayah bebas navigasi, 3) Agenda ASEAN mempertahankan ZEEnya.