Indonesia jangan sampai dilenakan dengan jargon manis, zona bebas nuklir di kawasan Asia Tenggara, South East Asean Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ). Peta perdamaian sudah berubah. Di belahan selatan (Australia) dalam waktu dekat akan meluncur 8 kapal selam nuklir kelas Virginia Class, di belahan utara juga sama. China mengaktifkan armada kapal selam nuklir untuk ronda rutin di LCS.  Gun race sudah ditabuh. Rudal berhulu ledak nuklir siap melumat siapa saja.Â
AUKUS dan China sudah menciptakan Security Dilemma---terutama bagi Indonesia dan ASEAN. Tidak ada salahnya jika Indonesia merespon  tit-for-tat (gayung bersambut). Ancaman perebutan SDA ke depan akan lebih sengit. Negara-negara Asia Tenggara mungkin bukan ancaman serius bagi Indonesia. Namun, kekuatan dari belahan dunia lain --ancaman dari utara dan selatan--sangat mungkin menjadikan Indonesia sebagai target potensial.Â
Kepemilikan bahan mineral kunci, semisal nikel, logam tanah jarang sebagai bahan dasar batteray dan chips, cukup menggoda negara asing berwatak jahat menginvasi Indonesia. Penghentian ekspor nikel Indonesia yang digugat oleh Uni Eropa pada 2021 sebagai indikasi kuat bahwasanya kedaulatan dalam menentukan prioritas dalam negeri juga bisa diganggu oleh kekuatan luar yang punya pengaruh kuat.Â
Tanpa dukungan militer kuat kedepannya bisa menjadi malapetaka bagi Indonesia. Hancurnya Irak, Ukraina, Syria dan juga Libya bisa dijadikan contoh bagi kebijakan pertahanan Indonesia. Mengapa Iran selamat dari invasi asing? Jawabannya adalah ketakutan akan perang nuklir (mutually assured destruction)
Maka kesadaran menguasai teknologi nuklir harus secepatnya diwujudkan. Pakistan yang ekonominya dan juga jumlah penduduknya di bawah Indonesia mampu menyuasai nuklir, mengapa Indonesia tidak? Jawabannya pada nyali pemerintah sendiri. Ketegangan di Laut China Selatan yang berpotensi menggunakan nuklir  adalah ancaman nyata terhadap kedaulatan dan keselamatan tumpah darah Indonesia.
Dalam jangka pendek Indonesia harus membeli rudal hulu ledak nuklir secara rahasia. Indonesia juga harus menggencarkan penguasaan roket untuk secepatnya menjadi peluru kendali buatan lokal. Tak usah banyak-banyak, cukup 3 buah hulu ledak nuklir untuk pertahanan saat dibutuhkan.Â
Indonesia bisa mendekati Iran, Korea Utara atau Rusia dalam hal ini. Dari tiga negara ini hubungan dengan Indonesia sangat baik dan tidak ada singgungan kepentingan politik. Toh, cita-cita menguasai nuklir sudah dicetuskan Bung Karno pada era 1960-an. Sekali lagi ini butuh ketegasan dan keberanian dari pemerintah melihat kondisi yang saat ini berkembang---dan bisa jadi berlarut-larut dalam beberapa decade--di kawasan Indo-Pasifik.Â
Kesimpulan
Indonesia tidak menginginkan ekskalasi di laut China Selatan berubah menjadi perang terbuka. Namun Indonesia harus siap dengan perang yang akan terjadi. Konflik LNU akan dimainkan oleh China, naik turun. Indonesia juga harus memainkan model itu. Ada waktunya seolah-olah perang akan terjadi. Konflik-konflik kecil akan muncul, memanas lalu mereda. Sebagaimana terjadi di perbatasan India-China. Dua negara melakukan bentrokan dengan menggunakan pentungan dan batu.Â
Mereka sangat sadar penggunaan senjata akan menghancurkan semuanya. Indonesia harus melihat itu. Jangan enggan melakukan tabrakan dengan kapal Coast Guard China, layangkan protes diplomatik, panggil Dubes China. Kelola konflik sebatas itu tanpa harus menggunakan insiden militer parah. Persis seperti sengketa abadi Korea Utara dan Korea Selatan. Selama Korea Selatan tidak menanggapi terlalu serius provokasi Korea Utara maka konflik di semenanjung Korea akan terkelola dengan baik. Korea Selatan tetap Korea Selatan dan Korea Utara tetap Korea Utara. Mereka bertahan pada status qua tanpa tahu sampai kapan itu terjadi. Medan laga LNU akan semacam itu. Asalkan Indonesia memainkan perannya dan China juga tahu batas-batasnya.
Dengan menghitung untung rugi, maka konflik LNU dengan Indonesia akan mengorbankan hubungan ekonomi yang jauh lebih menguntungkan buat China dan juga Indonesia. Perang hanya menimbulkan kemunduran ekonomi bagi negara yang menang maupun yang kalah. Ambisi China untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi membutuhkan kondisi kestabilan hubungan dengan banyak negara. Dengan melakukan invasi maka sejatinya China mengubur impiannya menjadi kekuatan berpengaruh di dunia.