Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Adu Strategi Jakarta-Beijing: antara Jabat Tangan dan Saling Sikut di Laut China Selatan

27 Mei 2024   09:08 Diperbarui: 7 Juni 2024   15:22 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KRI Tjiptadi-381 melakukan pengusiran  terhadap kapal Coast Guard China di perairan LNU, Kamis (2/1/2020). Foto: Koarmada I via CNBC Indonesia

Tidak ada rumusan yang pasti agar konflik di LCS akan berakhir secepatnya. Ini butuh waktu yang lama dan berlarut-larut. Dibutuhkan keteguhan dalam diplomasi dan penguatan militer yang signifikan. Ada satu hal yang wajib dipahami siapa pun yang bermain di LCS jangan sampai kebablasan. Jakarta menerapkan kondisi menahan diri sebagai upaya untuk menurunkan ketegangan di Laut Natuna Utara. Menurunnya agresifitas Jakarta untuk menenggelamkan kapal-kapal yang tertangkap di LNU---terutama kapal nelayan China sebagai strategi mengelola hubungan dengan China. Lalu strategi apa yang dimainkan Jakarta untuk mempertahankan kedaulatannya di Laut Natuna Utara?

Pertama, menghindari keterlibatan asing. Indonesia menghindari PCA sebagai penengah di LNU sebagaimana yang dilakukan Filipina. Selain trauma dengan kasus Sipadan dan Ligitan, pelibatan PCA hanya membuang energi. China sudah terang-terangan tidak mengakui institusi tersebut. 

China melihat bahwa PCA tidak lebih dari kepanjangan tangan Amerika dan Eropa. Selain itu, Jakarta menolak pangkalan militer AUKUS di wilayah kedaulatan Indonesia. Keterlibatan AUKUS dalam sengketa LCS---menurut Jakarta--semakin memperkeruh situasi. Bukan malah mendinginkan masalah. Kebijakan Jakarta tersebut bisa dibaca oleh Beijing bahwasanya Indonesia tidak menginginkan konflik di LNU diselesaikan dengan keterlibatan asing yang bernuansa militer.

Kehati-hatian Indonesia untuk tidak memihak salah satu blok (China-AUKUS) berkaca dari konflik Ukraina--Rusia. Perang Ukraina-Rusia memberi pelajaran bahwa negara pion hancur berantakan tanpa ada perlindungan memadai dari negara patronnya. NATO dalam kenyataannya membiarkan Ukraina berperang sendiri di garis depan sampai hancur melawan raksasa Rusia. Padahal keberanian Ukraina berperang dengan Rusia karena motivasi manis dari NATO.

Pelibatan AUKUS dalam konflik LCS sangat berbahaya bagi keamanan regional Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Patut dicatat pula oleh Indonesia; lepasnya Timor Timur dari Indonesia didalangi oleh Amerika dan Australia. Dua negara yang tergabung dalam AUKUS. Satu catatan, Amerika adalah negara yang tidak mau meratifikasi UNCLOS 1982.

Hubungan politik Jakarta dan Canberra juga tidak berjalan mulus. Australia selalu curiga terhadap manuver Jakarta untuk memperkuat angkatan perangnya. Bisa jadi dengan menjebak Indonesia ke dalam konfrontasi langsung dengan China bisa membuat dua keuntungan bagi Australia: dua kompetitornya di belahan bumi utara melemah--maksudnya Indonesia dan China. Dengan menjadikan ASEAN dan China bermusuhan, jika terjadi perang terbuka, Amerika dan Australia tetap diuntungkan secara politik. China tahu itu, Indonesia juga paham apa yang akan terjadi.

Maka cara paling aman menghadapi China adalah: dekati, datangi, dan ajak berunding. Itu cara khas Indonesia untuk memecah kebuntuan diplomatik bersenjata. Komunikasi yang dilakukan terus menerus setidaknya bisa membuka mata China terhadap kegigihan Indonesia dalam mempertahankan hak kedaulatannya. Ingat selalu pendekatan yang ditawarkan Amerika dan Eropa cenderung militeristik. Akhirnya bisa dilihat; hancur semua dan mati semua.

Di sisi lain, Indonesia tetap ngotot penyelesaian LNU berpatokan pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982---tanpa keterlibatan PCA.  Di luar itu, Indonesia harus menolak untuk berunding. Penyelesaian garis batas ZEE yang sudah permanen antara Indonesia dan Vietnam pada 2023 bisa dijadikan contoh penyelesaian sengketa tumpang tindih ZEE di LCS.

Aktivitas kepemilikan territorial dan ZEE Indonesia juga harus tampak di Natuna Utara. Pengeboran minyak dan juga aktivitas nelayan yang mencari ikan harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. TNI AL harus memberi perlindungan sepenuhnya dengan kehadiran kapal Coast Guard atau kapal perangnya kelas fregat. 

Kehadiran kapal perang dengan tonase besar akan memberi kenyamanan dan perlindungan. Kemungkinan senggolan dan juga tabrakan dengan kapal Coast Guard China bisa terjadi. Dan biarkan itu terjadi asalkan jangan sampai ada letusan senapan yang berakibat adanya korban di kedua belah pihak. Jika hal ini berjalan terukur, maka akhir  dari persoalan Laut Natuna Utara adalah China akan membiarkan dalam status quo. Karena tidak mungkin dalam jangka pendek China mengumumkan penarikan klaimnya khusus di NTU, bagi China ini akan mengendorkan tekanan di LCS yang sasaran utamanya adalah mengembalikan Taiwan.

Kedua, menyatukan kekuatan ASEAN. China sangat keberatan jika persoalan LCS dibahas dalam agenda ASEAN. Itu sebagai sinyal; China akan kerepotan saat berhadapan dengan entitas ASEAN secara utuh. Maka Indonesia harus mengkoordinir kekuatan ASEAN. Itu sebagai sinyal ketidaksukaan ASEAN terhadap manuver China. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun