Nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 25,66% dari seluruh nilai ekspor sepanjang 2023. Pada tahun yang sama Indonesia mencatatkan surplus US$2,06 miliar. Indonesia menjadikan China sebagai mitra dagang strategis. Begitu juga sebaliknya.
Hubungan di bidang pendidikan juga mengalami peningkatan signifikan. Pada 2016 ada 13.000 mahasiswa Indonesia belajar di China. Pada 2018 meningkat menjadi 14.233 orang. Tahun 2023 angkanya meningkat lagi di angka 15.000 lebih mahasiswa. Di sektor pariwisata juga mengalami tren positif.Â
Kunjungan wisatawan China ke Indonesia juga melonjak tajam. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 ada 787.900 wisatawan China yang berkunjung ke Indonesia. Sedangkan jumlah kunjungan orang Indonesia ke China pada 2023 mencapai 221.600 orang. Sebagai dua negara berdaulat hubungan Indonesia-China adalah hubungan yang bersifat mutualisme, saling menguntungkan.
Strategi China dan Agenda Terselubung
Akar konflik di LCS adalah perbedaan dasar klaim (multi-interpretasi klaim). China mendasarkan klaimnya pada sejarah. Menurut catatan sejarah China, nenek moyangnya menjadikan LCS sebagai daerah tangkapan ikan tradisional sejak Dinasti Han pada abad ke-2 SM (Historical Rights). Pada 1947 klaim China ditampilkan dalam wujud area sembilan garis putus-putus (nine dash line) di peta teritori mereka.Â
Garis tersebut menggerus wilayah Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina dan juga Indonesia. Di pihak lain Indonesia dan negara ASEAN lainnya menggunakan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS), yang sudah diratifikasi oleh 164 negara. Anehnya China juga negara yang meratifikasi UNCLOS 1982 tersebut.
Pada 2012 China bertindak lebih jauh dengan mengumumkan hak kepemilikan mutlak terhadap kawasan LCS. Manuver China tidak berhenti di situ saja, pada 2014 China mengeluarkan peta baru yang dinamakan Peta Standar China. Bukan hanya 9 garis putus-putus, tapi sudah menjadi 10 garis putus-putus---ten dash line. Wilayah laut bagian timur Taiwan dan juga Lembah Himalaya yang berbatasan dengan India masuk ke dalamnya. China meningkatkan intensitas tekanan di LCS. China bertindak di luar code of conduct.
Filipina yang ZEE nya dipenggal China dan juga berebut kepemilikan atas kepulauan Spratly tidak terima dan membawa persoalan tersebut ke Permanent Court of Arbitration (PCA) atau Mahkamah Arbitrase Internasional. Pada 12 Juli 2016, PCA yang berbasis di Den Haag, Belanda, memenangkan gugatan Filipina terhadap klaim sepihak China atas kepulauan Spratly.Â
China dinilai tidak memiliki dasar hukum terhadap klaim wilayah di Kepulauan Spratly, yang masuk ZEE Filipina. Putusan tersebut membatalkan secara permanen klaim China. Beijing bereaksi keras dan menyatakan tidak akan menerima, mengakui, atau melaksanakan putusan tersebut.Â
Setiap tindakan individu pasti ada motif yang berada di belakangnya. Sama dengan sebuah negara. Karena negara hakekatnya adalah kumpulan dari individu-individu. Agresivitas China di LCS bisa didekati dengan garis besar tujuan nasionalnya. Pertama, mengembalikan Taiwan. Pada 23 November 2013 China mengumumkan ADIZ (Air Defence Identification Zone) di atas Pulau Diaoyou/Senkaku. Pulau dekat Taiwan yang masih disengketakan dengan Jepang. Ini adalah sebuah upaya mengisolasi Taiwan untuk memberi tekanan lebih kuat.Â
China menargetkan pada ulang tahun China ke-100 pada 2049, Taiwan sudah menjadi bagian dari RRC. Dua puluh lima tahun dari sekarang bukanlah waktu yang lama. Maka intensitas menekan Taiwan dikebut mulai saat ini. Sebagaimana yang terlihat pada Jumat (24/05/2024), militer dan mesin perang China dikerahkan untuk mengepung Taiwan dalam simulasi perang.Â